[REVIEW] Where the Crawdads Sing, Bukan Sajian Chick Flick Biasa!

Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya penggemar film Hollywood di Tanah Air sudah bisa menyaksikan Where the Crawdads Sing (2022), film adaptasi novel best seller karya Delia Owens. Tayang di bioskop Indonesia sejak 14 September lalu, film ini langsung mendapat antusiasme tinggi dari para sinefil.
Selain premisnya yang bikin penasaran, penampilan Daisy Edgar-Jones juga menjadi alasan film produksi Colombia Pictures ini begitu dinanti. Berperan sebagai Kya, bintang Under the Banner of Heaven (2022) tersebut dinilai mampu menghidupkan karakter sang gadis paya.
Pastinya kamu juga penasaran sekeren apa film yang dapat audience skor sebesar 96 persen di Rotten Tomatoes ini. Biar gak penasaran, simak review film Where the Crawdads Sing berikut ini supaya kamu makin yakin buat menontonnya.
1. Ajak penonton selami kehidupan masa kecil Kya

Sebelum membawa penonton pada intensnya persidangan, Olivia Newman, selaku sutradara, lebih dulu mengajak penonton melihat sekilas masa kecil Kya (Jojo Regina) ketika masih tinggal bersama keluarganya. Tak seperti anak seusianya, hidup Kya cilik penuh dengan permasalahan.
Meskipun ibunya, yang ia panggil dengan sebutan "Ma" (Ahna O'Reilly), sayang dan perhatian kepadanya, tetapi sang ayah, Jackson alias "Pa" (Garret Dillahunt), sangat temperamental dan tak segan-segan bertindak kasar. Tindakan Jackson yang bak diktator tersebut membuat semua anggota keluarganya kabur, kecuali Kya.
Tak hanya perlakuan ayahnya saja, pandangan penduduk kota pun turut membuatnya merasa tak aman. Beberapa ada yang baik kepadanya, seperti pasutri Mabel dan Jumpin (Michael Hyatt dan Sterling Macer). Namun, sisanya memanggil Kya dengan julukan marsh girl alias gadis paya.
2. Sajikan romansa, drama persidangan, dan misteri dengan seimbang

Pertanyaan yang timbul selama menonton Where the Crawdads Sing adalah, apa sebenarnya penyebab kematian Chase Andrews (Harris Dickinson)? Apakah dibunuh atau kecelakaan? Kalau memang dibunuh, siapa pelakunya?
Deretan misteri tersebut berhasil dikupas lewat sejumlah fakta, kesaksian, serta argumen yang hadir di pengadilan. Penampilan David Strathairn sebagai Tom Milton, pengacara Kya, pun sukses mempertebal nuansa courtroom drama yang diangkat.
Uniknya, semua elemen di atas berhasil melebur dengan romansa yang disajikan. Hubungan Kya-Tate (Taylor John Smith) dan Kya-Chase mampu dituturkan dengan rapi tanpa mengganggu tone penceritaan. Paket komplet banget, nih!
3. Sinematografi yang memanjakan mata, rawa disulap bak negeri dongeng!

Biasanya, paya atau rawa identik dengan hal-hal yang bersifat kotor dan menakutkan, seperti lumpur dan buaya. Namun, di tangan sang sinematografer, Polly Morgan (A Quiet Place Part II), tempat tersebut disulap elok bak negeri dongeng.
Penampakan kawanan angsa salju hingga pantai rawa di kala senja berhasil membuat penonton lupa kalau Where the Crawdads Sing juga berlatar di ruang pengadilan. Hebatnya, selain terlihat estetik, sinematografi besutan Morgan juga menyiratkan kesepian seperti yang dirasakan sang protagonis.
4. Akting Daisy Edgar-Jones sukses bikin perasaan campur aduk

David Strathairn memang mencuri perhatian sebagai pengacara baik hati yang tetap tenang dalam menghadapi segala situasi. Namun, bintang sesungguhnya dari Where the Crawdads Sing adalah Daisy Edgar-Jones.
Serupa Noa dalam Fresh (2022), aktris kelahiran Inggris tersebut kembali membuktikan kepiawaiannya dalam menghidupkan karakter hopeless romantic. Teriakan, tangisan, hingga keheningan yang diciptakan Daisy mampu membuat penonton ikut merasakan apa yang dirasakan Kya.
Berkatnya, character development Kya pun sangat terasa di sepanjang film berlangsung. Dijamin bikin perasaan campur aduk, deh!
5. Sentil sejumlah isu penting, mulai dari KDRT hingga trust issues

Selain menyajikan romansa, misteri, dan intensnya drama persidangan, Where the Crawdads Sing juga tak luput menyinggung sejumlah isu penting. Salah satu yang menjadi sorotan adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lewat naskah garapannya, Lucy Alibar (Beasts of the Southern Wild) mampu membahas kurangnya ruang aman bagi perempuan selama lingkaran kekerasan masih terjadi dalam masyarakat. Tentang bagaimana hal tersebut membuat sang protagonis, Kya, kehilangan kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya.
Selain KDRT, stigma sosial pun turut menjadi pembahasan yang menarik dalam film ini. Kemiskinan dan keterasingan yang dialami Kya membuat orang-orang di sekitarnya memandang negatif. Bukankah hal serupa juga terjadi di dunia nyata?
6. Tak hanya mengejutkan, plot twist-nya juga memberi ruang diskusi bagi penonton

Pesan-pesan penting di atas berhasil ditegaskan kembali lewat sebuah plot twist yang menohok di klimaks. Bukan bermaksud membenarkan atau menyalahkan, Where the Crawdads Sing justru memberi ruang bagi penonton untuk menafsirkan ambiguitas pada ending-nya.
Jika penulis boleh menarik kesimpulan, Where the Crawdads Sing sejatinya bak rawa yang dihuni oleh berbagai macam binatang, baik mangsa maupun predator. Sebagai "mangsa," pergi berlari menjauh dari "predator" memang adalah cara terbaik untuk bertahan hidup. Namun, bertahan dan melawan kadang dibutuhkan demi terbebas dari rasa takut.
Secara keseluruhan, Where the Crawdads Sing mampu menyeimbangkan tema romansa, misteri, hingga drama pengadilan yang diusungnya. Apalagi, berkat sejumlah isu penting yang diangkat, film ini berhasil tampil lebih unggul dari sajian chick flick kebanyakan.