TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Red Flags dalam Membuat Portofolio Data Science

Jangan sekali-kali berani lakukan ini

ilustrasi contoh portofolio data science (pexels.com/PhotoMIX Company)

Portofolio data science merupakan sekumpulan proyek yang bisa kamu jadikan sebagai amunisi untuk melamar pekerjaan di industri data. Memiliki portofolio data science berarti kamu sudah selangkah lebih maju dibandingkan kandidat lainnya. Tidak heran, jika akhir-akhir perusahaan sudah mulai mensyaratkan kandidatnya untuk melampirkan portofolio pada posisi tertentu. Portofolio menunjukkan skill yang dimiliki setiap kandidat, proyek yang pernah ditangani, spesifikasi kasus, kedalaman permasalahan, penggunaan tools yang tepat untuk menjawab tujuan riset, alur pemikiran, hasil temuan maupun bukti testimoni dari end-users sesuai dengan permasalahan yang diamati.

Membuat portofolio data science tidak segampang yang kita bayangkan. Apabila kamu adalah seorang pemula yang ingin berkarir menjadi data scientist maupun data analyst, penting untuk mengenali tanda bahaya atau “Red Flag” sebelum membuat portofolio data science. Kandidat yang asal-asalan membuat portofolio akan dinilai buruk di mata HRD. Yuk, simak apa saja “red flag” yang semestinya dihindari oleh pelamar ketika membuat portofolio data science. Jangan berani untuk lakukan ini!

1. Tidak jelas arah tujuannya ke mana

ilustrasi rekruter memeriksa portofolio kandidat (pexels.com/Karolina Grabowska)

Portofolio yang dibuat harus punya tujuan yang jelas dan dapat diukur. Setiap proyek yang dikerjakan seharusnya memiliki permasalahan yang urgent dan menarik untuk dikaji. Kemudian dirumuskan melalui pertanyaan penelitian, masalah apa yang ingin dipecahkan, apakah ada alat atau tools yang sesuai agar bisa menyelesaikan semua permasalahan yang dipecahkan.

Sebagai calon data scientist, penting bagi kamu untuk menjelaskan secara rinci setiap tujuan dalam masing-masing proyek. Jadi, bukan semata-mata tujuan tertulis namun tidak ada implementasinya ketika dipraktikkan. Dengan begitu, rekomendasi yang dihasilkan pada akhirnya tidak dapat dieksekusi dengan baik dan sia-sia.

Baca Juga: Data Analyst Vs. Data Scientist, Apa Perbedaannya?

2. Kurangnya diversifikasi proyek yang ditampilkan

ilustrasi contoh proyek yang beragam (pexels.com/fauxels)

Rekruter akan melihat keseriusan calon pelamar dari portofolio yang telah dibuat. Terlepas dari apa pun latar belakang pendidikannya, gelar dan tingkat pendidikan yang diraih, serta pengalaman, mereka pasti memiliki ekspektasi yang tinggi. Jika kamu mengerjakan proyek yang sederhana ditambah asal-asalan pastinya menganggap kamu tidak serius. Memang kesalahannya sepele namun berakibat besar di kemudian hari. Sebab, di lapangan kamu akan sering menghadapi hal-hal baru, tidak berkutat pada satu proyek yang monoton. 

Sebisa mungkin portofolio yang dibuat bisa merepresentasikan kemampuan teknis yang dimiliki. Misalnya kamu paham tentang pengolahan data, algoritma, sistem database, penggunaan regresi linier, melakukan analisis faktor, memahami dan mengetahui kategori data, operasi loop, dan lain-lain.

Dalam kasus nyata di lapangan, perusahaan pastinya akan menemui banyak kasus. Kasus tersebut dipecahkan semuanya based on data. Di sinilah seharusnya kesempatan pelamar dimanfaatkan untuk membuktikan kepada HRD bahwa kamu memiliki skill yang mumpuni dari segi analisis data. Jika membuat proyek yang terlalu sederhana tentunya ini menjadi bumerang bagi kamu sendiri. Mereka menganggap kamu tidak capable dalam menangani semua

3. Proyek yang out-of-date

ilustrasi proyek data covid-19 (pexels.com/Atypeek Dgn)

Teknologi informasi dan komunikasi akan selalu berkembang cepat dari waktu ke waktu. Kalau kamu memasukkan proyek-proyek yang sudah out-of-date atau ketinggalan zaman, buat apa? Apakah hanya memenuhi portofolio kamu biar penuh saja? Atau ingin cari perhatian kepada recruiter sehingga dilirik?

Misalnya kamu memasukkan proyek tentang penanganan covid-19 dikaji dari ranah data science. Tetapi, sekarang ini Covid-19 sudah mereda. Lantas apakah kajian kamu ini diterima? Tentu melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu. Jika memang isunya masih update dan berlaku sampai sekarang maka besar kemungkinan mereka tertarik untuk melihat hasil pemecahan masalahmu.

Kalau sudah out-of-date atau isunya sudah lewat gimana coba? Rekruter pastinya akan jengah karena sudah pernah dibahas atau sudah lampau isunya sehingga tidak relevan lagi. Sebisa mungkin perlu dihindari ya kawan!

4. Coding yang tidak rapi

ilustrasi seseorang sedang memeriksa code bahasa pemrograman (pexels.com/ThisIsEngineering)

Bagi orang awam, mungkin coding yang tidak rapi itu tidak menjadi masalah. Lantas bagaimana jika yang membaca portofolio kamu adalah orang yang paham dengan ranah ini. Pastinya akan merasa kesal dan dinilai bahwa kandidat tersebut tidak profesional. Kode yang tidak terdokumentasi dengan baik membuat mereka susah untuk menangkap benang merah dari apa yang kamu tuliskan di portofolio.

Kode yang tidak rapi dalam portofolio data science dapat menjadi red flag. Sebab hal ini mencerminkan pelamar kurang aware dengan kualitas portofolio mereka. Setiap coding memiliki aturan penulisan dan pedoman tersendiri, tidak asal langsung menulis tanpa dibubuhkan dasar yang kuat. Misalnya penulisan variabel, penggunaan indentasi, operasi loop, penggunaan separator dan lain-lain. Kode yang kacau dan sulit dibaca dapat menyulitkan orang lain yang ingin memahami portofolio kamu.

Baca Juga: 5 Pain Experience saat Bikin Portofolio Data Science

Writer

Reyvan Maulid

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya