“Dalam menulis, saya senang dengan tantangan keluar dari zona nyaman. Zona nyaman saya tentu saja menulis cerpen, novel, atau esai sastra. Di awal 2000an, saya menerima tantangan untuk jadi jurnalis di "Pantau". Jujur, saya merasa babak-belur, harus ngejar narasumber, transkrip, menuliskannya dengan menarik. Saya tak akan pernah melupakan Andreas Harsono yang kasih saya kepercayaan itu. Pengalaman pendek yang sangat berarti untuk saya. Kemudian setelah itu, saya ditantang ngedit dan nulis naskah sinetron. Jujur saya enggak punya pengalaman. Tapi orang-orang TV itu juga kasih saya kepercayaan. Stressnya enggak kira-kira, terutama mengejar deadline dan jam tayang, kelakuan artis dan kendala syuting, yang sering berefek kepada cerita. Nyatanya saya melakukan itu bertahun-tahun, dan kini saya tak bisa menyangkal bahwa saya belajar banyak dari disiplin menulis untuk TV tersebut. Belakangan saya menerima tantangan baru: menulis opini isu-isu kekinian, op-ed, untuk sebuah koran internasional. Kembali harus saya katakan: tiap deadline saya harus siap babak-belur oleh cek-fakta, editing, mempertajam pendapat pribadi. Tapi editornya sangat membantu sekali, kasih semangat, dan seperti yang sebelumnya: percaya saya bisa melakukannya. Kalau sedang babak-belur dengan pekerjaan-pekerjaan itu, saya kadang mikir, kenapa saya tidak duduk manis saja di rumah, baca novel dan ngarang-ngarang cerita di komputer? Kalau ingin menempa diri, kenapa enggak ikut "sekolah penulisan kreatif"? Jawabannya jelas: jalanan menempa manusia lebih dari sekolah mana pun. Jurnalisme, industri TV, halaman opini koran, (juga lainnya) jelas menurut saya merupakan "jalanan" bagi penulis. Sekolah bagus dan mungkin penting, tapi babak-belur di jalanan, menurut saya lebih penting lagi.” Status facebook Eka Kurniawan tanggal 4 Juli 2017.