5 Dilema Etika dalam Kasus Kim Gang Hun di Pro Bono

Di episode terbaru drakor Pro Bono (2025), Kang Da Wit (Jung Kyung Ho) dan tim dihadapkan pada kasus baru yang melibatkan Kim Gang Hun (Lee Chun Moo). Kasus ini bermula ketika seorang anak penyandang disabilitas datang ke Kang Da Wit dengan permintaan yang mengejutkan, di mana ia ingin menuntut Tuhan atas kelahirannya sendiri. Gang Hun lahir dengan kondisi kelumpuhan sejak lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang membuatnya merasa hidupnya hanya menjadi beban bagi orang lain.
Dari titik inilah, tim Pro Bono mulai menelusuri akar persoalan yang jauh lebih besar dari sekadar penderitaan individu. Penyelidikan mengarah pada Rumah Sakit Woongsan, tempat ibu Gang Hun dipaksa melahirkan di usia 16 tahun tanpa pendampingan medis yang memadai. Tim mengajukan gugatan ganti rugi atas dugaan kelalaian rumah sakit, mulai dari minimnya pemeriksaan kehamilan hingga hilangnya kesempatan bagi sang ibu untuk mendapatkan informasi dan pilihan yang layak.
Namun, persidangan berujung pada putusan kontroversial, di mana gugatan ditolak karena kurang bukti, dan pengadilan menegaskan bahwa kelahiran seorang anak tidak dapat dianggap sebagai kerugian hukum. Dari sinilah rangkaian dilema etika dalam kasus Kim Gang Hun mulai muncul dan diperdebatkan.
1. Apakah kelahiran bisa dianggap sebagai kerugian?

Pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa kelahiran Kim Gang Hun tidak dapat dipandang sebagai kerugian hukum. Dalam kerangka konstitusi, setiap kehidupan dinilai setara dan terhormat, sehingga mustahil bagi hukum untuk mengakui bahwa “lebih baik seseorang tidak dilahirkan.” Keputusan ini konsisten secara hukum, tapi terasa dingin ketika dihadapkan pada realitas hidup Gang Hun.
Di sisi lain, secara emosional, perasaan Gang Hun yang menganggap hidupnya sebagai beban bukanlah hal yang bisa serta-merta dibantah. Ia tidak sedang menolak eksistensinya, melainkan mengekspresikan kelelahan karena hidup dalam sistem yang tidak memberinya ruang untuk bertahan dengan layak. Di sinilah dilema muncul: hukum melindungi nilai hidup, sementara manusia merasakan beratnya menjalani hidup itu sendiri
2. Membela kehidupan atau sekedar memaksakan kelahiran?

Rumah Sakit Woongsan berdiri di posisi moral yang tinggi dengan mengklaim bahwa mereka membela kehidupan melalui penolakan aborsi. Secara naratif, ini terdengar mulia, hidup adalah sesuatu yang harus dijaga sejak awal. Namun, klaim tersebut mulai rapuh ketika rumah sakit tidak menunjukkan tanggung jawab yang sepadan setelah kelahiran terjadi.
Kasus Gang Hun menyoroti kontradiksi besar: memaksa kelahiran tanpa kesiapan untuk merawat kehidupan setelahnya. Ketika bayi lahir dengan disabilitas dan ibunya dibiarkan bertahan sendiri, nilai “pro-kehidupan” berubah menjadi slogan kosong. Dilema pun muncul, apakah membela kehidupan hanya berhenti pada momen kelahiran, atau seharusnya berlanjut sepanjang hidup?
3. Hak perempuan vs moral institusi

Jung So Min (Jeong Saet Byeol), ibu Kim Gang Hun, mengandung sang anak di usia 16 tahun dengan kondisi yang sangat rentan, sehingga keinginan untuk mempertahankan kandungannya saat itu pun nyaris tak pernah terlintas di benaknya. Tapi, keputusan-keputusan besar tentang tubuh dan masa depannya diambil oleh yayasan dan rumah sakit, bukan oleh dirinya sendiri. Atas nama moral dan perlindungan kehidupan, haknya untuk memilih nyaris tidak pernah benar-benar ada.
Di titik ini, tim pro bono menyoroti konflik klasik antara hak individu dan nilai institusional. Ketika moral lembaga dijadikan standar tunggal, suara perempuan muda seperti So Min menjadi nyaris tak terdengar. Dilema etika muncul ketika sistem merasa paling tahu apa yang “benar”, tanpa mempertimbangkan kesiapan, trauma, dan realitas hidup orang yang paling terdampak.
4. Prinsip konstitusi tanpa pembuktian nyata

Putusan pengadilan berulang kali menegaskan bahwa semua kehidupan setara dan harus dihormati. Namun, Da Wit justru mempertanyakan, apakah prinsip itu hanya berhenti sebagai kalimat indah dalam putusan hukum? Atau benar-benar diuji melalui tindakan nyata dan tanggung jawab konkret?
Inilah alasan Da Wit mengajukan banding dan menggugat direktur Woongsan Group. Ia tidak menolak nilai kehidupan, justru ingin mengujinya satu per satu. Jika kehidupan dianggap suci, maka siapa yang bertanggung jawab memastikan kehidupan itu tidak jatuh dalam penderitaan sistemik? Dilema etika muncul ketika prinsip besar dipakai sebagai tameng, tanpa mau menanggung konsekuensi dari penerapannya.
5. Siapa yang bertanggung jawab ketika sistem gagal?

Kasus Kim Gang Hun memperlihatkan kegagalan berlapis, ibu yang tidak dilindungi, anak yang lahir tanpa dukungan memadai, dan institusi yang saling melempar tanggung jawab. Tidak ada satu pihak pun yang sepenuhnya berdiri dan berkata, “Ini tanggung jawab kami.”
Di sinilah dilema etika terbesar muncul. Jika kehidupan diputuskan untuk dihadirkan ke dunia oleh sistem, maka sistem pula yang seharusnya menjaganya. Ketika itu tidak terjadi, beban justru jatuh pada individu paling lemah, anak yang bahkan tidak pernah memilih untuk lahir. Drama ini menyoroti dengan getir menunjukkan bahwa kegagalan sistem sering kali tidak terlihat sebagai kejahatan, tapi dirasakan sebagai penderitaan seumur hidup.
Kasus ini bukan tentang menyalahkan kelahiran, juga bukan tentang membenarkan penderitaan. Ia adalah cermin tentang bagaimana hukum, moral, dan realitas sering berjalan di jalur yang berbeda. Pada akhirnya, drama ini mengingatkan kita pada satu hal penting, bahwa yang merugikan bukan kelahiran Kim Gang Hun, melainkan dunia yang gagal menyambutnya dengan tanggung jawab dan empati.



















