Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Yorgos Lanthimos saat menerima Golden Lion for Best Film di Venice Film Festival 2023 (instagram.com/searchlightpics)

Film baru Emma Stone berjudul Poor Things arahan Yorgos Lanthimos baru saja diumumkan jadi pemenang di Venice Film Festival 2023. Ini memperbesar peluang mereka untuk merebut nominasi Oscar tahun depan. Bila itu terwujud, Poor Things bakal jadi film kesekian Searchlight Pictures yang dapat nominasi di ajang penghargaan bergengsi itu. 

Meski Emma Stone jadi bintang dalam film itu, sosok Yorgos Lanthimos justru menarik perhatian. Poor Things bukan film fitur debutnya. Ia sudah melanglang buana merilis sinema-sinema nyeleneh yang bikin penonton tercengang.

Film-film pendek karya Yorgos Lanthimos pun banyak dipuji karena manuver-manuver tak terduganya. Lanthimos jelas bukan sutradara biasa. Apa yang membentuk gaya sinematiknya? Ini sepak terjang Yorgos Lanthimos, sang maestro film absurd dan spekulatif. 

1. Memulai kariernya dengan jadi sutradara iklan di Yunani

Dogtooth (dok. MK2 Films/Dogtooth)

Yorgos Lanthimos lahir dan besar di Yunani. Ia juga menempuh pendidikan di negaranya sendiri, tidak seperti sebagian sineas yang sempat mengenyam bangku kuliah di negara-negara maju sebelum pecah telur.

Karier pertamanya setelah lulus kuliah pun jadi sutradara iklan dan event. Pekerjaan itu mempertemukannya dengan penulis naskah Efthimis Filippou dan produser Athina Rachel Tsangari yang masih sering jadi kolaboratornya. 

Ia sempat merilis beberapa film pendek berbahasa Yunani. Hingga akhirnya berhasil menelurkan film fitur perdana berjudul Kinetta pada 2005 yang dibuat dengan dana terbatas. Bahkan. ia menggunakan kamera yang dipegang tangan dan pencahayaan seadanya. Meski terkesan seperti film amatir, pesan dan gaya bercerita Lanthimos yang sarat absurdisme langsung terbaca saat itu. 

Kariernya meroket usai perilisan Dogtooth (2009) yang berhasil tayang perdana di Cannes Film Festival dan sabet Un Certain Regard. Dilanjut dengan nominasi Oscar pada kategori Film Fitur Internasional Terbaik. Dalam Dogtooth, Lanthimos masih setia menggunakan unsur-unsur absurdisme dan mengeksplor isu manipulasi lewat hubungan anak dan orangtua yang toksik serta tak wajar. 

2. The Lobster jadi film bahasa Inggris pertamanya

The Lobster (dok. Element Pictures/The Lobster)

Genre fiksi spekulatif kembali ia pakai dalam film Alps (2011). Kali ini lewat beberapa aktor yang membuka bisnis unik, yakni meniru kebiasaan dan gerak-gerik orang yang baru saja meninggal untuk menghibur klien-klien mereka yang tengah berduka. Dua tahun kemudian, Lanthimos membuat film pendek bertema kematian berjudul Necktie

Meski tak begitu populer, Lanthimos berhasil muncul lagi ke permukaan saat film berbahasa Inggris pertamanya muncul. The Lobster (2015) adalah proyek internasional pertama Lanthimos yang memungkinkannya berkolaborasi dengan beberapa nama besar macam Colin Farrell dan Rachel Weisz. Masih setia mengusik kenyamanan penontonnya lewat berbagai adegan absurd dan pesan ambigu, The Lobster jadi sensasi di jagat perfilman.

Sampai sekarang, orang masih memperdebatkan apakah film itu cocok dikategorikan distopia atau fabel. Terlepas dari itu, The Lobster sukses melontarkan kritik social, terutama soal opresi dengan cara yang cerdas, perpaduan satire dan thriller

3. Spesialis film antirealis yang memanipulasi pikiran penontonnya

The Killing of Sacred Deer (dok. Element Pictures/The Killing of Sacred Deer )

Tak berapa lama, Lanthimos kembali lewat proyek The Killing of Sacred Dear (2017). Lanthimos kembali melibatkan Colin Farrell sebagai Steven, pria kelas atas yang berprofesi sebagai dokter dan memberikan peran utama pada bintang muda Irlandia, Barry Keoghan yang memerankan Martin, remaja yang belum jelas asal usulnya.

Film yang sabet Best Screenplay di Cannes Film Festival itu dibuat Lanthimos dengan saksama, mulai detail pencahayaan dan simbolisasi kontras antara keluarga Steven dan Martin. Tema serupa kembali diusung Lanthimos lewat Nimic (2019) yang kembali mengeksploitasi rasa tak nyaman sebuah keluarga saat ada orang asing menginterupsi kehidupan mereka. 

Sebelum itu, Lanthimos sempat pula merilis The Favourite (2018) yang bergenre period drama. Ini bisa dibilang langkah pertamanya keluar dari zona nyaman dengan membuat film yang didominasi perempuan. Film ini pula yang jadi kerja sama perdananya dengan Emma Stone sekaligus jadi karya pertamanya yang dapat nominasi Best Picture di Oscar. 

Lanthimos merilis dua film lagi bersama Emma Stone, yakni film pendek tanpa dialog bertajuk Bleat (2022) dan terakhir Poor Things (2023) yang tayang di beberapa festival film bergengsi sepanjang tahun ini. Poor Things yang fokus pada sosok perempuan muda yang berhasil bangkit dari kematian karena bantuan seorang ilmuwan itu tampak mengonfirmasi kegemaran Yorgos Lanthimos membuat film-film antirealis dengan pendekatan satire. Bisakah film itu membawanya berjaya kembali di Oscar?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team