ilustrasi sidang PPKI (commons.wikimedia.org/Osman Ralliby)
Dikutip Ensiklopedia Kemdikbud, Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) merupakan kesepakatan bersama antara kelompok Islam dan nasionalis dalam proses pengesahan pancasila sebagai dasar negara. Pada 22 Juni 1945, piagam ini ditandatangai oleh panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terdiri dari sembilan orang atau lebih dikenal sebagai Panitia Sembilan.
Kemudian, dalam sidang BPUPKI yang kedua pada 10 Juli 1945, Sukarno selaku ketua Panitia Sembilan membacakan isi Piagam Jakarta. Pada alinea keempat terdapat rumusan dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila. Berikut isi rumusan dasar negara Indonesia dalam Piagam Jakarta.
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Namun ternyata, rumusan dasar negara pada sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menimbulkan perdebatan. Selang sehari setelah diumumkan, pada 11 Juli 1945 hasil rumusan Piagam Jakarta tersebut mendapat respons yang tajam dari Latuharhary, yaitu seorang protestan anggota BPUPKI.
Dalam tanggapannya, ia menyatakan keberatan atas kata-kata yang tercantum dalam sila pertama. Menurutnya, kata-kata tersebut bisa berdampak besar, terutama bagi penganut agama lain di Indonesia. Namun kendati menimbulkan perdebatan di antara para peserta BPUPKI, pada akhirnya seluruh anggota sidang menerima isi Piagam Jakarta tanpa adanya perubahan.
Selanjutnya, pada 17 Agustus 1945, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di seluruh dunia. Namun di hari yang sama, isi Piagam Jakarta kembali menuai konflik. Hal yang dipermasalahkan pun masih sama, yaitu bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta.
Di sisi lain, tersiar kabar bahwa rakyat yang beragama Kristen di wilayah Indonesia Timur menolak untuk bergabung ke dalam Tanah Air jika syariat Islam masuk ke dalam UUD. Oleh karena itu, pada 18 Agustus 1945, mengawali rapat besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Mohammad Hatta, selaku wakil ketua PPKI, mengusulkan perlunya beberapa perubahan pada rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta, termasuk bunyi sila pertama.
Dikutip Modul Pancasila: Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (2015), dalam sidang PPKI tersebut, sila pertama yang sebelumnya berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.