Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bullying (pexels.com/keira-burton)
ilustrasi bullying (pexels.com/keira-burton)

Intinya sih...

  • Bullying di tempat kerja dapat menurunkan produktivitas secara drastis, memengaruhi kesehatan mental pegawai, dan menciptakan budaya kerja toksik.

  • Stres kronis, gangguan kecemasan, dan depresi adalah efek nyata dari bullying yang bisa berdampak jangka panjang pada karyawan dan reputasi perusahaan.

  • Budaya kerja toksik akibat bullying dapat menyebabkan penurunan loyalitas pegawai, turnover tinggi, dan dampak finansial yang besar bagi perusahaan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bullying di tempat kerja biasanya gak terlihat jelas seperti di sekolah, tapi dampaknya bisa jauh lebih terasa. Kadang bentuknya halus, seperti komentar merendahkan di rapat, gosip yang menyebar diam-diam, atau sikap mengucilkan seseorang.

Meski dianggap sepele, perilaku semacam ini bisa menciptakan efek domino yang merusak ekosistem kerja. Lingkungan yang awalnya produktif dan kolaboratif, bisa berubah jadi tempat yang penuh tekanan dan ketidaknyamanan. Berikut lima efek bullying di kantor yang jarang disadari!

1. Produktivitas turun drastis

ilustrasi malas bekerja (pexels.com/karolina grabowska)

Bullying bisa membuat seseorang kehilangan fokus, rasa percaya diri, bahkan minat untuk bekerja. Bayangkan datang ke kantor setiap hari dengan perasaan cemas atau takut terhadap rekan kerja sendiri. Situasi seperti itu tentu bikin performa jeblok.

Korban akan cenderung menarik diri, lebih sering melakukan kesalahan, dan kehilangan semangat untuk berkontribusi. Dalam jangka panjang, ini bisa menular ke tim lain. Rekan kerja yang melihat atau merasakan atmosfer negatif juga bisa kehilangan motivasi, karena energi buruk di lingkungan kerja memang menular dengan cepat.

2. Mental health pegawai jadi taruhan

ilustrasi burnout (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Efek paling nyata dari bullying adalah rusaknya kesehatan mental. Korban bisa mengalami stres kronis, gangguan kecemasan, hingga depresi. Dalam beberapa kasus, efeknya bisa bertahan lama bahkan setelah korban meninggalkan pekerjaan tersebut.

Lingkungan kerja malah berubah jadi sumber trauma. Bagi yang baru mulai karier, ini bisa jadi pengalaman yang meninggalkan bekas mendalam. Rasa takut untuk bersuara atau berpendapat bisa terbawa ke tempat kerja berikutnya. Bullying tak hanya memengaruhi individu, tapi juga kinerja tim dan reputasi perusahaan di mata publik.

3. Budaya kerja jadi toksik

ilustrasi rekan kerja toksik (pexels.com/van Samkov)

Bullying yang dibiarkan bisa tumbuh jadi budaya. Orang-orang mulai menormalisasi perilaku kasar, merasa itu bagian dari “proses adaptasi” atau “ujian mental”. Lama-lama, siapa pun yang baru bergabung akan ikut terjebak dalam siklus yang sama.

Ketika budaya toksik ini sudah melekat, sulit bagi perusahaan untuk menarik atau mempertahankan talenta terbaik. Budaya kerja yang tak sehat membuat komunikasi yang sehat jadi sulit. Pegawai jadi takut berbicara, enggan melaporkan masalah, dan lebih memilih diam daripada menanggung risiko.

4. Loyalitas pegawai menurun

ilustrasi bekerja (pexels.com/olly)

Ketika seseorang merasa gak dihargai atau diperlakukan tidak adil, loyalitasnya otomatis luntur. Bullying menciptakan jarak emosional antara karyawan dan perusahaan. Mereka mungkin masih hadir setiap hari, tapi hati dan pikirannya sudah tak di sana lagi. Dalam kondisi seperti ini, engagement turun, dan semangat untuk berkontribusi lenyap.

Lebih parahnya lagi, karyawan yang merasa tertekan akan mulai mencari jalan keluar. Mereka bisa jadi bercerita ke luar tentang pengalaman buruknya, membuat citra perusahaan tercoreng. Reputasi sebagai tempat kerja toksik akan cepat menyebar. Ketika kepercayaan publik sudah rusak, memulihkannya bukan perkara mudah.

5. Turnover tinggi dan dampak finansial yang besar

ilustrasi interview (pexels.com/Edmond Dantès)

Efek paling nyata untuk perusahaan dari bullying di tempat kerja adalah turnover yang tinggi. Orang-orang terbaik akan pergi lebih dulu karena mereka punya pilihan. Sementara yang bertahan biasanya karena tak punya alternatif lain, bukan karena ingin tetap berkontribusi.

Ini membuat tim kehilangan keseimbangan dan iklim kerja terganggu. Turnover juga membawa biaya besar, mulai dari proses rekrutmen, pelatihan karyawan baru, hingga waktu adaptasi yang memakan energi. Pada akhirnya, perusahaan terjebak dalam siklus berulang antara kehilangan, rekrutmen, dan adaptasi tanpa henti.

Bullying di dunia kerja bukan sekadar drama personal antara dua orang, tapi masalah yang bisa menghancurkan perusahaan dari dalam. Lingkungan kerja yang sehat seharusnya membuat orang betah, agar perusahaan tumbuh secara berkelanjutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Topics

Editorial Team