5 Kondisi Tokoh KDrama Twenty-Five, Twenty-One, Relatable!

Sejak tayang pada awal Februari lalu, Twenty-Five, Twenty-One menjadi salah satu drama yang banyak dibicarakan oleh para penonton di paruh pertama 2022. Bahkan di minggu kelima penayangan, drama yang dibintangi oleh Nam Joo Hyuk dan Kim Tae Ri ini sukses menembus angka dua digit rating nasional sebesar 10,9 persen, lho. Daebak!
Episode 10 yang ditayangkan pada Minggu (13/3) lalu merebut atensi yang tinggi. Drama Twenty-Five, Twenty-One sendiri menceritakan tentang perjuangan Na Hee Do, Baek Yi Jin, Ko Yu rim, Moon Ji Woong, dan Ji Seung Wan dalam memperjuangkan karier, cita-cita, cinta, dan persahabatan di tengah krisis moneter yang melanda Korea Selatan.
Alur cerita dan kondisi tokoh dalam KDrama Twenty-Five, Twenty-One disebut cukup relatable dengan keadaan saat ini yakni menjalani kehidupan sehari-hari di zaman penuh persaingan. Berikut ini permasalahan dan kondisi kelima tokoh dalam drama Twenty-Five, Twenty-One yang relatable banget. Yuk, cek di bawah ini!
1. Berada di lingkungan kerja yang toxic

Sejak perusahaan ayahnya mengalami kebangkrutan, Baek Yi Jin harus berjuang seorang diri untuk kembali memperbaiki perekonomian keluarganya. Ia bahkan menjadi satu-satunya lulusan SMA yang berhasil lolos tes reporter di UBS TV saat ekonomi Korea Selatan mengalami resesi.
Meskipun sudah dikenal populer, cerdas, dan pandai berbicara di depan mikrofon sejak di bangku sekolah, tetapi Baek Yi Jin tetap dicap 'reporter hoki' oleh rekan-rekan sekantornya. Tentu saja itu bukan hal yang mudah bagi Baek Yi Jin, mengingat segala usahanya di UBS TV kerap diremehkan.
Bahkan saat terpilih untuk bertanggung jawab dalam program televisi yang meliput kegiatan atlet di luar lapangan, ide Baek Yi Jin dituntut supaya sejalan dengan seniornya. Ia juga harus menjadi yang pertama meminta maaf walaupun dalam posisi benar. Kamu pasti pernah di posisi ini, kan?
2. Cita-cita yang ditentang orangtua

Perjalanan Na Hee Do menjadi atlet anggar yang sukses meraih medali emas di Asian Games 1999 tentu saja tidak semulus yang dibayangkan. Di awal kariernya, ia harus menemui kerikil besar karena ekstrakulikuler anggar di sekolahnya terdahulu terpaksa ditutup karena efek dari krisis moneter yang dialami Korea Selatan pada saat itu.
Tentu saja bukan Na Hee Do namanya kalau menyerah begitu saja. Ia kemudian memutar otak supaya tetap bisa melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Berbekal kabar bahwa ekstrakulikuler anggar di SMA Tae Yang masih berjalan, ia melakukan berbagai cara supaya dipindahkan ke sekolah tersebut.
Keputusan itu ditentang keras oleh ibunya yang menganggap Na Hee Do tidak memiliki kemajuan sedikit pun selama beranggar. Ibunya bahkan menyarankannya untuk berhenti beranggar dan fokus pada pendidikannya. Namun, sekeras apa pun keputusannya ditentang, ia tetap berusaha keras untuk mengejar mimpinya.
3. Satu-satunya harapan keluarga

Dikenal berprestasi, Ko Yu Rim tidak hanya memikul beban yang dilimpahkan masyarakat Korea Selatan kepadanya di bidang anggar. Tetapi, ia juga memikul beban yang lebih berat dari keluarganya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ia menjadi harapan besar bagi kedua orangtuanya.
Ko Yu Rim bahkan selalu memiliki target yang tinggi dalam beranggar demi membantu perekonomian orangtuanya yang tidak stabil. Ia tentu saja akan merasa bersalah saat kalah dalam beranggar karena merasa sudah mengecewakan orangtunya karena terjun ke olahraga yang biayanya mahal.
Namun, pada akhirnya Ko Yu Rim sadar saat dirinya gagal meraih medali emas di Asian Games 1999, bahwa ia seharusnya tidak perlu merasa terbebani oleh apa pun. Ia tentu saja boleh gagal. Karena kebahagiaan dalam keluarga tidak ditentukan oleh harta, tetapi waktu yang bisa dihabiskan saat bersama.
4. Hidup yang membosankan

Langganan juara kelas dan pandai berbicara di depan mikrofon seperti Baek Yi Jin ternyata tidak benar-benar menguntungkan untuk Ji Seung Wan. Pada episode 10 Twenty-Five, Twenty-One, ia bahkan mengaku bahwa dalam hidupnya ia tidak memiliki sesuatu hal yang realistis untuk diceritakan kepada teman-temannya.
Menurut Ji Seung Wan, hidupnya cukup membosankan karena yang bisa dilakukan hanya belajar dan belajar sepanjang waktu. Ia merasa bersyukur karena memiliki teman seperti Moon Ji Woong yang unik, energik, dan ceria, sehingga ia bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan.
Meskipun disukai oleh para guru di sekolahnya, Ji Seung Wan sayangnya tidak memiliki kesempatan untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya secara langsung kepada mereka. Pada akhirnya, ia terpaksa mengeluarkan semua itu melalui siaran radio secara daring di internet. Kamu pasti pernah merasa seperti Ji Seung Wan, kan?
5. Dituntut untuk berprestasi

Kamu pasti pernah berpikir mengapa siswa dituntut untuk unggul dalam semua mata pelajaran, memiliki nilai rapor yang bagus, dan berprestasi di sekolah. Begitulah kira-kira yang dirasakan oleh Moon Ji Woong, selalu dibanding-bandingkan dengan Ji Seung Wan yang jauh lebih unggul di bidang akademik.
Bahkan yang lebih menyakitkan, Moon Ji Woong disebut tidak cocok berteman dengan Ji Seung Wan yang dikenal langganan juara kelas. Namun, meskipun tidak terlalu menonjol di bidang akademik, tetapi ia cukup berbakat di musik, seperti menyanyi dan menari. Ingat scene saat ia mengajari Na Hee Do menari?
Selain itu, di balik julukan happy virus yang disematkan kepadanya, Moon Ji Woong ternyata memiliki segudang keresahan yang ia pun tidak tahu harus membagikannya dengan siapa. Di episode terakhir Twenty-Five, Twenty-One, ia bercerita bahwa orangtuanya bercerai dan ibunya pun tidak terlalu suka kepadanya karena ia selalu menjadi peringkat terakhir di sekolah.
Kisah dan kondisi tokoh-tokoh pada drama Twenty-Five, Twenty-One disebut relatable di mana kita hidup di zaman yang kian penuh persaingan dan tuntutan untuk menjadi yang terbaik. Namun meskipun seperti itu, kebahagiaan tetap nomor satu dan tidak bisa dibeli uang. Semoga menginspirasi kita semua untuk melakukan yang terbaik, ya!