6 Pertanyaan sebelum Memarahi Karyawan, Redakan Emosimu

Anak buah atau karyawan juga bisa kesal pada atasannya. Akan tetapi, perasaan ini biasanya cuma dipendam. Lain halnya dengan bos yang sedang marah, pasti seluruh emosinya lebih mudah ditumpahkan ke anak buahnya.
Seakan-akan menjadi pimpinan memang wajar untuk sering memarahi orang. Padahal, kepemimpinan bukan tentang emosi yang membabi buta. Seorang pemimpin justru dituntut untuk selalu dapat berpikiran jernih dan tidak gampang emosi.
Tak perlu beralasan sifatmu memang mudah marah. Kesukaan memarahi karyawan bisa dikurangi dengan menunda reaksi kemarahan. Jawab dulu pertanyaan-pertanyaan ini di dalam hati niscaya kamu akan sadar bahwa dirimu sebenarnya tak perlu naik pitam.
1. Apakah sudah jelas siapa yang bersalah?

Kemarahanmu dengan hukuman memang dua hal yang berbeda. Namun, sembarangan memarahi karyawan tentu menyakiti hati mereka. Jangan mendahulukan kemarahan dibandingkan mengecek fakta tentang siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab.
Kamu gak boleh memarahi semua orang dan menutup mata soal siapa yang melakukan kesalahan. Sikap seperti ini tak mencerminkan keadilan. Bahkan bisa berpengaruh buruk terhadap kinerja seluruh anak buahmu.
Bagi mereka menjadi sama saja apakah mereka melakukan kesalahan atau tidak. Kalau sudah marah, kamu seperti menganggap mereka semua bersalah. Mending mereka sekalian ikut berbuat salah kalau begitu.
Akibatnya, perilaku seluruh bawahanmu malah bisa menjadi negatif. Selesaikan masalah secara orang per orang, sesuaikan dengan apa yang mereka lakukan. Itu pun tidak harus dengan meluapkan emosimu.
2. Ataukah situasinya memang di luar dugaan?

Jika terjadi masalah di kantor, ini tak berarti pasti ada orang yang paling layak untuk disalahkan. Sebagai atasan, kamu wajib berpikir lebih bijaksana. Pahami situasinya lalu simpulkan, apakah ini di luar perkiraan atau seharusnya dapat diantisipasi?
Hindari hanya suka menyalahkan anak buah tanpa benar-benar mengerti keadaan di lapangan. Jika situasinya memang tidak terduga, kamu gak bisa begitu saja memarahi siapa pun. Akan selalu ada hal-hal di luar dugaan yang dapat terjadi kapan saja.
Anak buahmu bukan orang yang tahu segalanya sekalipun mereka telah berusaha memetakan berbagai risiko. Tekankan saja agar ke depan mereka memasukkan masalah hari ini sebagai sesuatu yang bisa saja terjadi. Langkah antisipasi bakal menjadi lebih baik.
3. Apakah tak bisa lagi membicarakannya baik-baik?

Begitu nada bicaramu telah tinggi serta raut wajahmu gak bersahabat, tak ada satu hal pun yang bisa dibicarakan secara baik-baik. Dalam kuasa emosi, dirimu biasanya sudah gak mau tahu dengan segala penjelasan anak buah. Makin mereka mencoba menjelaskan keadaan yang sesungguhnya, makin dirimu marah.
Beda halnya kalau prioritasmu bukanlah emosi. Kamu selalu siap untuk berbicara dengan anak buah tentang berbagai masalah yang terjadi. Mereka salah sekalipun, tak serta-merta membuatmu meradang.
Pembicaraan tentang persoalan itu bisa dilakukan di tempat yang lebih privat guna menghindari lebih banyak orang mengetahuinya. Suasana dapat keruh jika permasalahan dibuka di depan siapa saja. Cukup antara kamu dengan anak buah yang berkaitan dengan masalah itu.
4. Mengapa tidak fokus mencari solusi?

Mana yang paling penting ketika terjadi permasalahan terkait pekerjaan, cepat ada solusi atau pertengkaran? Kalau kamu gak ingin problemnya berlarut-larut, fokuslah pada pencarian solusi. Kemarahan yang dirasakan sebaiknya tidak dibesar-besarkan.
Jika bisa, cukup tarik napas dalam-dalam dan embuskan pelan-pelan. Atau, diam dulu sampai kamu bisa memfokuskan diri pada solusi yang dapat diambil. Kamu tidak perlu meledak untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya dirimu jengkel.
Hanya dengan perubahan raut wajahmu saja, anak buah umumnya langsung tahu bahwa suasana hatimu sedang gak baik-baik saja. Bicaralah dengan tegas pada mereka buat menyelesaikan masalah itu dengan segera dan tepat. Bila persoalannya telah teratasi, pekerjaan bisa kembali berjalan lancar.
5. Seberapa efektif kemarahanmu terhadap perbaikan keadaan?

Coba lihat kembali akibat-akibat dari ledakan emosimu ketika terjadi masalah dalam pekerjaan. Apakah setelah kamu memarahi karyawan, keadaan menjadi lebih baik atau malah makin buruk? Tanda situasi kian tak kondusif misalnya semua orang menjadi pasif.
Mereka takut mengusulkan apa saja padamu. Mereka gak mau sampai melakukan kesalahan sekecil apa pun sehingga membuatmu tambah berang. Pun anak buah yang dimarahi belum tentu termotivasi untuk memperbaiki kesalahannya.
Jika dia kesal, sikapnya mungkin kian sembrono. Apabila ia ketakutan, boleh jadi kemarahanmu mematikan inisiatif dan kreativitasnya. Kalau kemarahanmu tak bisa dipastikan bakal menciptakan perubahan yang positif, lebih baik tidak menuruti dorongan dalam hati.
6. Bagaimana citramu di depan mereka kalau kamu marah?

Saat kamu marah besar, dirimu mungkin tak peduli soal citra diri. Akan tetapi, setelah emosimu reda kamu akan menyesali kelemahanmu dalam mengendalikan diri. Kamu baru sadar bahwa citra diri penting, apalagi untuk pemimpin sepertimu.
Jangan sampai kamu lebih dikenal sebagai atasan yang galak, tetapi sesungguhnya lemah dalam kepemimpinan. Setiap kemarahanmu pada mereka dianggap tak sebanding dengan arahan yang mampu kamu berikan. Artinya, kompetensimu sebagai pemimpin bakal diragukan.
Akan lebih baik jika kamu punya citra yang positif di mata anak buah. Itu meningkatkan rasa hormat dan kepatuhan mereka padamu. Hubungan kalian menjadi lebih harmonis yang membuat berbagai pekerjaan mampu diselesaikan dengan baik.
Walaupun sikap anak buah kadang membuatmu kesal, tahan dirimu supaya tidak sedikit-sedikit memarahi karyawan. Kebijaksanaanmu sebagai pemimpin mesti melampaui orang yang dipimpin. Jangan lupa selalu berintrospeksi, siapa tahu kesalahan mereka berawal dari kekeliruanmu.
Seperti kamu tak memberikan instruksi dengan jelas atau pelatihan untuk mereka terlalu sebentar. Kamu bisa menjadi pribadi yang tegas tanpa perlu galak dan hobi membentak. Buat mereka menghormatimu, bukan terlampau takut padamu serta merasa tertekan ketika berada di dekatmu.