TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Penyair Legendaris Indonesia, Kamu Pecinta Karya-karya Siapa, nih?

Yang mana sih penyair andalan kamu?

potret Joko Pinurbo (instagram.com/joko_pinurbo)

Tanggal 28 April lalu diperingati sebagai Hari Puisi Nasional Indonesia. Peringatan itu dirayakan tepat pada hari wafatnya Chairil Anwar sang legenda puisi.

Sebagai bapak puisi Indonesia, Chairil Anwar tentunya sudah memiliki banyak karya yang terbit di seluruh Indonesia sejak ia dikenal sebagai penyair pada tahun 1942. Ia dikenal sebagai Si Binatang Jalang dari karyanya yang berjudul "Aku".

Tidak hanya Chairil Anwar, ada beberapa penyair yang melegenda di Indonesia dengan karya-karyanya akan selalu hidup sepanjang masa. Siapa saja mereka?

1. Chairil Anwar

potret Chairil Anwar (instagram.com/chairilisme)

Chairil Anwar adalah penyair yang lahir tanggal 26 Juli 1922 dan wafat pada 28 April 1949. Chairil Anwar memiliki karya-karya yang dikenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Ia dikenal sebagai penyair setelah puisinya yang berjudul "Nisan" dimuat di berbagai media. Puisi-puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Karyanya yang paling dikenal ialah "Aku" dan "Krawang Bekasi". Ada beberapa karya juga yang dijadikan sebagai kumpulan sajak atau antologi puisi, seperti "Aku Ini Binatang Jalang", "Deru Campur Debu", "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus", dan lain sebagainya. Puisi terakhir Chairil sebelum Ia wafat berjudul "Cemara Menderai Sampai Jauh" yang ditulis pada tahun 1949.

"Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair." — Chairil Anwar

Baca Juga: 5 Perempuan Penyair yang Pernah Menerima Penghargaan Nobel Sastra

2. W.S. Rendra

potret W.S. Rendra (instagram.com/w_s_rendra)

Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah bapak puisi Indonesia yang wafat pada 6 Agustus 2009. Sejak muda, W.S. Rendra tidak hanya menulis puisi. Ia juga menulis esai, cerpen, skenario drama, dan karya sastra lainnya. Ia pun kerap dijuluki sebagai "Burung Merak".

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.

"Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi makrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." — W.S. Rendra

3. Sapardi Djoko Damono

potret Sapardi Djoko Damono (instagram.com/damonosapardi)

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang akhir-akhir ini dikenal sebagai Eyang Sapardi atau kerap disingkat sebagai SDD adalah bapak puisi Indonesia yang wafat pada 19 Juli 2020 silam. Wafat di usia 80 tahun, ia memiliki karya-karya yang akan dikenang sepanjang masa.

Dalam dunia kesastraan Indonesia, Sapardi kerap dipandang sebagai sastrawan angkatan 1970-an. Puisi-puisinya banyak mengenai hal-hal sederhana, tapi penuh makna kehidupan. Beberapa di antaranya bahkan sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Tak jarang pula ia mengungkapkan sajak romantis.

Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tapi juga cerita pendek. Banyak karyanya yang sudah diterbitkan sebagai kumpulan sajak atau antologi puisi, beberapa diantaranya ialah "Dukamu Abadi", "Lelaki Tua dan Laut", "Ayat-ayat Api", dan "Hujan Bulan Juni" yang banyak diminati kaum muda Indonesia.

"Yang fana adalah waktu. Kita abadi." — Sapardi Djoko Damono

4. Sitor Situmorang

potret Sitor Situmorang (instagram.com/yayasan_sitor)

Situr Situmorang adalah sastrawan sekaligus wartawan Indonesia. Sitor menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba, dan menerjemahkan karya sastra mancanegara.

Kepenyairan Sitor dimulai ketika dua puisinya dimuat Siasat pada tahun 1948. Sampai tahun 1951, ia telah menulis kurang lebih dari tiga puluh puisi dan sejumlah esai. Sitor memulai kariernya sebagai wartawan Harian Suara Nasional (1945-1946) dan Harian Waspada (1947).

Wafat pada 21 Desember 2014, Sitor pernah menetap di Singapura, Amsterdam, serta Paris. Ia juga pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Sitor dimakamkan tepat seperti puisi yang disampaikannya.

"Bila nanti ajalku tiba, kubur abuku di tanah Toba. Di tanah danau perkasa, terbujur di samping bunda." — Sitor Situmorang

Baca Juga: 5 Buku Puisi dari Penyair Kenamaan Aan Mansyur yang Membuai Pembaca

Writer

Jesika Nadeak

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya