ilustrasi task masking (pexels.com/Farhad Rahgozar)
Kamu mungkin gak asing dengan fenomena task masking. Namun, menurut studi Workhuman tahun 2025, 36 persen pekerja di Amerika Serikat mengaku melakukan task masking. Sebuah angka yang cukup besar, ya?
Task masking juga disebut sebagai sebuah fenomena karena banyak unggahan di media sosial, terutama TikTok terang-terangan mengangkat tema cara melakukan task masking. Hal ini tentu bukan pertanda baik, karena jika banyak orang yang menerapkannya, produktifitas pekerjaan akan menurun. Lantas, apa penyebab fenomena ini?
Cook mengungkapkan bahwa ada permasalahan yang lebih besar di balik kejadian task masking di tempat kerja. Menurutnya, orang tidak akan berpura-pura bekerja ketika mereka terinspirasi, tertantang, dan sangat paham tentang tujuan pekerjaan mereka.
Di sisi lain, Amanda Augustine, pelatih karier di career.io mengungkapkan dalam Fortune bahwa sejalan dengan kehidupan kantor pasca pandemik, perusahaan yang mengharuskan karyawannya kembali ke kantor mengirimkan pesan tak langsung bahwa kehadiran sama dengan produktivitas. Di sisi lain, golongan muda seperti Gen Z sebenarnya merasa lebih nyaman dengan ritme work from anywhere selama tugas-tugas mereka tetap selesai.
"Hal ini mencerminkan keyakinan para profesional muda bahwa waktu dan kehadiran di tempat kerja tidak sebanding dengan hasil dan dampak yang mereka dapatkan. Pada dasarnya, tujuan dari task masking adalah untuk membuktikan bahwa terlihat sibuk tidak sama dengan menjadi lebih produktif," kata Augustine, dikutip Fortune.
Jenni Field, pendiri dan CEO Redefining Communications menambahkan di laman yang sama bahwa task masking yang merupakan tanda ketidakpedulian dan inefisiensi bukan hal yang baru dan dapat terjadi di mana saja. Ia mengungkapkan, bahwa jika hal tersebut terjadi, karyawan dan pemimpinnya perlu mendefinisikan ulang arti pekerjaan bagi mereka.