Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bersiap untuk menulis (pexels.com/ Cup of Couple)
ilustrasi bersiap untuk menulis (pexels.com/ Cup of Couple)

Intinya sih...

  • Takut tulisannya dianggap biasa saja

  • Takut dicap sebagai si paling bijaksana

  • Takut ide-ide habis tak bersisa

Menulis itu memang unik. Kadang ia selayaknya hubungan tanpa status. Sulit dijelaskan, juga sulit untuk ditinggalkan. Tidak sedikit penulis yang ingin menyerah. Bukan karena malas, tapi karena dibayangi ketakutan yang tidak dapat diungkapkan.

Tapi entah kenapa, meski seperti itu, tangan enggan berhenti untuk menulis. Barangkali karena menulis itu bikin kecanduan, atau kita semua masih percaya, bahwa setiap tulisan ada pembacanya. Yuk, kenali lima ketakutan yang sering buat penulis nyaris nyerah, tapi selalu gak jadi.

1. Takut tulisannya dianggap biasa saja

ilustrasi menulis (pexels.com/Kindel Media)

Salah satu ketakutan yang paling umum dijumpai adalah ketika tulisan yang sudah diramu dengan sedemikian rupa, malah dianggap "biasa saja". Terlihat sederhana, tapi bagi penulis, itu perkataan yang terasa menyakitkan.

Terkadang, itu bikin penulis sampai overthingking. Bukan cuma soal teknik, tapi sebuah pertanyaan yang tidak kalah menohok "apa tulisanku ini layak untuk dibagikan ke khalayak?". Pada akhirnya, naskah yang siap dipublikasikan terpaksa diurungkan.

2. Takut dicap sebagai si paling bijaksana

ilustrasi memulai untuk menulis (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com )

Pada umumnya, penulis itu suka menyisipkan refleksi atau nilai hidup pada karya-karyanya. Tapi, di balik kalimat-kalimat itu, ada was-was yang masih sering menghantui seperti "jangan-jangan, tulisanku ini terlalu menggurui ya". Padahalkan, niatnya mau berbagi, bukan mau vonis mati.

Ketakutan tersebut membuat penulis membatasi dirinya. Mereka jadi ragu untuk mengulik hal-hal yang sifatnya personal atau opini, karena khawatir disalah artikan. Ujung-ujungnya, tulisan yang mestinya tulus, malah jadi datar.

3. Takut ide-ide habis tak bersisa

ilustrasi menulis (pexels.com/Cup of Couple)

Percaya atau tidak, tapi ini bukanlah sebuah mitos. Di antara ketakutan terbesar penulis adalah ide yang stoknya kian menipis, sampai kemudian habis. Ketakutan semacam itu biasanya hadir usai menuntaskan beberapa karya yang tergolong sukses.

Rasa cemas itu membuat penulis jadi terpaku. Antara perfeksionis, atau tidak menulis sama sekali karena kelamaan berpikir. Padahal, gagasan itu bisa muncul dari hal-hal yang paling dekat. Tapi namanya juga penulis, sukanya berpikir berlebihan.

4. Takut ditolak atau diabaikan

ilustrasi menulis (pexels.com/cottonbro studio)

Penolakan itu pahit bin nyelekit. Apalagi datangnya dari media atau penerbit yang sudah diidam-idamkan. Tapi, yang lebih menyakitkan dari itu adalah ketika tulisan sudah dikirim, tidak ada balasan sama sekali. Alias diabaikan.

Itulah sebabnya, banyak penulis menyimpan tulisannya dalam diam. Bukan kehilangan percaya diri, tapi takut menerima fakta bahwa goresan penanya belum mendapat gayung persetujuan.

5. Takut krisis identitas

ilustrasi menulis (pexels.com/Cup of Couple)

Ditengah gempuran tren dan algoritma, penulis kadang merasa terpaksa menyesuaikan diri dengan apa yang diminta oleh pasar. Menulis bukan lagi suara hati, tapi karena tuntutan. Untuk meraup jutaan audiens.

Ketakuatan yang satu ini bisa jadi momok untuk jangka panjang. Mereka ingin tetap autentik, tapi juga butuh didengarkan. Menjaga keseimbangan dua hal itu bukan perkara yang mudah.

Kesimpulannya, setiap penulis pasti punya rasa takut. Tapi, mereka selalu punya segudang alasan untuk tetap bertahan. Hingga melahirkan karya-karya hebat yang spektakuler.

Kamu sebagai penulis, mana ketakutan yang paling sering kamu alami?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team