Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Banyuwangi, kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini ternyata menyimpan sejuta pesona kebudayaan. Mulai dari pariwisata, kebudayaan, dan bahkan kebahasaan. Bahasa Osing (sering juga ditulis Bahasa Using), merupakan bahasa asli Kabupaten Banyuwangi yang berasal dari Bahasa Jawa kuno.
Ternyata, Bahasa Osing memiliki keunikan tersendiri, lho! Apa sajakah itu? Yuk simak lima fakta unik Bahasa Osing, bahasa asli dari Bumi Belambangan!
1. Tidak mengenal tingkatan bahasa
Berbeda dengan Bahasa Jawa, Bahasa Osing merupakan bahasa yang egaliter. Jika dalam Bahasa Jawa kita mengenal tingkatan bahasa seperti basa ngoko, krama madya, dan krama inggil yang disesuaikan dengan status sosial lawan bicara, maka Bahasa Osing tidak perlu menggunakan tingkatan bahasa seperti itu.
Namun, Bahasa Osing memiliki besiki, yaitu Bahasa Osing yang halus dan tujuannya hanya menunjukkan sopan santun, terlepas dari status sang lawan bicara.
2. Sering menggunakan wangsalan
Wangsalan sering sekali ditemukan saat masyarakat suku Osing berbicara, lagu tradisional, atau bahkan lagu saat mengiringi ritual adat. Wangsalan sendiri merupakan sebuah ungkapan dalam bentuk tebak-tebakan khas menggunakan Bahasa Osing.
Contohnya:
Kereta dawa (sepur) = sepurane
Mendhung putih (mega) = tega
Baca Juga: 5 Kosakata Bahasa Lombok yang Sama dengan Bahasa Jawa Namun Beda Arti
3. Memiliki logat yang unik
Ternyata saat mengucapkan Bahasa Osing ada logat khusus, lho! Ada 4 logat khusus yang digunakan saat berbicara Bahasa Osing, yaitu diftongisasi, glotalisasi, palatalesasi dan umlautisasi.
Diftongisasi merupakan bunyi vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata. Dalam bahasa Osing, seringkali digunakan diftongisasi /ai dan /au pada suku kata berakhiran fonem “i” dan “u”.
Contohnya:
/iki/ (: ini) dilafalkan /ikai/
/iku/ (: itu) dilafalkan /ikau/
Sedangkan glotalisasi merupakan penekanan pada suku kata berakhiran fonem “e”, “o”, “a”.
Contohnya:
mrene dibaca mrene’
piro dibaca piro’
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Lalu palatalesasi terjadi pada fonem “b”, “j”, “d”, “g”, “n”, “ai”, “r”, “l”, dan “w” yang diikuti fonem “a” atau “e” dengan menyelipkan huruf "y" di tengahnya.
Contohnya:
abang dibaca abyang
kabeh dibaca kabyeh
Kalau Glotalisasi tadi merupakan penekanan pada akhir kata, umlautisasi terjadi penekanan pada fonem “l”, “m”, “n”, “ng”, “ny”, “l”. “r”, “w”, dan “y” di posisi tertentu.
Contohnya :
ula dibaca uLa
uwong dibaca uWong
4. Punya kesenian berpantun yang khas
Pantun dalam Bahasa Osing disebut Basanan. Sama seperti pantun dalam Bahasa Indonesia, Basanan mengandung pengilon (sampiran), isi, dan harus ada padhanan uni (birama).
Abang abang biru biru (Merah merah biru biru)
Tuku kelambi nong Rogojampi (beli baju ke Rogojampi)
Hing bisa madhang hing bisa turu (tidak bisa makan, tidak bisa tidur)
Enget rika raina bengi (Teringat kamu siang malam)
Baca Juga: 6 Kata Sifat dalam Bahasa Banjar yang Mirip Sekali dengan Bahasa Jawa