8 Tanda Kamu Jadi “Yes Man” di Kantor Tanpa Sadar

- Selalu mengiyakan semua permintaan, meski sudah kewalahan
- Takut menyampaikan pendapat yang berbeda
- Menyesuaikan diri secara berlebihan demi disukai
Di dunia kerja, loyalitas memang penting. Tapi saat loyalitas berubah jadi sikap yang selalu menuruti semua hal tanpa berpikir kritis, kamu bisa terjebak menjadi seorang “Yes Man”. Terlihat kooperatif, tapi diam-diam kamu kehilangan suara, identitas, dan bahkan kredibilitas. Padahal, profesional yang matang bukan hanya tahu kapan harus setuju, tapi juga tahu kapan harus berkata “tidak” dengan bijak.
Kalau kamu merasa sering menyenangkan semua orang, jarang berani mengungkapkan pendapat berbeda, dan mudah merasa bersalah saat menolak, bisa jadi kamu sudah jadi Yes Man tanpa sadar. Yuk, kenali delapan tanda berikut—dan mulai perbaiki sebelum loyalitasmu justru menghancurkan potensimu sendiri.
1. Selalu mengiyakan semua permintaan, meski sudah kewalahan

Kamu terbiasa menjawab “Siap, Pak!” atau “Bisa kok!” bahkan saat agenda kerjamu sudah penuh sesak. Takut dibilang tidak kompeten atau tidak loyal membuatmu terus mengangguk pada setiap permintaan, tanpa memikirkan batas kemampuanmu sendiri. Akibatnya, kamu menyerap beban berlebihan hanya demi terlihat “bisa diandalkan”.
Kalau terus dilakukan, kinerjamu justru menurun karena terlalu banyak yang harus diurus sekaligus. Burnout pun makin dekat, dan ironisnya—bukannya dipuji, kamu bisa dianggap tidak tahu cara mengatur waktu atau prioritas. Ingat, berkata “tidak” dengan bijak juga bagian dari tanggung jawab profesional.
2. Takut menyampaikan pendapat yang berbeda

Kamu punya ide bagus, tapi memilih diam karena takut dianggap menentang atau “tidak kompak”. Kamu lebih nyaman mengikuti arus daripada mengemukakan sudut pandang sendiri. Bagi kamu, menjaga harmoni lebih penting daripada bersuara jujur—meski dalam hatimu ada yang mengganjal.
Sikap ini membuat potensimu tenggelam. Rekan kerja dan atasan jadi tidak tahu sebenarnya kamu punya pemikiran yang bernilai. Dunia kerja butuh orang yang berani berpikir kritis, bukan hanya ikut-ikutan. Kalau kamu terus menahan pendapat, kamu akan terus dipandang sebagai pelengkap, bukan sebagai penggerak.
3. Menyesuaikan diri secara berlebihan demi disukai

Kamu ingin akrab dengan semua orang, jadi kamu mulai meniru gaya bicara, selera, bahkan pandangan rekan kerja atau atasan. Kamu rela mengorbankan prinsip demi terlihat serasi dan sejalan. Padahal, dalam jangka panjang, menyesuaikan diri secara berlebihan justru mengikis keunikan dan integritas dirimu sendiri.
Tanpa sadar, kamu kehilangan jati diri di tempat kerja. Orang pun tidak benar-benar tahu apa yang kamu perjuangkan atau yakini. Kamu mungkin disukai, tapi tidak dihargai karena pendirianmu kabur. Keaslian adalah salah satu aset paling berharga dalam karier—jangan sampai hilang hanya karena ingin diterima.
4. Jarang mengajukan pertanyaan atau klarifikasi

Ketika diberi tugas yang masih kabur, kamu langsung mengiyakan tanpa banyak bertanya. Kamu takut terlihat tidak paham atau dianggap merepotkan. Akhirnya kamu mengerjakan sesuatu yang tidak sepenuhnya kamu mengerti, hanya karena tidak ingin terlihat “ribet”.
Dampaknya? Hasil kerja jadi tidak sesuai harapan, dan kamu dianggap kurang teliti atau kurang kompeten. Padahal, bertanya adalah bentuk tanggung jawab, bukan kelemahan. Profesional yang baik berani memastikan arah sebelum melangkah, bukan sekadar mengangguk demi terlihat cepat tanggap.
5. Merasa bersalah setiap kali menolak sesuatu

Kamu merasa setiap penolakan adalah tanda tidak loyal. Padahal, menolak karena alasan logis justru menunjukkan bahwa kamu bisa menilai prioritas dan memahami kapasitas diri. Tapi karena rasa bersalah yang berlebihan, kamu jadi terus mengiyakan meskipun tahu itu akan menyulitkanmu sendiri.
Kalau ini terus dibiarkan, kamu akan terus dijadikan sasaran untuk pekerjaan tambahan yang tidak seimbang. Orang akan melihatmu bukan sebagai rekan strategis, tapi sekadar pelaksana yang bisa disuruh apa saja. Menolak dengan elegan bukanlah pengkhianatan, tapi bukti kamu tahu bagaimana menjaga kualitas kerja.
6. Sering mencari validasi dari atasan secara berlebihan

Setiap keputusan atau tugas, kamu ingin cepat-cepat tahu apakah atasan senang atau tidak. Kamu merasa belum puas sebelum dapat pujian atau pengakuan langsung. Tujuan kerjamu pun bergeser—bukan lagi menyelesaikan tugas dengan baik, tapi semata-mata demi menyenangkan bos.
Sikap seperti ini membuatmu terjebak dalam pola mencari pengakuan, bukan pertumbuhan. Karier yang sehat seharusnya dibangun di atas rasa percaya diri dan kesadaran akan nilai diri sendiri. Kalau kamu hanya bertumpu pada validasi eksternal, kamu akan mudah goyah saat pengakuan itu tak kunjung datang.
7. Takut mengoreksi kesalahan, meski sudah jelas

Kamu tahu ada sesuatu yang salah—entah dalam data, rencana, atau strategi. Tapi kamu memilih diam, takut terlihat membantah atau dianggap sok tahu. Kamu membiarkan kesalahan berjalan, hanya karena ingin tetap berada di sisi “aman”.
Padahal, keberanian mengoreksi dengan cara yang sopan adalah bentuk kontribusi penting dalam kerja tim. Kalau kamu terus diam, kamu akan dikenal sebagai sosok pasif yang tidak kritis. Orang lain jadi ragu untuk mengajakmu dalam diskusi strategis atau pengambilan keputusan besar.
8. Mengukur diri sendiri dari seberapa kamu menyenangkan orang lain

Kamu merasa sukses kalau semua orang bilang kamu “baik”, “ramah”, dan “mudah diajak kerja sama”. Tapi kamu lupa bahwa keberhasilan profesional tidak diukur dari popularitas, melainkan dari kontribusi nyata dan dampak pekerjaanmu. Fokusmu lebih ke menyenangkan semua pihak, bukan menciptakan nilai.
Kalau kamu terus berusaha mencari “aman”, kamu akan kehilangan arah dalam karier. Terlalu sibuk menjaga citra bisa membuat kamu lupa berkembang. Dunia kerja butuh orang yang bisa berdiri dengan prinsip dan visi yang jelas, bukan hanya yang pandai menyenangkan semua orang.
Menjadi pribadi yang bisa diandalkan memang penting, tapi bukan berarti kamu harus selalu berkata “ya” pada segalanya. Karier yang sehat dibangun dari keberanian untuk berpikir mandiri, berkata jujur, dan menjaga batas diri dengan bijak. Jadi, kalau kamu merasa beberapa tanda di atas ada dalam dirimu, mungkin sudah saatnya berhenti jadi “Yes Man” dan mulai jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.