Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Risiko Penggunaan AI di Industri Kreatif, Harus Bijak!

ilustrasi ChatGPT (pexels.com/Matheus Bertelli)
Intinya sih...
  • AI mengancam orisinalitas karya kreatif dengan mengulang atau mendaur ulang konten yang sudah ada, merusak nilai seni dan proses berpikir manusia.
  • Penggunaan AI dalam industri kreatif menimbulkan persoalan hak cipta dan etika, serta mengancam keberlangsungan karier individu di sektor kreatif.
  • Penggunaan AI secara masif dapat mengubah cara masyarakat menilai seni dan menciptakan standar baru yang dangkal, memudarkan penghargaan terhadap karya manusia.

Kecerdasan buatan (AI) telah merevolusi industri kreatif dengan kemampuan menghasilkan konten dalam hitungan detik, mulai dari tulisan, gambar, hingga musik. Namun, di balik efisiensi yang ditawarkan, ada risiko serius yang terus menjadi perdebatan jika penggunaannya tidak bijaksana. Banyak profesional kreatif mulai mempertanyakan dampak jangka panjang AI terhadap orisinalitas, hak cipta, dan bahkan nilai seni itu sendiri.

Inovasi teknologi memang membawa manfaat besar, tetapi tanpa regulasi dan kesadaran yang matang, penggunaannya bisa mengarah pada berbagai risiko yang merugikan banyak pihak. Dalam konteks ini, penting untuk memahami apa saja potensi risiko penggunaan AI di dunia kreatif agar tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga tetap menghargai peran manusia sebagai pencipta utama. Berikut empat risiko utama penggunaan AI di industri kreatif yang perlu diwaspadai dan dikelola dengan bijak.

1. Ancaman terhadap orisinalitas karya

ilustrasi seorang ilustrator (pexels.com/Sasha Kim)

Salah satu tantangan paling nyata dari penggunaan AI di bidang kreatif adalah potensi hilangnya orisinalitas. AI bekerja dengan mengumpulkan dan memproses data dari ribuan bahkan jutaan karya manusia, lalu merekonstruksi informasi tersebut menjadi konten baru. Hasil yang diciptakan memang terlihat segar, namun tidak sedikit yang menilai bahwa AI hanya mengulang atau mendaur ulang karya yang sudah ada tanpa benar-benar menciptakan sesuatu yang benar-benar orisinal.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konten yang dihasilkan tidak lagi merepresentasikan visi personal seorang seniman atau kreator. Ketika AI digunakan secara luas, standar orisinalitas pun bisa semakin rumit, bahkan mungkin tak relevan lagi. Padahal, orisinalitas adalah salah satu pilar utama yang memberi nilai pada sebuah karya kreatif. Jika semuanya menjadi hasil dari algoritma, penghargaan terhadap proses berpikir dan ekspresi personal bisa tergerus.

2. Pelanggaran hak cipta dan etika

ilustrasi hukum dan kebijakan (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

AI dalam industri kreatif sering kali dilatih menggunakan karya seni, musik, tulisan, dan desain milik orang lain tanpa izin eksplisit. Praktik ini menimbulkan persoalan serius dalam ranah hak cipta. Banyak karya AI yang pada dasarnya merupakan turunan langsung dari konten yang dilindungi hukum, namun karena diproses oleh mesin, tanggung jawab hukum menjadi kabur dan sulit ditentukan.

Tak hanya itu, pelanggaran etika juga kerap terjadi ketika AI digunakan untuk meniru gaya seniman tertentu tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Hal ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mencederai reputasi dan integritas seniman tersebut. Ketika karya manusia dipakai sebagai bahan mentah bagi kecerdasan buatan tanpa pengakuan maupun kompensasi, muncullah pertanyaan besar tentang keadilan dalam ekosistem kreatif.

3. Menggeser peran pekerja kreatif

ilustrasi seorang pelukis (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Perkembangan AI yang cepat telah menyebabkan kekhawatiran bahwa banyak profesi di bidang kreatif akan tergantikan. Dari penulis konten, ilustrator, hingga editor video, banyak pekerjaan kini dapat dilakukan oleh AI dalam waktu yang jauh lebih singkat dan dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini tentu memengaruhi keberlangsungan karier banyak individu yang selama ini menggantungkan hidup di sektor kreatif.

Lebih jauh lagi, ketergantungan terhadap AI juga bisa menghambat pengembangan bakat dan keterampilan manusia. Jika perusahaan atau klien lebih memilih hasil dari AI karena alasan efisiensi, maka ruang untuk berkembang bagi kreator muda dan baru akan semakin sempit. Industri yang semestinya menjadi tempat subur bagi inovasi manusia bisa berubah menjadi sistem yang sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma.

4. Mengubah cara masyarakat menilai karya seni

ilustrasi pekerja seni (pexels.com/Antoni Shkraba)

Seni tidak hanya dinilai dari hasil akhirnya, tetapi juga dari makna, proses, dan penciptanya. Ketika karya diciptakan oleh AI, elemen-elemen tersebut menjadi kabur. AI tidak memiliki emosi, pengalaman, atau nilai budaya yang melekat dalam proses kreatif manusia. Akibatnya, karya yang dihasilkan sering kali terasa kosong dari sisi emosional atau spiritual, meskipun secara teknis sempurna.

Penggunaan AI secara masif juga dapat mengubah cara masyarakat menilai seni. Ketika publik terbiasa dengan karya buatan mesin, penghargaan terhadap karya yang lahir dari proses kreatif manusia bisa memudar. Hal ini dapat menciptakan standar baru yang dangkal, di mana kecepatan dan kemiripan visual lebih diutamakan daripada pesan dan kedalaman makna.

AI dalam industri kreatif ibarat pisau bermata dua, dimana mereka menawarkan efisiensi yang tinggi tetapi sekaligus mengancam fondasi kreativitas itu sendiri. Penggunaan AI di industri kreatif memang tak terelakkan, namun harus disertai dengan pemahaman dan regulasi yang tepat. Kreator perlu bijak memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti, sambil terus mempertahankan nilai dan esensi dari seni.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us