Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Temuan Populix & KitaLulus, 80% Pekerja Nilai PHK Masih Gak Manusiawi

Temuan Populix dan KitaLulus:  80% Pekerja Masih Menilai PHK Tidak Manusiawi
Temuan Populix dan KitaLulus: 80% Pekerja Masih Menilai PHK Tidak Manusiawi (dok. Populix)
Intinya sih...
  • 80% pekerja nilai PHK tidak manusiawi
  • Tingginya rasa cemas dan kerentanan pekerja terhadap risiko PHK
  • Perbedaan persepsi pekerja dan HR menghasilkan konflik dalam proses PHK
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Populix dan KitaLulus merilis temuan penting mengenai persepsi pekerja Indonesia terhadap proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Studi yang melibatkan lebih dari 900 pekerja dan pencari kerja ini mengungkap, bahwa rasa aman di dunia kerja masih jauh dari ideal. Banyak pekerja merasa proses PHK dilakukan tanpa empati, sehingga meninggalkan luka psikologis yang cukup dalam.

Data ini menunjukkan bahwa PHK bukan hanya soal administrasi, tetapi menyangkut martabat dan kesejahteraan manusia. Dalam laporan tersebut, pekerja mendeskripsikan pengalaman PHK sebagai proses yang membingungkan dan minim penjelasan. Transparansi dan komunikasi yang buruk disebut menjadi faktor yang membuat proses ini terasa tidak manusiawi.

1. Mayoritas pekerja menilai PHK dilakukan secara tidak manusiawi

ilustrasi sekelompok orang melihat ke laptop
ilustrasi sekelompok orang melihat ke laptop (pexels.com/olly)

Sebanyak 80 persen pekerja masih menganggap PHK dilakukan secara tidak manusiawi karena prosesnya dinilai tidak transparan dan tidak adil. Banyak responden menyebut alasan PHK tidak dijelaskan dengan jelas, sehingga keputusan perusahaan sulit dipahami. Kondisi ini membuat pekerja merasa kurang dihargai, terutama ketika kinerja dan kontribusi mereka tidak dipertimbangkan.

Populix menyebut, bahwa ketidakjelasan alasan PHK hanya menambah ketidakpastian bagi pekerja. Mereka merasa perusahaan tidak melihat kondisi pribadi atau perjalanan kerja yang sudah mereka bangun bertahun-tahun. Ketika keputusan disampaikan secara mendadak dan tanpa empati, luka emosionalnya pun menjadi lebih besar.

“Riset kami menegaskan bahwa banyak pekerja masih merasa dirugikan dan tidak diperlakukan dengan layak. Itu sebabnya setiap proses PHK harus berangkat dari empati. Bahkan ketika keputusan sudah final, cara kita menyampaikan kabar buruk tetap dapat memberi ruang aman bagi mereka yang terdampak,” jelas Stevien Jimmy, Co-Founder KitaLulus, dalam rilis yang diterima IDN Times.

2. Tingginya rasa cemas dan kerentanan pekerja terhadap risiko PHK

ilustrasi perempuan fokus depan laptop
ilustrasi perempuan fokus depan laptop (pexels.com/yankrukov)

Temuan lainnya menunjukkan, 82 persen pekerja merasa rentan terkena PHK, bahkan ketika mereka belum terdampak sama sekali. Rasa rentan ini muncul karena dukungan manajemen dirasa belum kuat dalam menjaga keberlanjutan pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Ketidakpastian ini membuat pekerja terus merasa waswas, meski mereka masih berada di dalam perusahaan.

“82 persen pekerja juga merasa rentan terhadap risiko PHK. Mereka merasa dukungan manajemen dalam menjaga kelangsungan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan karyawan masih lemah. Hal ini menggambarkan bagaimana dampak PHK juga dirasakan oleh pekerja yang saat ini masih bekerja,” tegas Vivi Zabkie, Policy & Society Research Director Populix.

Ketakutan terkena PHK juga memengaruhi performa dan kesehatan mental pekerja. Mereka khawatir bahwa kebijakan efisiensi perusahaan dapat terjadi kapan saja tanpa komunikasi yang jelas. Situasi ini memperlihatkan, bahwa dampak PHK tidak hanya mengenai mereka yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga mereka yang masih bekerja.

3. Perbedaan persepsi pekerja dan HR menghasilkan konflik dalam proses PHK

ilustrasi kelompok diskusi di kantor
ilustrasi kelompok diskusi di kantor (pexels.com/fauxels)

Studi ini mengungkap adanya mismatch persepsi antara pekerja dan praktisi HR dalam memahami proses PHK. Perbedaan pandangan terkait kepatuhan hukum, alasan PHK, hingga komunikasi membuat prosesnya terasa semakin rumit. Ketidaksesuaian ini berpotensi memperbesar konflik, terutama ketika perusahaan dan pekerja tidak memiliki kesamaan pemahaman.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa dari 2.684 kasus perselisihan hubungan industrial, 1.921 kasus berkaitan dengan PHK. Data ini menunjukkan, bahwa perbedaan persepsi bukan isu kecil, tetapi masalah struktural yang perlu dibenahi. Pemerintah mendorong perusahaan dan HR untuk memprioritaskan dialog dan menjalankan PHK secara adil, transparan, dan humanis.

Demikianlah temuan ini jadi pengingat bahwa proses PHK tetap harus mengutamakan empati dan komunikasi yang manusiawi. Dengan transparansi dan dialog yang lebih baik, perusahaan bisa menjaga martabat pekerja sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Tarmizi Murdianto
EditorMuhammad Tarmizi Murdianto
Follow Us

Latest in Life

See More

3 Tips Atasi Kebiasaan Terlambat Masuk Kerja, Gak Kena Marah Lagi!

06 Des 2025, 22:32 WIBLife