Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak Penting

Ini tanggapan psikolog soal kekerasan seksual di ruang kerja

Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung dari 25 November-10 Desember setiap tahunnya, tim IDN Times melakukan poling sederhana pada Kamis (9/11/2023) silam. Poling ini dilakukan melalui fitur Poling pada Instagram Story IDN Times dan mencapai kurang lebih 50 votes yang berasal dari pengikut akun IDN Times.

Lalu, apa saja yang tim IDN Times dapatkan dari poling berjudul "Anti Kekerasan di Area Kerja" tersebut? Bagaimana pula tanggapan psikolog terkait hasilnya? Simak jawabannya di bawah ini.

1. 15 dari 55 votes mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerja

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingPoling "Anti Kekerasan di Area Kerja". (IDN Times/Aditya Pratama)

15 dari 55 orang atau setara dengan 27,2 persen votes Instagram, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerja. Kami pun menghubungi psikolog Hoshael Waluyo Erlan terkait hal tersebut. Menurutnya, walaupun angka tersebut tidak mencapai jumlah mayoritas peserta poling, hal tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Tentunya, itu sesuatu yang memprihatinkan ya, berapa pun jumlahnya. Mau proporsinya besar atau sedikit, kalau masih ada yang mengalami, berarti jangan-jangan lingkungan kerjanya itu belum serta merta bisa dipandang sebagai lingkungan kerja yang aman dari kekerasan seksual," jelas Hosha, panggilan akrab Hoshael.

Melihat karakteristik kasus kekerasan seksual selama ini, harus diakui bahwa tidak semua korban bisa terbuka terkait pengalamannya, apalagi sampai mencari bantuan dari orang lain. "Dalam konteks ini, kehati-hatian itu penting karena bisa saja seperti fenomena gunung es. Yang terlaporkan sama yang benar-benar terjadi itu sebetulnya berbanding terbalik. Atau jangan-jangan, yang sudah terjadi belum terlaporkan," katanya.

2. 6 dari 43 votes pernah mengadukan kasus kekerasan seksual ke manajemen perusahaan

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingPoling "Anti Kekerasan di Area Kerja". (IDN Times/Aditya Pratama)

Terkait hasil kedua ini, tim IDN Times pun tergelitik untuk mencari tahu alasan seseorang enggan atau malas mengadukan kasus kekerasan yang menimpanya. Faktornya pun bisa bermacam-macam, baik itu karena malu, trauma, atau adanya power dari sosok yang lebih berkuasa.

"Biasanya, orang malas melaporkan kekerasan seksual ini karena rasa malu yang paling kuat untuk memblok keberaniannya. Dilecehkan atau direndahkan dengan cara tertentu, itu pasti sangat berdampak pasti secara psikologis," tambah Hosha. Mengungkapkan ulang kejadiannya saja, sudah dapat dikatakan sangat membebani secara psikologis karena harus menceritakan pengalaman tidak ingin diingat-ingat dalam jangka waktu panjang.

Selain rasa malu, aneka macam respons orang lain juga bisa membuat seseorang ragu melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. "Ceritaku akan ditanggapi seperti apa? Apakah saya akan tetap dilindungi? Apakah cerita saya akan tetap dijaga?" adalah dialog-dialog personal yang mungkin terjadi dalam benak korban.

"Kalau di umum, bisa juga karena masalah tekanan atau pressure dari pelaku. Dari power of distance, di situ pelakunya di posisi otoritas atau wewenangnya lebih tinggi daripada korbannya. Pasti ada kekhawatiran, kalau mengadukan itu, akan membahayakan karier atau membahayakan dirinya secara personal," paparnya.

Terakhir, faktor trauma. Faktor ini bisa menghambat korban untuk memproses kejadian yang menimpa, apalagi melaporkan secara terbuka. Ketika kejadian itu masuk ke kategori pengalaman yang traumatis, mengadukan atau menceritakan kasus kekerasan seksual bisa jadi pilihan terakhir. Diam dan memendamnya dalam hati saja dipandang lebih baik oleh korban ketimbang berisiko mempermalukan diri sendiri atau merasa tidak nyaman.

3. 25 votes mengatakan perusahaan tempatnya bekerja sudah punya aturan yang jelas soal kekerasan seksual. 17 votes mengatakan tidak ada

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingPoling "Anti Kekerasan di Area Kerja". (IDN Times/Aditya Pratama)

Angka tersebut, secara tidak langsung, menyatakan bahwa aturan soal kekerasan seksual di lingkungan kerja mulai menjadi perhatian khalayak umum. Bahkan, menjadi tren positif yang layak diapresiasi.

Hosha pun menggarisbawahi bahwa aturan soal kekerasan seksual di ruang kerja tersebut, jangan sampai hanya sekadar ada atau tidak ada. Mekanisme tentang penegakan, konsekuensi, dan pendampingan korban juga jauh lebih urgen.

"Mengingat kita ini manusia dewasa yang mungkin sebagian besar waktunya habis untuk bekerja, saya sangat critical banget ada semacam jaminan atau kejelasan dari organisasi terkait stand point atau sikapnya terhadap semua perilaku kekerasan seksual. Ini tidak lagi bisa dikatakan serta merta ringan atau berat ya, tapi semua bentuk behavior yang punya bobot sebagai perilaku melecehkan itu, gak bisa ditolerir," paparnya.

Oleh karena itu, perangkat aturan soal kekerasan seksual di lingkungan kerja juga harus jelas dan gak cuma tertulis. Wajib ada mekanisme yang mengatur bagaimana aturan tersebut ditegakkan berikut segala konsekuensi yang menyertainya. 

4. Meski begitu, masih ada yang merasa aturan soal kekerasan seksual di ruang kerja itu gak penting

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingPoling "Anti Kekerasan di Area Kerja". (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada pertanyaan poling yang mempertanyakan pentingnya aturan soal kekerasan seksual di ruang kerja, masih ada 5 orang yang menyebutkan hal itu tidak urgen. Sementara yang lain, sebanyak 42 orang, menyatakan hal ini penting.

"Sangat mungkin yang bersangkutan gak pernah jadi korban, gak punya perspektif jadi korban seperti apa, atau mungkin masih menganut pandangan bahwa ini hiperbolik," lanjut sosok lulusan Magister Universitas Indonesia itu.

Ia menambahkan bahwa situasi masyarakat masih banyak yang mentolerir kekerasan seksual, terlebih ketika dipahami dalam konteks perempuan umumnya jadi korban. Sementara itu, pelakunya adalah laki-laki. Padahal, secara data dan fakta, pandangan ini tidak selalu benar. Kasus kekerasan seksual nyatanya bisa menimpa laki-laki maupun perempuan dan tidak memandang latar belakang apa pun.

Ada pula masyarakat yang mungkin merasa aturan tentang kekerasan seksual begitu ribet. Ini karena sudah adanya hukum pidana yang mengatur kasus-kasus seperti pemerkosaan atau pelecehan.

Di luar anggapan tidak penting dan faktor yang menyertainya, Hosha menangkap satu hal penting. "Indikasi kuat juga bahwa kita perlu mengedukasi lebih baik soal kekerasan seksual ini dan betapa ini punya implikasi besar untuk lingkungan kerja yang positif, produktif, dan aman," sebutnya.

Baca Juga: Kemendikbud: Kekerasan Seksual Bisa Terjadi saat Bimbingan Skripsi

5. Menurut psikolog, ini langkah-langkah yang harus kita lakukan saat menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kerja

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingHoshael Waluyo Erlan (dok. istimewa)

"Kita harus melaporkannya, tergantung mekanisme yang disediakan di kantor tersebut. Bisa ke HR, bisa ke atasan langsung yang tidak terlibat atau bukan pelakunya. Atau, pihak otoritas lain untuk bisa mengambil keputusan," kata Hosha soal langkah pertama.

Kedua, setelah melaporkan kasus kekerasan yang dialami, pastikan diri kita aman. "Kalau kita sudah aware bahwa mungkin hal tersebut terjadi saat kita tidak ada support system atau gak dalam area kerja yang terlindung, maka kita harus memastikan diri kita aman dulu," jelas sosok yang juga pernah menjadi pengajar dan peneliti tersebut.

Diakui Hosha, rekan kerja atau teman yang peduli serta mendampingi bisa jadi sesuatu yang esensial saat kita jadi korban kekerasan seksual. Setelah itu, kita bisa melalui jalur yang lebih resmi.

6. Bagaimana caranya menghilangkan ketakutan untuk melawan kekerasan seksual di lingkungan kerja?

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingIlustrasi takut (Pexels.com/RDNE Stock project)

Cara pertama adalah ingat ulang apa tujuan kita bekerja. Jika ada sesuatu yang menghambat tujuan tersebut, termasuk juga kasus kekerasan seksual, kita wajib bertindak.

"Saya rasa, gak ada ya orang yang punya tujuan personal bekerja supaya dilecehkan. Gak ada yang kayak gitu, kan? Ketika ada suatu hal yang menghambat kita mencapai tujuan kita untuk bekerja atau berkarya, untuk bisa punya personal spirit yang baik di tempat kerja, semua di luar itu tentunya jadi faktor yang menghambat kita kan. Tentu ini harus dipapras," paparnya.

Rasa takut itu perlu kita kelola. Bersama dengan ketakutan itu, pilihlah langkah yang tepat dalam merespons pengalaman tidak mengenakkan tersebut. 

"It's okay kalau takut, gak apa-apa banget! Akan tetapi, carilah bantuan dari yang paling dekat dulu. Kalau di kantornya gak ada yang bisa dipercaya, carilah orang lain yang dekat. Keluarga dulu atau teman yang dekat," tambahnya lagi.

Jika perlu, kita juga bisa mendapatkan pendampingan dari profesional. Ketakutan juga bisa hilang kalau kita berbagi dengan orang yang bisa kita percaya agar menemukan atensi atas kejadian yang menimpa dan social support.

7. Jangan pernah berpikir kekerasan seksual tidak mungkin terjadi padamu! Kamu punya kerawanan yang sama untuk jadi korban maupun pelaku

Poling: Ada yang Merasa Aturan tentang Kekerasan Seksual Gak PentingIlustrasi kekerasan (Pexels.com/Karolina Grabowska)

Sebelum mengakhiri wawancaranya dengan tim IDN Times, Hosha tak lupa meninggalkan pesan. Menurut pengalamannya, kekerasan seksual di lingkungan kerja bisa terjadi pada siapa saja. Oleh karenanya, jangan pernah berpikir jika kekerasan seksual tidak mungkin terjadi padamu.

"Bisa terjadi denganmu, dengan rekan kerja yang dekat. Jadi, posisi apa pun itu gak ngaruh. Semua tetap punya kerawanan untuk mengalami atau bahkan punya kerawanan yang sama untuk jadi pelaku juga, mungkin karena ketidaktahuan, karena ketidakpedulian pada hal ini," sebutnya.

Hosha menambahkan, di kelompok-kelompok kerja yang didominasi gender tertentu, menjadi minoritas secara jumlah juga rawan sekali mengalami kekerasan seksual. Karenanya, kita pun perlu menyadari bahwa kekerasan seksual tidak hanya ranahnya kantor atau perusahaan saja untuk mengatur dan bertanggung jawab.

"Tanggung jawab semua orang untuk memastikan gak ada orang yang bisa melakukan kekerasan seksual, bahkan dalam bentuk yang paling ringan sekalipun. Namun, jangan semata mikir pakai angle berat, ringan deh! Kekerasan tetap kekerasan, pelecehan tetap pelecehan," tekan Hosha.

Demikianlah hasil poling sederhana yang dilakukan tim IDN Times dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Seksual. Dari poling ini, semoga kesadaran kita akan kekerasan seksual di lingkungan kerja semakin tinggi sehingga terhindar sebagai korban maupun pelaku.

Kita pun perlu mengkritisi diri masing-masing. Ketika melontarkan candaan, ketahui batasannya. Sejatinya, gurauan adalah pencair suasana dan hiburan. Tidak selayaknya humor digunakan untuk merendahkan value seseorang dan mengompromikan harga diri seseorang. Dengan alasan apa pun, kedua hal tersebut bukanlah hal yang bisa diterima baik secara logika maupun perasaan.

Jika kamu melihat atau mengetahui ada indikasi kekerasan dan eksploitasi yang dialami anak-anak dan perempuan, jangan diam dan laporkan!

Berikut salah satu lembaga yang bisa kamu hubungi:

1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Alamat:
Jl. Teuku Umar No. 10 Gondangdia Menteng Jakarta Pusat DKI Jakarta, Indonesia

Telepon: (+62) 021-319 015 56

Whatsapp: 0821-3677-2273

Fax: (+62) 021-390 0833

Email: pengaduan@kpai.go.id

2. Komnas Perempuan

Email: petugaspengaduan@komnasperempuan.go.id

Facebook: www.facebook.com/stopktpsekarang/

Twitter: @komnasperempuan

3. LBH APIK

Whatsapp: 0813-8882-2669 (WA only) mulai pukul 09.00-21.00 WIB

Email: PengaduanLBHAPIK@gmail.com

4. Kantor polisi terdekat.

Baca Juga: All About Respect: Lingkungan Pendidikan-Kreatif Harus Bebas Kekerasan

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya