Thunderbolts*, Waktunya Tim Antihero Marvel Unjuk Gigi!

Intinya sih...
- Thunderbolts (2025) memperkenalkan tim antihero Marvel yang kompleks secara moral.
- Film ini berhasil menghidupkan kembali semangat awal MCU dengan skor tertinggi di Rotten Tomatoes, yaitu 89 persen.
- Duka dan trauma menjadi tema krusial dalam film ini, dengan porsi aksi yang terasa kurang berkesan.
Bisa dibilang, era kejayaan tim superhero, seperti Avengers dan Justice League, perlahan mulai bergeser ke kelompok antihero yang lebih kompleks secara moral. DC lebih dulu memperkenalkannya lewat Suicide Squad (2016) dan disusul sekuelnya, The Suicide Squad (2021), yang lebih mendapat sambutan positif. Kini, giliran Marvel yang membawa tim tandingan bernama Thunderbolts ke layar lebar dan menjadikannya salah satu rilisan paling menarik tahun ini.
Thunderbolts* (2025) mempertemukan sejumlah karakter "buangan" dari proyek-proyek Marvel Cinematic Universe (MCU) sebelumnya, termasuk Yelena Belova (Black Widow), John Walker (The Falcon and the Winter Soldier) dan Ghost (Ant Man and the Wasp). Disutradarai Jake Schreier, film ini mengikuti misi terakhir mereka yang diwarnai konflik dan konspirasi. Thunderbolts* berhasil memikat kritikus, terbukti dengan prestasinya sebagai film Phase 5 MCU dengan skor tertinggi di Rotten Tomatoes, yaitu 89 persen.
Dengan pendekatan cerita yang emosional dan karakter yang berkembang pesat, Thunderbolts* disebut-sebut berhasil menghidupkan kembali semangat awal MCU. Penasaran bagaimana film yang tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (30/4/2025) ini meracik aksi, humor, dan drama menjadi tontonan yang memikat? Yuk, simak review film Thunderbolts* berikut ini!
1. Misi terakhir yang menjadi pembuka babak baru
Meski aksi dan kekuatan super lebih mendominasi, duka sejatinya telah menjadi bagian dari setiap fase perjalanan MCU. Momen pengorbanan Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Johansson) di Avengers: Endgame (2019) menjadi salah satu titik krusial yang meninggalkan dampak mendalam bagi semesta ini. Peristiwa tragis tersebut tak hanya menyisakan lubang di hati para Avengers dan penggemar, tetapi juga luka yang menganga bagi sang adik angkat, Yelena Belova (Florence Pugh).
Pasca-kejadian dalam Black Widow (2021), Yelena kini menjalani hari-harinya dengan hampa sambil menjalankan misi-misi di bawah arahan Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus). Merasa lelah dengan pekerjaannya tersebut, ia bertekad untuk keluar dan mencari kehidupan yang lebih tenang. Namun, sebelum bisa benar-benar bebas, Valentina menugaskannya untuk satu misi terakhir, yaitu menghancurkan bukti-bukti aktivitas ilegal yang bisa menjatuhkan sang direktur CIA itu sendiri.
Misi tersebut membawa Yelena ke sebuah bunker rahasia, di mana ia secara tak terduga bertemu dengan John Walker alias U.S. Agent (Wyatt Russell), Ava Starr alias Ghost (Hannah John-Kamen), Antonia Dreykov alias Taskmaster (Olga Kurylenko), dan seorang pria misterius bernama Bob (Lewis Pullman). Mereka saling serang, saling curiga, hingga menyadari bahwa mereka adalah pion dalam permainan licik Valentina. Di saat bersamaan, Bucky Barnes alias Winter Soldier (Sebastian Stan), yang kini berfokus pada politik untuk menjatuhkan Valentina, dan Alexei Shostakov alias Red Guardian (David Harbour), ayah angkat Yelena yang terasing, ikut terlibat.
Namun, seiring mereka saling bekerja sama—setelah peristiwa di bunker yang "membunuh" satu karakter penting—dan memahami satu sama lain, sederet pertanyaan besar pun turut mencuat. Apa sebenarnya tujuan akhir Valentina? Siapa sebenarnya Bob, dan kekuatan macam apa yang tersembunyi dalam dirinya?
2. Tak hanya aksi dan komedi, Thunderbolts* juga angkat isu kesehatan mental
Seperti yang telah disinggung di atas, duka dan trauma menjadi salah satu tema yang sangat krusial dalam Thunderbolts*. Sejalan dengan hal tersebut, duo penulis naskahnya, Eric Pearson dan Joanna Calo, pun menaruh perhatian serius pada aspek psikologis masing-masing karakter. Yelena Belova, misalnya, digambarkan sebagai sosok rapuh yang diam-diam masih dihantui oleh masa lalu di Red Room dan kematian Natasha.
John Walker juga tak luput dari sorotan, terutama akibat kehancuran rumah tangganya pasca-tragedi di The Falcon and the Winter Soldier (2021). Bahkan, hubungan kompleks Alexei dengan Yelena, serta kisah kelam Bob, turut memperkaya eksplorasi temanya. Penggambaran jujur luka batin mereka ini tak hanya sukses memancing simpati penonton, tetapi juga membuat transformasi mereka sebagai pahlawan terasa sangat believable.
Lantas, bagaimana dengan aksi? Sayangnya, elemen inilah yang terasa paling lemah dan kurang berkesan dalam Thunderbolts*. Perkenalan Sentry, sosok dengan spek kekuatan ala "Superman", terasa kurang memorable dibandingkan Ikaris (Richard Madden) dalam Eternals (2021).
Begitu juga adegan baku hantam. Jake Schreier (Robot & Frank, Paper Towns), sebagai sutradara, harusnya bisa belajar banyak dari seri Captain America atau serial Daredevil yang jago dalam merangkai sesi hand-to-hand combat yang begitu intens. Sementara elemen fantasi, (baca: berpindah dimensi), yang muncul di babak ketiga, hadir begitu minimalis dan tak segereget seri Doctor Strange.
Namun, sederet kelemahan tersebut mampu tertutupi oleh eksplorasi isu mental health yang kuat dan bumbu komedi yang menghidupkan suasana. Yap, humor dalam film ini terasa seperti kembali ke gaya lama MCU, dari saling lempar celetukan antarkarakter, konflik internal yang konyol, hingga asal muasal nama “Thunderbolts” yang dijelaskan lewat dialog absurd ala momen Thor atau Peter Quill. Semuanya sukses bikin sakit perut!
3. Hadirkan akting berkelas, Florence Pugh sukses curi spotlight
Mengangkat isu kesehatan mental, Thunderbolts* otomatis menyajikan banyak momen dramatik yang menuntut kualitas akting tinggi dari para pemainnya. Beruntung, film ini mempunyai deretan aktor brilian yang mampu menjawab tantangan itu dengan sangat baik, khususnya David Harbour, Lewis Pullman, dan Florence Pugh. Ketiganya berhasil menciptakan dinamika yang menggigit di sepanjang film.
Kembali sebagai Alexei Shostakov alias Red Guardian setelah Black Widow, David Harbour adalah penyumbang tawa terbesar dalam Thunderbolts*. Namun, jangan tanyakan keahliannya dalam meramu momen pengaduk-aduk perasaan. Adegan percakapan yang intens bersama Pugh di jalanan New York membuktikan betapa versatile-nya akting aktor yang juga membintangi serial Stranger Things ini.
Sementara itu, Lewis Pullman juga tak kalah mencuri perhatian sebagai Bob yang misterius. Baik "broken people bonding"-nya bersama Pugh sampai adegan puncak yang memperlihatkan betapa hebat chemistry emosional mereka, terasa istimewa dan jarang ditemukan dalam film MCU lainnya. Tak heran jika setelah menontonnya, kamu berharap mereka bisa kembali dipertemukan dalam genre lain, seperti drama romantis.
Namun, tak bisa dimungkiri, Florence Pugh-lah yang menjadi pusat gravitasi dari Thunderbolts*. Aksi beraninya saat lompat dari Menara Merdeka 118 di Kuala Lumpur, Malaysia, hanyalah pembuka dari penampilan penuh nuansa yang ia hadirkan sepanjang film. Dari sisi savage, jenaka, hingga emosi terdalam Yelena, disajikan aktris asal Inggris ini dengan kontrol luar biasa. Rasanya tak berlebihan jika menyebut penampilan Pugh di Thunderbolts* sebagai akting kelas Oscar.
4. Kehadiran Avengers baru: apa artinya bagi masa depan MCU?
Bagian ini mengandung spoiler bagi yang belum menonton Thunderbolts*!
Setelah berhasil menyelamatkan New York dan mengalahkan Void, sisi gelap Sentry (Pullman), di ending, Bucky, Yelena, John, Alexei, dan Ava resmi diperkenalkan sebagai New Avengers (perubahan ini sekaligus menjawab arti tanda bintang di judulnya). Pergantian nama ini tentu tak lepas dari peran Valentina Allegra de Fontaine, sang dalang di balik layar. Kesuksesan mereka dalam meredam ancaman besar membuat Val melihat peluang untuk melegitimasi mereka di mata publik, sekaligus meraih kekuatan politik.
Namun, momen penentu justru datang lewat adegan post-credit yang membawa nuansa lebih serius dan menggugah rasa penasaran. Empat belas bulan setelah peristiwa utama, New Avengers kini punya markas baru, tapi juga menghadapi gugatan hukum dari Sam Wilson alias Captain America (Anthony Mackie). Sam merasa mereka tak pantas menyandang nama Avengers, sebab menurutnya hanya tim dengan integritas sejati yang layak meneruskan warisan Steve Rogers (Chris Evans).
Konflik ini diprediksi membuka jalan menuju Avengers: Doomsday (2026), yang menjanjikan benturan dua generasi superhero dengan visi berbeda tentang kepahlawanan. Ketegangan ini lalu diperparah dengan kemunculan kapal luar angkasa berlogo Fantastic Four yang memasuki orbit Bumi. Kehadiran mereka dari dimensi lain—filmnya yang akan datang, The Fantastic Four: First Steps (2025), menceritakan mereka berasal dari Bumi paralel—seolah menandakan bahwa ancaman multiversal tak bisa lagi dihindari.
Apakah ini cara Marvel memperkenalkan Fantastic Four ke semesta utama MCU? Atau justru menandakan terjadinya incursion—tabrakan antarrealitas yang pernah dibahas di Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022)? Apa pun itu, mari kita tunggu!
Sebagai penutup Phase 5 MCU, Thunderbolts* berhasil menyajikan kisah yang menggugah tanpa harus mengandalkan nama besar seperti Iron Man atau Captain America. Lewat tim yang dipenuhi karakter-karakter "rusak", film ini menawarkan warna baru yang lebih kelam, personal, tapi tetap menghibur. Jika ini adalah jembatan menuju konflik besar di Avengers: Doomsday, maka Marvel telah membuka babak baru yang layak disambut dengan antusias tinggi!