5 Prediksi Tantangan Hidup 2025, Banyak Orang Pilih Miskin?

- Dampak ekonomi akibat pandemi akan berlangsung hingga tahun 2025, mempengaruhi jutaan rumah tangga dan anak-anak secara permanen.
- Teknologi yang terlalu banyak dikembangkan oleh ilmuwan komputer dapat mengancam keberlangsungan bisnis kecil dan universitas, serta menimbulkan kerusakan sosial.
- Sektor teknologi dan kapitalisme tahap akhir semakin memperburuk kesenjangan masyarakat, merugikan filantropi, perawatan kesehatan, pendidikan, dan ketidaksetaraan akses terhadap teknologi.
Setiap tahun tantangan hidup selalu berubah, entah bertambah atau berkurang. Kita sudah banyak melewati tahun-tahun yang tidak mudah selama ini apalagi di era pandemi dan pascanya hingga sampai saat ini. Maka, untuk merancang solusi penting bagi kita mengetahui prediksi tantangan hidup di tahun 2025.
Meskipun demikian, sesulit apapun kita tidak boleh menyerah sebab kehidupan itu adalah anugerah untuk orang-orang yang tidak diberikan kesempatan hidup sama sekali. Itu artinya kita orang yang luar biasa, maka hadapi tantangannya dan temukan jalan keluar terbaik. Tantangan kali ini tidak hanya meliputi dampak teknologi tapi juga berbagai aspek kehidupan yang berpengaruh besar pada kesehatan mental dan harapan hidup kita. Lakukan tindakan terbaikmu untuk menghadapi tantangan hidup berikut ini sepanjang tahun 2025 yang dilansir dari pewresearch.org berikut!
1. Keretakan rumah tangga membuat anak-anak berubah permanen

Wendy M. Grossman, seorang penulis sains yang berbasis di Inggris, penulis Net.wars dan pendiri majalah The Skeptic, mengamati bahwa permasalahan ekonomi datang ketika dukungan pemerintah habis. Bencana ekonomi juga berdampak terhadap kerusakan jutaan rumah tangga tetapi Wendy memperkirakan mungkin akan memulih pada tahun 2025 tetapi anak-anaknya akan berubah secara permanen.
Prediksi ini, tentu menjadi tantangan bagi orang tua yang sedang mengalami broken home untuk menyembuhkan trauma anak dengan segala macam bimbingan positif yang membuat mereka tidak putus asa terhadap hidupnya. Upaya ini agar tumbuh kembang mereka tidak terganggu dan tidak trauma terhadap pernikahan.
2. Perusahaan besar akan menenggelamkan inovasi dari akademisi dan bisnis kecil

Seorang direktur untuk proyek global utama yang mempelajari sistem sosial, politik, dan ekonomi di sebuah universitas teknologi AS khawatir jika terlalu banyak teknologi akan dikembangkan oleh ilmuwan dan insinyur komputer yang memiliki sedikit pemahaman tentang perilaku sosial manusia. Sebab, bisa menyebabkan kerusakan seperti model pembelajaran mesin yang bias yang digunakan untuk pembuatan profil.
Ia juga khawatir perusahaan besar akan menenggelamkan inovasi dari akademisi dan bisnis kecil. Sedangkan perusahaan besar mengontrol pendanaan dan mengarahkan kebijakan. Pastinya ini menentukan bisnis kecil dan universitas mana yang bertahan.
Direktur proyek global ini punya kekhawatiran terkait sekelompok perusahaan akan bersatu melawan kelompok lain untuk membuat teknologi mereka dapat dioperasikan hanya dalam kelompok itu saja. Sedangkan standar umum dan interoperabilitas yang komplit dari semua teknologi diperlukan agar bisa membuat ‘Internet of Things’ mencapai kemampuan utamanya. Kekhawatiran ini juga berhubungan dengan tantangan kita apabila para pembuat kebijakan yang tidak memahami kekuatan dan batasan teknologi akan mulai membuat kebijakan prematur.
3. Ketimpangan dan ketidakadilan dari sistem kapitalisme berdampak dalam segala aspek

Danah Boyd, pendiri dan presiden Data & Society Research Institute dan peneliti utama di Microsoft, mengamati, bahwa sektor teknologi kini membangun Zaman Keemasan yang baru. Tantangan hidup di tahun 2025 ini datang juga dari kesenjangan di masyarakat yang sudah terjadi sejak lama, namun hubungan antara sektor teknologi dan kapitalisme tahap akhir bersifat licik dan semakin memburuk.
Hal ini juga berdampak pada sektor-sektor lain. Misalnya, sebagian besar filantropi bergantung pada logika sektor teknologi. Kekayaan sektor teknologi membentuk filantropis baru, dan dana abadi sangat bergantung pada pertumbuhan dari sektor teknologi.
Tidak heran, kalau filantropi telah mengadopsi banyak logika yang sama dengan teknologi, mulai dari solusinya hingga pemujaan terhadap 'bergerak cepat dan memecahkan berbagai hal.' Fenomena teknologi ini melemahkan masyarakat sipil, yang sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban teknologi, politik, dan kapitalisme.
Berhubung ini merupakan masalah tingkat sistem maka akan memiliki segala macam konsekuensi bagi individu, tetapi pasti biayanya akan signifikan. Polis kita akan kurang terinformasi dan kurang stabil secara finansial. Teknologi juga akan terus memperkuat logika neoliberal yang menempatkan individu dalam posisi yang sangat tidak aman.
Dampak dari kapitalisme dan neoliberal ini akan terlihat lebih jelas di bidang perawatan kesehatan. “Kita memiliki begitu banyak teknologi di bidang kesehatan dan pengetahuan, namun rantai pasokan kita rusak dan ketidaksetaraan dalam akses ke perawatan kesehatan berada pada titik tertinggi sepanjang masa.” Ungkap Danah Boyd.
4. Model-model sekolah yang tidak memadai

Kita sudah banyak mengamati masalah pendidikan yang belakangan ini semakin memburuk, tidak hanya dari kualitas akademik tapi juga tingkat moralitasnya. Ronnie Lowenstein, seorang pelopor dalam teknologi interaktif, berkomentar yang mana meskipun teknologi menjanjikan sebagai alat transformasi, tapi kecepatan perubahan eksponensial mengurangi potensi manfaatnya.
Diperlukan visi dan kemauan politik untuk memanfaatkan teknologi demi manfaatnya untuk bidang pendidikan. Minimnya mekanisme koordinasi di antara orang-orang di dalam dan di seluruh negara berdampak negatif pada respon terhadap [pandemi].
Ronnie menyarankan melakukan dialog global untuk menciptakan kolaborasi 'regeneratif' dengan lembaga-lembaga yang memanfaatkan kecerdasan kolektif. Tantangan hidup di tahun 2025 terkait hubungannya dengan pendidikan, ia sangat khawatir terkait etika dan hak pribadi, dampak misinformasi dan ketidakmampuan untuk benar-benar memcerna realitas dalam video-video yang direkayasa teknologi, atau fakta di media serta kurangnya kemampuan berpikir kritis/literasi media di masyarakat.
5. Banyak orang memilih miskin untuk menjaga kesehatan mental

Richard Lachmann, profesor sosiologi politik di Universitas Negeri New York, Albany, memprediksi kebanyakan orang akan menjadi lebih miskin, dan mereka akan memiliki pekerjaan yang lebih tidak menentu. Bagi mereka yang relatif beruntung akan bekerja setidaknya paruh waktu di rumah, mengurangi interaksi sosial. Hal ini dilakukan agar tidak menanggung konsekuensi serius bagi kesehatan mental mereka.
Apalagi ketika mengetahui prediksi Alice E. Marwick, asisten profesor komunikasi di University of North Carolina, Chapel Hill, dan penasihat untuk proyek Media Manipulation di Data & Society Research Institute, bahwa perluasan upaya pengawasan negara dan sistem peradilan pidana akan semakin meminggirkan kaum miskin, warga kulit berwarna, dan aktivis politik. Penggunaan algoritma untuk mendistribusikan tunjangan sosial menghukum kaum miskin, terutama kaum lanjut usia atau mereka yang tidak memiliki akses internet.
Jadi, tidak heran kalau kebanyakan mereka memilih miskin atau tidak mendapatkan kesempatan karir yang penuh tekanan apalagi kalau harus berhadapan dengan atasan otoriter dan sistem kehidupan yang telah mendukung ketidakadilan tersebut.
Micah Altman, seorang ilmuwan sosial dan informasi di MIT, mengamati, tidak satu pun dari beberapa masalah atau tantangan hidup ini akan diperbaiki pada tahun 2025. Pasalnya, hanya sedikit bidang yang akan mengalami kemajuan substansial kecuali membalikkan sebagian kebijakan terburuk pemerintahan Trump.