Kenapa Banyak Film Modern yang Dibuat dengan Kamera Analog?

Sadarkah kamu kalau makin banyak film modern yang gambarnya diambil dengan kamera analog? Nosferatu, The Brutalist, Armand, Oppenheimer, Anora, Fallen Leaves, Bird, Queer, Killers of the Flower Moon, dan Poor Things adalah beberapa contoh film tahun 2020-an yang dibuat dengan kamera analog. Padahal ada opsi lebih praktis, murah, dan canggih bernama kamera digital.
Lantas, mengapa kamera analog tidak kehilangan pengguna setianya seperti Martin Scorsese dan Christopher Nolan? Bahkan sineas lain ikut berlomba menggunakannya? Alasannya bisa dijelaskan dalam beberapa poin berikut.
1. Ada kualitas-kualitas estetika tertentu yang hanya bisa tercipta dari kamera analog

Kamera digital memang lebih praktis dari segi operasional, ketajaman gambar mereka pun tak bisa diremehkan. Namun, kebanyakan sineas yang memutuskan memakai kamera analog tergoda oleh kualitas estetika tertentu seperti saturasi warna, tekstur, dan detail yang berhasil tertangkap. Kamera analog dikenal bisa menghasilkan tone warna yang lebih hangat dan saturated dibanding kamera digital.
Ada alasan mengapa banyak film masa kini yang terlihat lebih gelap dan mute, salah satunya karena faktor kamera digital. Ini yang kemudian mendorong beberapa sutradara untuk kembali ke teknologi analog. Ciri estetik lain dari kamera analog adalah keberadaan grain atau tekstur yang bisa menambah keindahan dan keunikan film. Ini akan menciptakan efek nostalgic yang mungkin dinanti-nantikan sebagian penikmat film.
2. Proses pascaproduksi dengan kamera analog lebih cepat

Lebih rumit karena tak punya fitur delete seperti kamera digital, kamera analog ternyata akan mempersingkat proses pascaproduksi. Penjelasannya berkaitan erat dengan fakta bahwa pengaturan eksposur cahaya dan warna di kamera analog biasa dilakukan sekalian saat proses praproduksi dan produksi. Salah satunya dengan memilih tipe film roll yang tepat atau sesuai dengan preferensi sineas. Dengan begitu, perbaikan warna setelah proses pengambilan gambar bisa diminimalisir.
Pada dasarnya, kamera analog cocok bagi sineas yang tak perlu banyak editing dalam filmnya. Itulah mengapa mayoritas film yang dibuat dengan kamera analog pun datang dari genre realisme dan drama yang tak butuh banyak efek visual. Meski begitu, kamera analog beberapa kali dipakai dalam pembuatan film aksi, seperti The Dark Knight (2008), A Quiet Place (2018), dan Twisters (2024). Namun, Nolan, salah satu pengguna setia kamera analog dikenal suka menggunakan cara-cara praktikal dengan benda fisik ketimbang computer generated image (CGI) untuk efek visual di film-filmnya.
3. Cocok bagi sineas yang ingin menciptakan mood tertentu untuk filmnya

Keputusan memilih kamera analog juga berkaitan erat dengan mood atau suasana yang ingin diciptakan sineas untuk filmnya. Misal untuk film period drama, kamera analog bisa jadi pilihan ideal karena mampu menciptakan kesan vintage atau lawas. Selain Nolan, Aki Kaurismaki bisa jadi contoh lain pengguna setia kamera analog yang memang punya alasan dan stance kuat untuk memakai teknologi tersebut.
Film-film Kaurismaki tak pernah punya latar waktu yang benar-benar jelas. Namun, dari sejak debut sampai sekarang, latar tempat dan kostumnya selalu didesain dengan gaya klasik sehingga serasi dengan hasil gambar yang tercipta dari kamera analog. Kamera analog juga cocok untuk penganut sinematografi naturalisme. Kamera analog bisa menangkap cahaya alami dengan lebih baik. Ia sensitif saat kondisi low-light, tetapi tetap terlihat alami saat dapat eksposur cahaya maksimal.
Memang sih, kekurangannya jelas dari segi dana. Mengingat harga kamera analog dan film roll tidak murah. Itu pula yang membuat kamera analog lebih menarik buat sineas yang sudah punya nama besar dan sponsor yang memadai. Pun kamera digital tidak mengurangi estetika dan kualitas film, kok. Buktinya film Nickel Boys (2024) danThe Substance (2024) yang berhasil dapat nominasi Oscar 2025 itu dibuat dengan kamera digital dan sinematografinya tetap memikat.