[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?

Ada dampak positif dan negatif menjadi 'kutu loncat'

Job hopping merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan seseorang yang sering berpindah tempat kerja. Ada banyak faktor yang mendasari keputusan ‘loncat’ karier tersebut.

Lantas, seperti apa perspektif kaum Millennials dan Gen Z terhadap fenomena job hopping? IDN Times telah menghimpun data survei dari 211 responden sejak 20 Januari - 20 Maret 2022.

Dalam artikel ini, kami akan membahas secara lengkap hasil surveinya. Termasuk seperti apa dampak menjadi kutu loncat terhadap perjalanan karier. Selamat membaca artikel di bawah ini!

1. Apa itu job hopping?

[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)

IDN Times telah menggelar survei kepada 211 responden untuk mengetahui pandangan mereka tentang konsep job hopping. Responden survei terdiri dari 65,9 persen perempuan dan 34,1 persen laki-laki.

Berdasarkan kelompok usia, survei ini paling banyak diisi oleh masyarakat berusia 21-25 tahun (47 persen). Lalu, kelompok usia 26-30 tahun (26,5 persen), kelompok usia di atas 30 tahun (23,7 persen), dan kelompok usia 15-20 tahun (2,8 persen).

Bicara soal job hopping tentunya akan bersinggungan dengan durasi kerja seorang pegawai di suatu perusahaan. Dari hasil survei yang dikumpulkan selama 2 bulan ini ditemukan data bahwa jawaban dominan tentang masa kerja paling lama adalah >3 tahun (30,8 persen). Sedangkan, durasi kerja paling singkat adalah selama 6-12 bulan (41,2 persen).

Definisi job hopper menurut Sarra (24) selaku Headhunter di Glints adalah mereka yang berpindah-pindah tempat kerja dalam durasi kurang dari setahun.

Ia menuturkan, “Secara garis besar kalau aku lihat CV, lalu sadar ada beberapa history kerja di perusahaan yang semuanya kurang dari 1 tahun, i will take it as a job hopper.”

Dari perolehan data survei, untuk posisi di tempat kerja, kebanyakan responden memegang jabatan sebagai karyawan (68,2 persen), manajer (9 persen), serta supervisor (9 persen).

2. Alasan dan motivasi pindah kerja para job hopper. Kebanyakan karena alasan gaji

[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)

Berdasarkan hasil temuan survei IDN Times, sebanyak 30,4 persen responden mengaku pernah pindah kerja sebanyak 2 kali, 29,1 persen pindah tempat kerja lebih dari 3 kali, 24,3 persen pindah satu kali, dan 16,2 persen pindah tempat kerja sebanyak 3 kali.

Untuk membuat keputusan pindah tempat kerja tentunya memerlukan pertimbangan. Sebenarnya, apa saja sih faktor yang mendorong para job hopper untuk pindah perusahaan? Jawaban yang paling banyak dipilih oleh responden (21,6 persen) adalah karena kurang sepadannya pendapatan atau gaji di perusahaan sebelumnya.

Selain aspek ekonomis seperti memenuhi kebutuhan hidup, ada banyak motivasi lain yang mendorong seseorang untuk bekerja. Hal ini juga berlaku dalam fenomena job hopping. Ada faktor internal serta eksternal yang menjadi pertimbangan.

Seorang responden berinisial AC membagikan pengalamannya pada form survei. Perempuan asal Bali ini mengatakan gak masalah dengan konsep job hopping.

“Gak masalah, selama alasannya reasonable dan beneran dibutuhkan untuk pindah. Karena aku pernah ada di fase itu. Berjuang untuk stabil secara mental di tempat yang menggerogoti mentalku sampe aku mempertanyakan diriku sendiri,” tambah AC lagi.

Pengalaman AC sejalan dengan temuan data survei. Faktor lingkungan kerja yang kurang baik untuk kesehatan mental juga menjadi concern utama sebanyak 16,2 responden. Berhubungan dengan itu, sebanyak 7,4 persen responden punya hasrat untuk mendapat suasana kerja baru.

Selain itu, sebanyak 20,3 persen responden juga punya keresahan yang berkaitan dengan self development. Mereka merasa stuck dan gak bisa mengembangkan bakat dan kemampuannya di tempat kerja. Hampir mirip dengan alasan itu, sebanyak 17,6 responden merasa membutuhkan peningkatan jenjang karier.

Responden lain berinisial S yang berprofesi sebagai pengajar di Aceh. Ia bercerita tentang pengalaman teman-temannya yang sering berpindah kerja.

“Beberapa orang pindah dengan alasan karena mereka memiliki kemampuan di atas rata-rata, tapi dia mendapatkan pekerjaan yang tidak linier dengan kemampuannya,” ucap S.

Menurut responden dengan inisial A, keputusan berpindah-pindah tempat kerja wajar dilakukan. Ia sendiri mengaku pernah pindah pekerjaan satu kali karena faktor ketidaksesuaian kontrak kerja.

Lebih lanjutnya A mengatakan, “Menurut saya boleh-boleh saja. Karena ada sebagian orang kurang beruntung dalam pekerjaan sebelumnya . Contoh, pekerjaan saya dulu gajinya tidak sesuai dengan perjanjian kontrak”.

Selain jawaban yang tertera di atas, beberapa responden yang berjumlah 16,9 persen mengaku punya alasan lain. Mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK), kontrak habis, ada kesibukan lain, sampai ingin melanjutkan studi.

3. Pro-kontra soal fenomena ‘kutu loncat’ di tempat kerja. Seperti apa opini mereka?

[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)

Dari kacamata seorang recruiter, Sarra bersikap netral dengan fenomena ini. Selama masa bekerjanya, perempuan asal Tangerang ini mengatakan bahwa ia pernah mempekerjakan seorang job hopper.

Mostly dari tech company sih. Karena kebanyakan project based. Kalau misalnya project udah selesai, mereka gak ngapa-ngapain ya mereka keluar. Mereka cari project lagi. Supaya mereka gak kosong,” tuturnya.

Sebagai seseorang yang pernah ‘loncat’ karier ke industri yang berbeda, responden berinisial K juga mengaku netral dengan konsep job hopping. Perempuan yang bekerja sebagai UX Writer ini mengaku gak ingin melewatkan kesempatan yang datang.

Ia mengatakan, “Tergantung, sih. Soalnya zaman sekarang, apalagi di dunia teknologi atau digital, orang pindah-pindah kerja itu karena lebih dulu dapat tawaran. Kalau ada yang lebih baik, kenapa gak?”

Respons positif datang dari beberapa responden, seperti ES seorang karyawan kontrak dari Riau. Pria berusia 20 tahunan ini mengatakan bahwa job hopping sangat bagus untuk memperoleh banyak pengalaman dan mengasah kemampuan adaptasi seseorang.

Pendapat serupa disampaikan oleh responden berinisial AAD. Pria berdomisili DKI Jakarta ini menuturkan bahwa job hopping gak selalu berkaitan dengan stigma yang ada selama ini.

Lebih lanjutnya, AAD bilang, “Para generasi muda melakukan hal tersebut tentunya didasari dengan alasan yang terencana. Harus siap dengan keuntungan dan kerugian yang didapatkan. Mereka yang sering berpindah tempat kerja mungkin juga punya kebutuhan untuk aktualisasi diri”.

Hasil survei yang kami lakukan mengungkap bahwa ada banyak perbedaan pendapat soal fenomena job hopping. Beberapa mengatakan setuju, tapi ada juga yang kurang sreg dengan konsep ini.

Kami menanyakan pendapat responden terhadap konsep ini dengan skala likert. Skala 1 menunjukkan respons sangat tidak setuju, 2 tidak setuju, 3 ragu-ragu, 4 setuju, dan 5 sangat setuju. Dari skala likert 1-5, kebanyakan responden beropini bahwa pindah tempat kerja bukanlah masalah besar asalkan tidak merugikan perusahaan (4,1). Selain itu, mereka juga pro dengan konsep job hopping selama itu menjadi hal positif bagi proses pengembangan diri seseorang (4,1).

Masih dalam skala likert 1 hingga 5, beberapa responden punya perspektif bahwa pindah tempat kerja bisa menunjukkan kurangnya kadar loyalitas pegawai terhadap perusahaannya (2,46). Beberapa responden mengutarakan opini kontra mereka terhadap konsep job hopping.

Salah satunya responden dengan inisial Y yang belum pernah pindah pekerjaan. Menurutnya, ada kerugian yang akan terjadi bila terlalu sering melakukan job hopping.

“Yang pertama jenjang karier yang dipunya akan stagnan, harus adaptasi sebagai karyawan baru. Lalu, yang kedua, menjadi penilaian bahwa orang tersebut tidak dapat konsisten dalam pekerjaan,” pungkas Y.

Opini lain disampaikan responden berinisial VE yang saat ini berprofesi sebagai jurnalis ekonomi di salah satu media massa. Dalam perjalanan kariernya, ia telah berpindah pekerjaan sebanyak tiga kali. Namun, ia menyatakan ketidaksetujuan dengan konsep ini.

“Sebenernya gak bagus sih. Karena masa kerja 1-3 tahun tuh masih beneran baru banget dan masih banyak ilmu yang harus digali,” tambah VE.

dm-player

Walau mengaku kurang menyukai konsep job hopping, JG menuturkan ada beberapa pengecualian. Yaitu, ketika lingkungan kerja toxic, hak pegawai tidak terpenuhi, dan tidak adanya jenjang karier.

Namun, pria dengan posisi karier sebagai staf ini juga bilang, “Pengalaman dapat membentuk skill dan karakter yang dibutuhkan. Dalam beberapa karier juga dibutuhkan waktu untuk mencapai titik paling efektif dalam bekerja”.

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Seberapa Efektif Dating App untuk Mencari Jodoh?

4. Seperti apa dampak berpindah-pindah tempat kerja untuk perkembangan karier seseorang?

[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)

Berdasarkan pengalamannya berkecimpung di bidang recruitment, Sarra mengatakan bahwa masih ada stigma yang menempel kepada diri job hopper. Banyak HR perusahaan yang masih mempertimbangkan hal tersebut dan jadi reluctant untuk meneruskan ke tahap interview.

Namun, hal itu tak berlaku untuknya. Setelah screening CV, Sarra akan mencoba menanyakan alasan keputusan berpindah kerja kepada calon karyawan.

“Aku biasanya bakal coba telepon dulu, ajak dia ngobrol dan tanyakan alasan dia pindah kerja dan tujuan karier dia seperti apa. Jadi, masih ada juga sih recruiter yang masih mau consider alasan job hopping-nya,” tambahnya.

Menurut Sarra, sebelum memutuskan untuk pindah posisi atau pekerjaan, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan seseorang. Salah satunya adalah memastikan tanggung jawab pekerjaannya sudah selesai di company sebelumnya. Hal itu berkaitan dengan kredibilitas pegawai tersebut.

Lebih lengkapnya ia mengatakan, “Yang pasti keluar dengan baik-baik. Kenapa harus? Karena 60-70 persen perusahaan itu masih referral check. Jadi, pasti mereka minta nomor mantan supervisor buat ditanya-tanya tentang performa kerja”.

Tips pindah kerja yang ketiga oleh Sarra berkaitan dengan pemahaman terkait ranah pekerjaan yang dituju. Dengan memahami apa keunggulan diri sendiri, seseorang bisa lebih menguasai job desk dan tanggung jawabnya di perusahaan baru.

“Satu lagi, pastikan next job-nya itu get you closer to what you want to be,” ujar Sarra menyampaikan tips terakhirnya.

Kami juga menanyakan responden survei tentang opini mereka. Selaras dengan saran yang disampaikan Sarra, beberapa mengatakan pentingnya memiliki rencana karier sebelum pindah pekerjaan.

Opini pertama diutarakan oleh A seorang mahasiswa asal Sulawesi Selatan. Ia bilang kemungkinan job hopping bisa terjadi karena dua hal. Alasan pertama karena seseorang ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik. Alasan kedua karena mereka merasa bosan.

“Oleh karena itu, sebelum memasuki dunia pekerjaan ada baiknya kita mempertimbangkan profesi yang akan kita jalani nantinya dengan skill yang kita punya,” ujar A.

Dari perspektif responden berinisial P, menjadi kutu loncat sebenarnya bukan masalah besar asalkan ada track record yang bagus. Manajer berusia 30 tahunan ini menekankan pentingnya tidak lari dari tanggung jawab dan bisa memberi dampak positif di perusahaan terdahulu.

P menambahkan, “Lebih bagus lagi kalau bisa terus menjaga relasi. Orang yang reputasinya bagus memang dicari dan dibutuhkan di industri. Apalagi kalau orang itu selalu mau improve karier, wawasan, keahlian, dan network-nya”.

Pendapat yang serupa disampaikan oleh responden dengan inisial nama IN dari Jawa Timur. Perempuan yang belum pernah pindah pekerjaan ini berpendapat bahwa pilihan untuk pindah pekerjaan harus dibarengi dengan visi-misi yang jelas.

IN mengatakan, “As long as perpindahan itu diikuti dengan visi yang jelas dan matang akan karier impian atau visi untuk masa depan, aku rasa itu fine-fine aja. Tapi, kalau job hopping dilakukan semata-mata karena gampang bosan, itu yang harus dievaluasi”.

5. Apakah job hopping efektif untuk perkembangan karier seseorang?

[INFOGRAFIS] Fenomena Job Hopping Kaum Millennials, Masih Ada Stigma?infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)

Pertanyaan terakhir yang sering bikin orang penasaran soal fenomena ini adalah seberapa efektif berpindah-pindah tempat kerja kepada pengembangan karier seseorang. Berdasarkan data survei, kebanyakan responden beropini bahwa hal ini berkaitan dengan peningkatan skill dan relasi (4,1). Ada juga yang berpendapat bahwa pindah tempat kerja bisa mendatangkan peluang karier yang lebih baik untuk seseorang (3,81).

Pandangan positif lainnya juga tampak pada hasil survei. Para responden berpendapat bahawa pindah tempat kerja bisa menghasilkan masa depan yang lebih menjanjikan (3,36). Kesuksesan materi berupa gaji yang lebih tinggi menjadi salah satu efektivitas job hopping yang dirasakan (3,21).

Dari sudut pandang lain, beberapa responden berpendapat bahwa job hopper bisa mendapat pandangan buruk oleh HR perusahaan. Hal ini juga bisa membuat mereka mungkin akan sulit mendapatkan pekerjaan (3,27).

Setelah berpindah kerja sebanyak dua kali karena alasan merasa stuck dan gak berkembang, responden berinisial ME ikut sharing pengalaman baiknya dalam form survei.

Perempuan asal Medan ini mengatakan, “Aku belajar culture baru dan berbagai sisi positif dalam perusahaan. Ini bisa jadi pembelajaran untuk membangun bisnis ke depannya”.

Responden dengan inisial nama RIG juga menyampaikan 4 benefit yang ia rasakan setelah berganti pekerjaan sebanyak dua kali. Apa saja keuntungan yang ia rasakan?

“Aku bisa mendapatkan lingkungan yang baik dari segi tim internal dan teman kerja. Juga mendapatkan ruang untuk berkembang dan punya pimpinan yang bisa mengerti bagaimana cara meningkatkan potensi. Terakhir, gaji bisa sesuai harapan,” ungkap RIG.

Namun, beberapa responden juga mengaku punya pengalaman buruk setelah pindah pekerjaan. Salah satunya adalah mendapat julukan ‘kutu loncat’ seperti yang dialami oleh pegawai swasta berinisial K.

Selain itu, masalah lainnya yang juga terjadi adalah tuntutan untuk cepat beradaptasi. Kejadian ini dialami oleh seorang supervisor dengan inisial nama AB.

Pria yang tinggal di Provinsi Banten ini ikut curhat soal pengalaman buruknya, “Proses adaptasi yang lebih lama karena perbedaan budaya yang jauh dengan perusahaan sebelumnya”.

Seperti yang disinggung pada poin di atas, kaum Millennials dan GenZ masih mengalami stigma soal kecenderungan mereka untuk berpindah-pindah pekerjaan. Sarra mengatakan bahwa umumnya anak muda lebih fokus mempertimbangkan apakah perusahaan tempatnya bekerja bisa membantunya mengembangkan potensi diri.

“Memang gak ada pekerjaan yang sempurna. Tapi, seenggaknya dia tau bahwa atasannya dan perusahaannya itu bisa ngebentuk jenjang karier,” katanya lagi.

Apakah saat ini kamu tertarik untuk menjadi job hopper? Kalau iya, untuk menambah bekalmu saat pindah pekerjaan nanti, Sarra punya tips melamar pekerjaan yang baik untuk para job hopper.

Sarra bilang, “Kalau buat aku, mungkin beri alasan yang jelas dan masuk akal aja sih. I mean kayanya sekarang udah banyak deh HR atau recruiter yang open buat job hopper. Balik lagi tergantung pekerjaannya apa. HR juga manusia, jadi mereka juga pasti ngerti alasan pindah kerjanya kenapa”.

Wah, ternyata ada banyak perspektif menarik soal fenomena job hopping, ya. Semoga artikel ini bisa membantu kamu mengembangkan mindset untuk perjalanan karier yang lebih gemilang!

Tim Penyusun :

Tyas Hanina

Muhammad Tarmizi Murdianto

Febriyanti Revitasari

Pinka Wima

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya