Indonesia sebuah negara yang dianugerahi kekayaan alam melimpah, kini dihadapkan pada dua isu krusial yang saling terkait dan menjadi tantangan besar yaitu deforestasi masif dan kelangkaan energi. Kedua permasalahan ini tidak dapat dipandang secara terpisah, mengingat keduanya menciptakan siklus negatif yang merugikan lingkungan maupun masyarakat secara berkelanjutan. Penebangan hutan secara legal maupun ilegal, telah menimbulkan dampak lingkungan yang sangat parah dan kasatmata. Data menunjukkan bahwa luas hutan primer di Indonesia telah berkurang secara signifikan, dengan perkiraan kehilangan mencapai 10,7 juta hektar antara tahun 2002 dan 2024 (Global Forest Watch, 2024). Penebangan liar dan konversi lahan menjadi pendorong utama deforestasi, sebuah fakta yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Hilangnya hutan tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati yang unik dan tak ternilai, tetapi juga melemahkan kapasitas ekosistem dalam menahan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang kian sering terjadi.
Kondisi deforestasi yang memprihatinkan ini diperparah oleh tantangan lain yang tak kalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu kelangkaan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Salah satu contoh paling nyata adalah dalam sektor energi rumah tangga, di mana bahan bakar fosil menjadi bahan utama gas LPG 3kg. Meskipun pemerintah terus berupaya mengatasi permasalahan ini melalui berbagai kebijakan, ketergantungan pada impor LPG masih sangat tinggi. Pada tahun 2023, sekitar 79% dari konsumsi LPG nasional berasal dari impor (SPE Java, 2025). Ketergantungan yang masif ini secara jelas menyoroti urgensi diversifikasi sumber energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, demi tercapainya kemandirian energi nasional.
Kelangkaan LPG bersubsidi yang sering terjadi telah mendorong sebagian masyarakat, terutama di daerah pedesaan untuk kembali menggunakan kayu bakar sebagai alternatif utama dalam kegiatan memasak sehari-hari (CNN News, 2025). Ketergantungan ini tidak hanya disebabkan oleh ketersediaan yang mudah ditemukan, tetapi juga oleh harganya yang jauh lebih ekonomis dibandingkan bahan bakar lainnya yang tersedia di pasaran. Namun, penggunaan kayu bakar secara terus-menerus memicu masalah lingkungan yang sangat serius, yaitu penggundulan hutan atau deforestasi. Konsumsi yang tinggi ini secara langsung berkontribusi pada penebangan pohon yang tidak terkendali. Ketika masyarakat terus-menerus menebang pohon untuk bahan bakar, luas hutan pun terus berkurang dengan cepat. Hal ini memicu berbagai dampak negatif yang destruktif.
Dampak-dampak tersebut mencakup peningkatan emisi gas rumah kaca, di mana pembakaran kayu melepaskan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar ke atmosfer, yang dapat mempercepat proses perubahan iklim global. Terlebih lagi, hilangnya pohon berarti berkurangnya kemampuan alami hutan untuk menyerap CO2 dari udara, menciptakan siklus berbahaya yang mempercepat pemanasan global. Selain itu, terjadi pula hilangnya keanekaragaman hayati, karena hutan adalah habitat alami bagi jutaan spesies tumbuhan dan hewan yang penting bagi keseimbangan ekosistem. Tak hanya itu, penebangan hutan secara masif meningkatkan resiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang dapat menyebabkan kerugian materi dan korban jiwa secara signifikan. Hal ini disebabkan hutan berfungsi sebagai pencegah erosi tanah yang efektif. Penggundulan hutan juga menyebabkan degradasi tanah, yang mengakibatkan tanah kehilangan kesuburannya dan menjadi tidak produktif untuk pertanian. Yang kemudian berdampak pada ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, ketergantungan pada kayu bakar bukanlah solusi yang tepat, ketergantungan pada kayu bakar justru memperburuk krisis lingkungan yang sudah ada dan membawa dampak buruk yang berkepanjangan
Di tengah problematika yang kompleks tersebut, muncul potensi besar dari limbah pertanian yang melimpah, yaitu bonggol jagung. Indonesia adalah salah satu produsen jagung terbesar di dunia, bahkan pada tahun 2023 berhasil menghasilkan 14,4 juta ton jagung (Kementerian Pertanian dalam “Analisis Kinerja Perdagangan Jagung”). Namun ironisnya, sebagian besar bonggol jagung ini hanya dibakar atau dibiarkan menumpuk setelah panen, menjadikannya limbah yang tidak termanfaatkan secara optimal dan berpotensi besar mencemari lingkungan. Padahal, bonggol jagung memiliki kandungan karbon tinggi yang sangat potensial untuk menjadikannya sebagai sumber energi alternatif.
Inovasi pengolahan limbah bonggol jagung menjadi briket biomassa menawarkan solusi ganda untuk mengatasi isu deforestasi dan kelangkaan gas. Briket bonggol jagung adalah blok padat yang terbuat dari arang bonggol jagung, yang dibentuk dengan tekanan tinggi atau menggunakan bahan perekat alami yang ramah lingkungan. Proses pembuatannya relatif sederhana dan dapat diterapkan oleh masyarakat, meliputi karbonisasi (pembakaran tanpa oksigen untuk menghasilkan arang), penghalusan arang menjadi bubuk, pencampuran dengan perekat, dan pencetakan menjadi bentuk briket yang padat.