Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

IWF 2020: 5 Kendala Himpun Cerita Berbahasa Daerah bagi Difabel Netra

YouTube.com/IDN Times

Usaha mewujudkan inklusivitas sastra yang dilakukan penulis cerita fiksi cum pendiri Difalitera, Indah Darmastuti, patut beroleh apresiasi. Sebab ia bersama dengan timnya tidak hanya menyediakan ragam konten buku audio atau audiobook yang berkualitas tetapi juga turut mengenalkan kekayaan bahasa dari suku bangsa se-Nusantara kepada para difabel netra.

Dalam salah satu sesi di ajang Indonesia Writers Festival (IWF) 2020 yang diselenggarakan IDN Times pada Rabu (23/09/2020), Indah mengaku sudah menghimpun 30 cerita fiksi dari berbagai bahasa suku yang ada di Indonesia. Di antaranya berasal dari Toraja, Palopo, Poso, dan Manggarai. Meski begitu, prakarsa yang masih berlangsung dan dimulai sejak Juli 2020 ini menemui beberapa tantangan dalam perjalanannya. Apa saja tantangan yang mewarnai proses itu? Berikut ini ulasannya.

1. Kesulitan menemukan penutur asli yang mampu membaca teks bahasa sukunya

youtube.com/IDN Times

Salah satu tujuan menghimpun cerita fiksi dari berbagai daerah adalah agar para difabel netra bisa menikmati karya sastra dari suara penutur aslinya. Dengan begitu, mereka bisa mengenal sekaligus mempelajari lebih dalam bahasa sukunya dan kekayaan bahasa di Nusantara.

Namun upaya ini terkendala dengan sulitnya menemukan penutur asli yang bisa membaca teks bahasa sukunya. Menemukan penutur asli ini begitu penting sebab rasa bahasa suku akan lebih terasa jika diucapkan oleh penutur bahasanya sendiri.

2. Kebingungan saat menemukan orang yang bisa menulis cerita namun tidak bisa bahasa suku setempat

Unsplash/My Life Journal

Tidak sedikit dari rekan-rekan Indah yang berstatus sebagai pendatang di berbagai daerah di Nusantara. Meskipun kebanyakan dari mereka adalah penulis, namun sayangnya kebanyakan tidak mengerti bahasa suku setempat.

Misalnya, Indah mencontohkan, ada seorang penulis yang tinggal di daerah Timor Leste namun tidak paham bahasa suku Samoro. Begitu juga kenalannya yang ada di Kabupaten Morowali tidak mengerti bahasa Suku Wana.

Meski begitu, ada solusi yang bisa diambil. Penulis itu bisa menuliskan ceritanya dalam bahasa Indonesia untuk kemudian diterjemahkan ke bahasa suku setempat. Namun proses ini memakan waktu yang lebih panjang dan mengeluarkan energi yang lebih banyak.

3. Proses kerja yang lama saat ada yang bisa menuliskan cerita namun terkendala dalam mengoperasikan komputer

Unsplash/John Schnobrich

Seorang kenalan Indah di Kota Palopo, Sulawesi Selatan yang usianya sudah sepuh sangat piawai menulis cerita. Namun ia terkendala jika harus menuliskannya di sebuah gawai seperti ponsel atau komputer.

Akhirnya, penulis itu menuliskan ceritanya di atas kertas terlebih dulu untuk kemudian dialihkan ke bentuk digital dalam komputer yang diketik oleh anaknya. Cara ini berhasil namun memakan waktu yang relatif panjang.

4. Proses kerja yang panjang saat harus membacakan dan mengetik cerita dari huruf Braille

Unsplash/Science in HD

Ada seorang difabel netra yang mau berkontribusi menuliskan cerita namun dalam huruf Braille. Atas tawaran ini, Indah menerimanya dengan senang hati. Tulisan itu kemudian dibacakan ulang oleh orang yang bisa membaca huruf Braille sambil diketik oleh orang lain.

Meski prosesnya berjalan, namun alur kerjanya terasa tidak mulus dan tersendat-sendat. Akan tetapi, dengan komitmen dan konsistensinya, Indah memilih tetap dan terus berjuang mendokumentasikan cerita fiksi dari berbagai daerah agar bisa dinikmati para difabel netra.

5. Kesulitan menemukan penutur asli yang bisa menuliskan cerita

Unsplash/Dendy Darma

Dengan memanfaatkan jaringan pertemanan yang dimilikinya, Indah terus mencari cerita berbahasa daerah di seluruh Indonesia. Dalam proses pencarian itu, adakalanya Indah bertemu dengan seorang penutur asli namun sayangnya tidak bisa menuliskan sebuah cerita.

Akhirnya ia harus kembali memutar otak untuk mencari cara lain agar cerita dari daerah tersebut bisa dinikmati oleh difabel netra. Meskipun hingga kini, hambatan seperti ini belum juga menemui jalan keluar.

Adakah yang bisa membantu inisiatif inklusivitas sastra ini agar bisa berjalan lancar? Semoga kemudahan senantiasa menaungi semua anggota Difalitera.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Asep Wijaya
EditorAsep Wijaya
Follow Us