IDN Times Xplore/MEDIKOM Medikidz_SMA Negeri 2 Jakarta
Bayangkan setiap langkah kecil yang kita lakukan—menyalakan lampu, mengendarai motor, atau sekadar mengambil kantong plastik di warung—meninggalkan jejak tak kasat mata di udara. Jejak itu, jika ditimbang, rata-rata mencapai 2,18 ton CO₂ per orang setiap tahun di Indonesia. Angka ini terlihat abstrak, tetapi dampaknya nyata: suhu ekstrem, cuaca yang kian tak menentu, hingga kebakaran hutan yang melanda dari tahun ke tahun. Dengan populasi 284 juta jiwa (BPS, 2024), akumulasi jejak karbon ini menjadikan setiap individu, sadar atau tidak, bagian dari mesin besar pemanasan global.
Di tengah tantangan ini, generasi muda Indonesia muncul sebagai kunci. Lahir di era perkembangan teknologi yang pesat, sebanyak 74,9 juta anak muda Indonesia atau sekitar 27,9% dari penduduk total, tumbuh dengan kepekaan terhadap pengetahuan dan keterampilan digital. Karakteristik ini membuat mereka bukan hanya penonton, melainkan aktor utama yang bisa mengarahkan masa depan, khususnya lewat inovasi yang menekan emisi karbon.
Teknologi menjadi panggung utama di mana peran itu dimainkan. Hampir setiap aspek kehidupan kini bersentuhan dengan teknologi, dan generasi muda dapat memanfaatkannya untuk menciptakan perubahan. Dari langkah kecil seperti menggunakan Internet of Things hingga menciptakan inovasi berkelanjutan, teknologi menjelma jembatan antara aksi sederhana dengan masa depan bumi yang lebih hijau.
Salah satu kekuatan teknologi adalah membuka akses tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan. Jika dulu informasi terbatas di ruang kelas atau buku teks, kini platform seperti YouTube, media sosial, hingga UNEP (United Nations Environment Programme) menghadirkan sumber edukasi gratis yang bisa dijangkau siapa saja hanya dengan sebuah ponsel.
Namun, pengetahuan saja tidak cukup—ia harus diterjemahkan menjadi aksi nyata. Tanpa kita sadari, setiap kegiatan sehari-hari meninggalkan jejak karbon. Karena itu, menghitung emisi menjadi langkah awal yang penting untuk mengenali kebiasaan paling boros energi. Melalui alat seperti WWF Footprint Calculator, kita bisa mengisi pertanyaan seputar konsumsi rumah, makanan, barang, hingga perjalanan. Dari hasilnya, jelas terlihat area mana yang paling besar menyumbang emisi. Dengan informasi itu, langkah sederhana pun bisa dimulai: memilih transportasi umum, mematikan perangkat elektronik ketika tidak digunakan, atau bahkan beralih ke sumber energi bersih seperti panel surya.
Di sisi lain, media sosial menjadi ruang yang tak kalah penting untuk memperluas dampak. Dari 191 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, lebih dari separuhnya adalah generasi muda. Melalui platform inilah lahir gerakan kreatif seperti video Pandawara Group yang menginspirasi orang membuang sampah dengan benar, atau kampanye #ActNow dari UNEP yang berhasil menekan 1,5 juta ton sampah plastik di Asia Tenggara. Dengan konten yang segar dan relevan dengan keseharian, anak muda bisa menjadikan TikTok atau Instagram sebagai sarana edukasi sekaligus aksi.
Akses komunikasi tidak terbatas ini menjadi fondasi untuk mencari teman yang memiliki minat yang sama—berkolaborasi dan membuat komunitas. Generasi muda kini bisa terhubung lintas daerah bahkan lintas negara untuk mengorganisir gerakan kolektif. Di tingkat sekolah, komunitas menjadi wadah awal perubahan, seperti program SEBATIK (Sekolah Bebas Sampah Plastik) di SMAN 2 Jakarta yang mengajak siswa untuk mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai melalui kebiasaan sederhana seperti membawa tumbler dan penggunaan media komunikasi sebagai platform sosialisasi. Dari lingkup kecil ini, teknologi memungkinkan untuk terciptanya gerakan global seperti Fridays for Future yang dimulai oleh Greta Thunberg yang kini memiliki anggota di lebih dari 50 kota di seluruh dunia. Kolaborasi yang berawal digital ini memungkinkan aksi nyata seperti bersih-bersih lingkungan, penanaman pohon massal, hingga menghasilkan berbagai petisi online yang mendorong kebijakan energi terbarukan.
Namun, perlu diingat bahwa teknologi bukan hanya soal apa yang ada di hadapan kita hari ini, tetapi juga tentang inovasi yang akan lahir di masa depan. Generasi muda yang tumbuh di tengah derasnya arus digital punya kepekaan alami terhadap perubahan. Kemampuan tersebut perlu diasah, dilatih, dan diberi ruang untuk berkembang. Di sinilah berbagai ajang inovasi seperti FIKSI (Festival Inovasi dan Kewirausahaan) yang diselenggarakan oleh Puspresnas maupun KREASI (Kompetisi Riset dan Inovasi Siswa Indonesia) berperan. Melalui kompetisi semacam ini, generasi muda belajar meneliti, merancang solusi kreatif, hingga menguji gagasan mereka pada masalah nyata. Tidak jarang, karya yang lahir kemudian mendapat pendanaan atau pengakuan hingga tingkat nasional.
Bukti nyatanya terlihat pada Mycotech, startup asal Bandung yang mengembangkan material ramah lingkungan berbasis jamur. Produk mereka menghasilkan emisi lima kali lebih rendah dibandingkan kulit sapi, sekaligus menghemat air dan energi. Inovasi ini menunjukkan bahwa keberanian anak muda mengutak-atik teknologi bisa menghasilkan terobosan besar bagi lingkungan.