"Tadi di sekolah kamu main sama siapa aja? Seru gak?"
"Ada gak teman yang kamu rasa agak jahat atau suka bikin kamu sedih?"
"Menurut kamu, teman yang baik itu kayak gimana, sih?
"Pernah gak kamu lihat ada teman yang disuruh-suruh terus atau diledekin?"
"Kalau kamu jadi teman yang baik, kamu mau ngelakuin apa?"
Kalimat Mengawali Percakapan Terkait Bullying pada Anak, Hindari Ini!

- Mulai sejak usia dini, coba lah dengan bahasa yang konkret
- Mulai menyematkan kata 'bullying' dalam percakapan
- Kalimat untuk percakapan jika anak mungkin menjadi korban bullying
Ada rasa perih yang sulit dijelaskan setiap kali sebuah berita bullying di lingkup sekolah kembali viral di linimasa. Di balik layar ponsel, mungkin banyak orangtua yang diam-diam ikut menahan napas, membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada anak mereka sendiri, baik sebagai pelaku atau justru korban.
Bagi sebagian orangtua, rasa takut itu bukan sekadar kekhawatiran biasa. Ia muncul bersamaan dengan kegelisahan lain: bagaimana caranya berbicara dengan anak tentang bullying tanpa membuat mereka takut, tertutup, atau justru merasa bersalah? Di tengah kebingungan itu, banyak yang sadar bahwa membangun ruang aman untuk bicara, kadang, lebih penting daripada sekadar memberi nasihat.
"Tantangan terbesarnya adalah memberi pembiasaan di usianya biar gimana caranya dia mengerti apa yang jadi haknya tanpa melakukan kekerasan," ujar Akfini H (25) seorang ibu dari balita, saat diwawancarai IDN Times (8/11/2025). Pernyataan itu menggambarkan keresahan banyak orangtua masa kini: bahwa memahami konsep bullying tak hanya soal melindungi anak dari kekerasan, tapi juga mengajarkan mereka untuk tidak menjadi pelaku sejak dini.
Keresahan itu pula yang menunjukkan pentingnya peran komunikasi sejak dini. Sebab, cara orangtua membingkai obrolan soal perundungan bisa menjadi kunci apakah anak merasa aman untuk terbuka, atau justru menutup diri. Putri Aisya, M.Psi, Psikolog, seorang psikolog klinis, menilai bahwa, "Pemahaman tentang bullying sendiri sebenarnya bisa mulai disiapkan dari masa pra sekolah (usia sekitar 4 ke atas). Tapi pembahasan harus dibuat konkret/sesuai dengan perkembangan kognitif anak," katanya kepada IDN Times (8/11/2025). Lantas, kalimat seperti apa yang sebaiknya diucapkan orangtua saat memulai percakapan ini?
1. Mulai sejak usia dini, cobalah dengan bahasa yang konkret

Seperti yang sebelumnya diucapkan oleh Putri, bahwa topik bullying sebenarnya sudah bisa mulai dibangun sejak anak berada di usia dini. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana orangtua membahasakan atau memulainya. Tentunya belum dengan istilah 'bullying' secara langsung. Di usia prasekolah, anak masih berpikir konkret, jadi orangtua bisa mulai dari hal-hal sederhana seperti mengenalkan 'teman baik' dan 'teman yang kurang baik,' atau 'perbuatan yang membuat orang senang' dan 'perbuatan yang membuat orang sedih.'
Contoh kalimat yang bisa digunakan:
Di sisi lain, situs Stop Bullying US juga memberikan beberapa tips atau saran berbicara kepada anak-anak usia dini terkait bullying. Percakapan bisa berlangsung di mobil, sebelum atau sesudah mengerjakan PR, saat makan malam atau sarapan, atau ketika melakukan sesuatu bersama. Buat suasananya santai dan penuh rasa ingin tahu. Tunjukkan bahwa kamu percaya pada mereka.
Contoh kalimat yang bisa digunakan:
"Apa hal paling lucu yang terjadi hari ini?"
"Apa hal terbaik dan terburuk yang kamu alami hari ini?"
"Hal baru apa yang kamu pelajari tentang teman atau teman sekelas minggu ini?"
"Kalau kamu bisa mengubah satu hal dari hari ini, apa yang ingin kamu ubah?"
Konsep tersebut selaras juga dengan yang diterapkan Akfini sebagai ibu yang memiliki balita, ia menyebutkan bahwa "Hal yang aku lakukan dengan ajak komunikasi dan memvalidasi emosinya dulu, baru jelasin kalo mukul/lempar barang ke teman itu gak boleh, Dipukul itu sakit dan aku ajarin dia untuk sayang ke temannya (atau jadi teman yang baik)."
2. Mulai menyematkan kata 'bullying' dalam percakapan

Ketika anak mulai memasuki usia sekolah, orangtua bisa perlahan memperkenalkan istilah bullying dalam obrolan sehari-hari. "Di usia sekolah dasar, orangtua mulai bisa menggunakan istilah bullying dan tetap diberi contoh konkretnya juga, seperti jenis bullying, kenapa bullying bisa terjadi, dan cara menghadapinya," jelas Putri.
Selain itu, orang tua bisa memanfaatkan pengalaman pribadi untuk membuka topik ini secara lebih hangat. Berdasarkan panduan dari situs resmi Stop Bullying US, bercerita tentang pengalaman masa kecil, baik saat pernah melihat atau mengalami perundungan, bisa membantu anak merasa lebih nyaman. Misalnya dengan memulai,
"Eh, Mama pernah lihat anak di sekolah dulu suka mengejek teman lain, deh. Kamu pernah lihat hal kayak gitu gak?"
"Akhir-akhir ini Mama sering dengar soal cyberbullying, deh. Kamu tahu gak itu apa?"
"Tadi Mama baca berita ada anak di sekolah lain yang di-bully. Kalau kamu lihat hal kayak gitu, menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan?"
"Kamu tahu gak, Nak, kalau mengejek teman terus-menerus sampai dia sedih atau gak mau main lagi, itu namanya bullying. Jadi kalau kamu lihat ada yang begitu, atau kamu sendiri digituin, kamu boleh banget cerita ke Mama, ya."
Dengan begitu, anak tidak merasa sedang 'diinterogasi', namun justru diajak untuk berbicara dan berdialog. Hal tersebut bisa membangun ruang aman untuk saling berbagi sudut pandang.
3. Kalimat untuk percakapan jika anak mungkin menjadi korban bullying

Kadang orangtua mulai curiga anak mengalami bullying ketika sikapnya berubah. Misalnya jadi lebih pendiam, mudah marah, atau enggan berangkat sekolah. Kalau begitu, penting untuk tidak langsung menghakimi atau menekan anak agar bercerita, tapi mulai dengan percakapan ringan dan empatik. Menurut Stop Bullying US, berikut beberapa contoh kalimat yang bisa diucapkan:
Jika anak masih terlihat enggan bercerita atau ragu:
"Mama perhatiin kamu akhir-akhir ini kelihatan sedih, ada sesuatu yang ganggu gak di sekolah?"
"Kamu belakangan suka menyendiri ya, ada yang bikin kamu nggak nyaman?"
"Kalau ada hal yang bikin kamu kesel atau takut, Mama selalu siap dengerin, ya."
Jika anak sudah mulai bercerita atau terlihat jadi korban:
"Kamu nggak salah, ya. Nggak ada yang pantas diperlakukan kayak gitu."
"Kamu hebat udah berani cerita. Sekarang kita pikirin bareng-bareng supaya kamu bisa lebih tenang dan aman, ya."
"Kira-kira apa yang bisa bikin kamu merasa lebih aman di sekolah nanti? Mama bisa bantu apa?"
"Kalau kamu gak nyaman hadapin sendiri, boleh banget Mama bantu ngobrol sama gurumu."
Coba lah untuk membangun ruang aman dengan nada yang tenang, suportif, dan tidak menyudutkan. Supaya anak merasa lebih nyaman dan aman saat membuka diri.
4. Bagaimana jika justru anak yang terindikasi sebagai pelaku bullying?

Jika anak diketahui melakukan bullying, orangtua sebaiknya tetap tenang dan terbuka. Hindari langsung memarahi, karena tujuan utamanya bukan untuk menghukum, melainkan membantu anak memahami perilakunya dan menemukan cara yang lebih sehat untuk mengekspresikan emosi atau menyelesaikan masalah.
Berikut beberapa contoh kalimat yang bisa digunakan:
"Waktu kamu melakukan itu, sebenarnya apa yang kamu rasakan atau pikirkan?"
"Sekarang setelah semuanya terjadi, kamu merasa gimana?"
"Menurut kamu, bagaimana perasaan teman yang kamu perlakukan seperti itu?"
"Kalau dipikir lagi, ada nggak cara lain yang bisa kamu lakukan waktu itu?"
5. Kesalahan yang mungkin dilakukan orangtua saat membangun percakapan dengan anak

Dalam proses membicarakan bullying, tak jarang orangtua justru terjebak dalam dua ekstrem yang sama-sama keliru. Sebagaimana disampaikan oleh Putri, biasanya ada dua versi orangtua, yaitu yang menyalahkan anak vs. membela anak tanpa tahu ceritanya terlebih dahulu. Putri mengatakan, kalimat pertama yang perlu diucapkan oleh orangtua berupa validasi terlebih dahulu,
"Orangtua bisa memvalidasi perasaan anak dulu, kemudian meminta anak untuk bercerita. Yang terpenting, jangan lupa untuk double cek pada guru di sekolah. Hal ini karena ada kemungkinan jika anak belum bisa menyampaikan cerita dengan baik/tepat, karena bahasa dan kosakata yang sedang berkembang (takut ada salah paham, salah pemaknaan, terutama untuk anak yang masih kecil)," katanya.
Di sisi lain, Putri juga menyebutkan, mungkin ada orangtua yang langsung meminta anak untuk membalas perilaku temannya itu. Meskipun itu merupakan bagian dari self-defense, namun dikhawatirkan anak jadi tidak belajar bahwa ada cara asertif untuk melawan perundungan. Dengan kata lain, membangun percakapan tentang bullying bukan hanya soal menemukan siapa yang salah, tetapi bagaimana anak bisa belajar menyelesaikan konflik dengan empati dan keberanian.
Pada akhirnya, percakapan tentang bullying bukan semata soal memberi tahu anak mana yang benar dan salah, tetapi tentang membentuk empati, keberanian, dan rasa aman di rumah. Karena dari ruang aman itulah, anak belajar bahwa setiap perasaan layak didengar, tanpa takut dihakimi.


















