Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Review Mungkin Kita Perlu Waktu, Maknai Duka dengan Perspektif Berbeda

Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)
Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)

Mungkin Kita Perlu Waktu akhirnya tayang di bioskop Indonesia mulai Kamis, 15 Mei 2025. Mencuri perhatian sejak diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024, film ini menyuguhkan perjalanan healing satu keluarga yang sedang berduka.

Disutradarai Teddy Soeriaatmadja, Mungkin Kita Perlu Waktu mengangkat isu kesehatan mental dengan pendekatan kontemporer dan membumi. Lalu, apa saja kelebihan dan kekurangannya? Mari simak ulasan di bawah ini sebelum menontonnya!

1. Akting natural dan storytelling yang menyentuh

Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)
Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)

Film ini fokus pada tiga karakter utama, yaitu Kasih (Sha Ine), Restu (Lukman Sardi), dan Ombak (Bima Azriel) yang mencoba pulih setelah kematian Sara (Naura Hakim). Menariknya, Teddy merancang ketiganya sebagai karakter netral, tidak ada yang salah maupun benar.

Kasih tampil dingin, keras kepala, dan tampak selalu menyalahkan diri sendiri. Sebagai ayah, Restu berusaha menjaga biduk rumah tangga meski bergulat dengan rasa kehilangan. Sementara itu, Ombak ingin dimengerti, tapi tak tahu cara menjelaskan perasaannya.

Akting ketiganya benar-benar luar biasa ditambah naskah Teddy yang menghanyutkan. Sepanjang film, kita semua ikut hancur, sedih, sekaligus bingung. Mereka melakukan segala cara dan upaya kecuali satu: berkomunikasi secara sehat satu sama lain.

2. Sajikan perspektif berbeda tentang proses berduka

Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)
Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)

Mungkin Kita Perlu Waktu menyajikan sudut pandang berbeda dari proses berduka dalam satu keluarga. Ketiganya memiliki cara berbeda yang secara halus merepresentasikan lima tahapan berduka: denial (Restu), anger (Kasih), dan depression (Ombak). 

Film ini juga menyoroti bagaimana orangtua terkadang lupa bahwa anak yang tersisa juga merasa kehilangan. Sering kali, mereka justru diberi ruang untuk mengekspresikan kesedihannya. Alih-alih, Ombak mendapatkan silent treatment dari ibunya.

Dalam film ini, Ombak adalah simbol dari suara-suara terabaikan. Dalam satu adegan dengan temannya, Aleiqa (Tissa Biani), muncul dialog yang relevan dengan penonton:

"Ketika kita lagi bahagia, musiknya enak buat dinikmati. Tapi kalau lagi sedih, musiknya mudah untuk dimengerti."

Kalimat itu mencerminkan bagaimana duka adalah hal yang universal, tapi kita alami dengan cara yang sangat personal. Untuk melewati penderitaannya, Aleiqa pun menghibur Ombak dengan berkata, "Hidup itu kayak es krim, jadi nikmatin sebelum meleleh."

3. Slow pacing dari awal hingga akhir film

Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)
Mungkin Kita Perlu Waktu (dok. Adhya Pictures/Mungkin Kita Perlu Waktu)

Mungkin Kita Perlu Waktu bergerak dengan pace lambat sejak awal hingga akhir. Bagi kamu yang terbiasa dengan ritme cepat ala genre horor atau aksi, film ini akan terasa membosankan. Namun jika sabar, kamu akan mendapatkan pengalaman yang emosional dan jujur.

Untungnya, film ini terbantu dengan penggunaan lagu "Nocturne" karya Chopin. Bisa dibilang kalau lagu itu semakin memperkuat suasana melankolis film ini. Tak hanya jadi pengiring, "Nocturne" juga turut menjadi narasi emosional yang tak terucapkan sepanjang film.

Kesimpulannya, film ini mengajak kita untuk memaknai rasa duka dan kehilangan tanpa menghakimi. Mungkin Kita Perlu Waktu bisa menjadi cermin bagi setiap keluarga yang sedang mencoba pulih dari luka lama yang tak pernah benar-benar dibicarakan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shandy Pradana
Zahrotustianah
Shandy Pradana
EditorShandy Pradana
Follow Us