5 Hal yang Tidak Dimiliki Kang Da Wit saat Masuk Tim PB di Pro Bono

Kang Da Wit (Jung Kyoung Ho) selama ini dikenal sebagai simbol kesempurnaan dalam sistem peradilan Korea Selatan di drakor Pro Bono. Sebagai hakim antikorupsi muda, ia memiliki karier cemerlang, reputasi bersih, serta jalur yang hampir pasti menuju posisi hakim agung. Setiap keputusannya dihormati, setiap langkahnya diperhitungkan, dan setiap putusannya seolah menjadi representasi ideal dari keadilan itu sendiri.
Namun, semua kemapanan itu runtuh ketika Kang Da Wit harus meninggalkan kursi hakim dan memulai peran baru sebagai pengacara di tim pro bono (pb) di firma hukum Oh and Partners. Peralihan posisi ini tidak hanya mengubah statusnya, tetapi juga membuka kenyataan pahit bahwa banyak hal mendasar yang selama ini tidak pernah ia miliki. Inilah lima hal penting yang absen dalam diri Kang Da Wit ketika ia pertama kali melangkah ke dunia pro bono.
1. Pengalaman menjadi pengacara yang berjuang di ruang sidang

Sebagai hakim, Kang Da Wit terbiasa berada di posisi tertinggi dalam ruang sidang. Ia mendengarkan, menimbang, lalu memutuskan. Namun, menjadi pengacara menuntut peran yang sepenuhnya berbeda: membela, berargumen, dan berjuang dari posisi yang tidak selalu menguntungkan.
Ketiadaan pengalaman ini membuat Da Wit sering kali terlihat kaku dan terlalu mengandalkan logika hukum formal. Ia belum terbiasa membaca emosi hakim, menyesuaikan ritme persidangan, atau membangun narasi yang menyentuh sisi kemanusiaan. Semua itu adalah keterampilan yang tidak pernah ia butuhkan saat masih mengenakan jubah hakim.
2. Pengalaman menangani kasus kepentingan publik

Kasus yang ditangani Kang Da Wit sebagai hakim umumnya berskala besar dan terstruktur rapi. Korupsi memiliki pola, pelaku, dan pasal yang jelas. Sebaliknya, kasus kepentingan publik di tim pro bono dipenuhi kerumitan sosial, ketimpangan kekuasaan, dan luka personal yang tidak selalu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa hukum.
Minimnya pengalaman ini membuat Kang Da Wit kerap frustrasi. Ia terbiasa mencari kebenaran objektif, sementara kasus publik sering kali hanya menyisakan pilihan yang sama-sama tidak adil. Di titik inilah Kang Da Wit dipaksa belajar bahwa hukum tidak selalu memberi jawaban yang bersih.
3. Pengalaman menangani kasus tanpa bayaran

Selama ini, Kang Da Wit bekerja dalam sistem yang mapan dan berkecukupan. Segala fasilitas tersedia, dukungan institusi kuat, dan kerja kerasnya dibalas dengan status serta pengakuan. Di tim pro bono, ia justru menghadapi realitas sebaliknya: kasus tanpa bayaran, klien tanpa daya, dan kantor yang bahkan tidak layak disebut representatif.
Kondisi ini mengguncang idealismenya. Ia harus menerima bahwa perjuangan hukum tidak selalu sejalan dengan penghargaan materi. Dari sini, Kang Da Wit mulai memahami makna pengabdian yang sesungguhnya, sesuatu yang tidak pernah ia pelajari dari balik meja hakim.
4. Pengalaman menghadapi gugatan yang dianggap tidak masuk akal

Bagi Kang Da Wit yang rasional dan kalkulatif, banyak gugatan pro bono terdengar tidak realistis. Peluang menang tipis, dasar hukumnya rapuh, dan hasil akhirnya nyaris bisa ditebak. Sebagai mantan hakim, instingnya selalu menolak perkara yang tidak memiliki probabilitas kemenangan.
Namun, ia perlahan menyadari bahwa bagi klien, gugatan tersebut bukan tentang menang. Gugatan adalah bentuk perlawanan terakhir, cara untuk menyuarakan ketidakadilan, dan usaha untuk mendapatkan pengakuan. Di sinilah Kang Da Wit dipaksa menurunkan egonya sebagai ahli hukum.
5. Keyakinan buta terhadap keadilan

Hal paling mendasar yang tidak dimiliki Kang Da Wit adalah keyakinan buta terhadap keadilan. Setiap langkah selalu ia ukur dengan peluang, statistik, dan konsekuensi. Tidak ada ruang bagi harapan kosong atau kepercayaan tanpa dasar.
Berbeda dengan anggota tim pro bono lainnya, Kang Da Wit harus belajar percaya bahwa memperjuangkan sesuatu yang tampak mustahil tetap bermakna. Keyakinan inilah yang perlahan tumbuh, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai hasil dari kegagalan demi kegagalan.
Ketiadaan lima hal ini justru menjadi fondasi penting bagi perjalanan Kang Da Wit dalam drama Pro Bono, karena dari kekosongan itulah ia dipaksa belajar ulang tentang makna keadilan, keberpihakan, dan kemanusiaan. Transformasi Kang Da Wit tidak terjadi secara instan, melainkan melalui benturan keras antara idealisme lama dan realitas pahit yang dihadirkan tim pro bono. Pada akhirnya, Pro Bono bukan hanya kisah tentang kasus hukum, melainkan perjalanan seorang mantan hakim yang harus kehilangan segalanya terlebih dahulu sebelum benar-benar memahami apa arti memperjuangkan keadilan.


















