Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mengalami burnout (pexels.com/Anna Tarazevich)

Intinya sih...

  • Burnout adalah kelelahan fisik, emosional, dan mental yang membuat merasa hampa dan tidak bersemangat.

  • Atur ulang ritme kerja dengan teknik "work-life rhythm" untuk menghindari burnout.

  • Komunikasikan beban kerja pada atasan, bangun ritual pemulihan harian, dan temukan makna pekerjaan untuk keluar dari burnout.

Burnout bukan sekadar lelah biasa. Ini kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang bisa bikin kamu merasa hampa, tidak bersemangat, bahkan ingin menyerah dari pekerjaan. Tapi tenang, keluar dari burnout bukan berarti harus resign. Kamu masih bisa pulih dan bangkit tanpa harus meninggalkan pekerjaan yang kamu perjuangkan.

Yuk, simak 5 cara jitu keluar dari burnout tanpa harus resign, biar tetap waras dan produktif!

1. Kenali pemicu burnout dan tulis "warning sign"-mu

ilustrasi menulis pemicu burnout (pexels.com/Kampus Production)

Langkah pertama adalah sadar dan jujur pada diri sendiri: apa yang bikin kamu burnout? Beban kerja? Atasan? Lingkungan kerja? Atau ekspektasi diri yang terlalu tinggi?

Apa yang bisa kamu lakukan:

  • Tulis pemicu burnout secara spesifik.

  • Kenali tanda-tanda awal sebelum kelelahan jadi kronis, seperti mudah tersinggung, tidak fokus, atau malas bangun pagi.

Manfaatnya:
Dengan mengenali pemicu dan gejalanya, kamu bisa mengambil langkah pencegahan lebih cepat sebelum burnout makin parah.

2. Atur ulang ritme kerja dengan teknik “work-life rhythm”

ilustrasi pekerja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Alih-alih mencari “work-life balance” yang sempurna (karena kadang itu mitos!), cobalah pendekatan “work-life rhythm”: sesuaikan ritme kerja dan hidup sesuai kebutuhan fisik dan emosionalmu.

Cara praktis:

  • Terapkan metode kerja seperti time blocking atau Pomodoro.

  • Sisipkan jeda singkat untuk napas, nyemil sehat, atau sekadar jalan kaki.

  • Gunakan cuti dengan bijak, meski hanya 1 hari untuk "me-time".

Hasilnya:
Produktivitas tetap jalan, tapi kamu juga punya ruang untuk recharge secara teratur.

3. Komunikasikan dengan atasan, bukan dipendam sendiri

ilustrasi berkomunikasi dengan atasan (pexels.com/Vitaly Gariev)

Jangan simpan semua beban kerja sendirian. Banyak karyawan merasa takut terlihat lemah, padahal burnout yang tidak diatasi bisa berdampak ke performa jangka panjang.

Langkah bijak:

  • Ungkapkan beban kerja yang tidak realistis atau timeline yang terlalu padat.

  • Tawarkan solusi: misalnya minta perpanjangan deadline, delegasi tugas, atau jadwal meeting yang lebih efisien.

Kuncinya:
Gunakan pendekatan asertif, bukan emosional. Sampaikan dengan data dan fokus pada solusi, bukan sekadar keluhan.

4. Bangun “ritual pemulihan” harian yang konsisten

ilustrasi bermeditasi (pexels.com/Alena Darmel)

Pemulihan dari burnout butuh sistem, bukan momen iseng. Kamu bisa buat ritual sederhana tapi konsisten setiap hari untuk bantu tubuh dan pikiran tenang.

Contoh aktivitas pemulihan:

  • 10 menit journaling sebelum tidur.

  • Meditasi atau peregangan pagi.

  • Membaca buku non-kerja sebelum tidur.

  • Offline dari gadget setelah jam kerja.

Efeknya:
Otak belajar membedakan waktu kerja dan waktu istirahat. Pikiran lebih stabil, dan kamu merasa lebih berdaya.

5. Temukan makna dari pekerjaan, bukan sekadar gaji

ilustrasi koneksi dengan rekan kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Kadang burnout muncul karena kehilangan “sense of purpose” atau merasa pekerjaan hanya tentang angka dan deadline. Coba gali kembali: apa yang membuat pekerjaanmu penting?

Cara menemukannya kembali:

  • Lihat dampak kecil dari tugasmu ke orang lain (tim, klien, masyarakat).

  • Bangun koneksi dengan rekan kerja yang suportif.

  • Tantang diri dengan proyek baru yang sesuai minat.

Ingat:
Bukan resign yang menyembuhkan, tapi keterhubungan kembali dengan makna dan tujuanmu bekerja.

Burnout memang berat, tapi bukan akhir segalanya. Dengan mengenali pemicu, mengatur ritme kerja, bicara terbuka, dan memulihkan diri secara konsisten, kamu bisa bangkit lagi tanpa harus keluar dari pekerjaan. Karena kadang, yang kamu butuhkan bukan jalan keluar, tapi cara baru untuk bertahan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team