IDN Times Xplore/GE2S_SMKN 11 Jakarta
Dewasa ini, di tengah majunya globalisasi, dunia harus menghadapi global warming yang mengancam kehidupan di Bumi. Deforestasi masif terjadi di mana-mana, pertumbuhan masyarakat berkembang pesat, dan industrialisasi yang merajalela mempercepat kerusakan yang sudah terjadi.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa manusia telah merusak sekitar 97 persen ekosistem permukaan Bumi, dan hanya tiga persen wilayah yang masih tetap secara ekologis utuh, dengan habitat yang belum tersentuh serta populasi flora dan fauna asli yang masih sehat.
Malapetaka ini tak akan berakhir begitu saja. Anak cucu kita di masa depan akan menjadi korban selanjutnya jika dibiarkan seperti ini. Di dunia yang sedang tidak baik-baik saja, menjaga Bumi bukanlah pilihan lagi, melainkan kewajiban. Maka dari itu, melalui esai kami yang berjudul “In the Embrace of Global Warming: What We Pass On to the Next Generation”, kami ingin membangun kesadaran terhadap masalah yang sedang kita hadapi, untuk bersama-sama menjadi Eco Warriors, membuat solusi demi masa depan yang lebih layak dan lebih hijau.
Dalam esai ini, kami juga akan membahas bagaimana peran Society 5.0, pendidikan, serta media sosial membantu menggerakkan kegiatan pemulihan Bumi.
Mereka bilang, generasi sekarang adalah generasi penerus bangsa. Namun, dengan kondisi kualitas lingkungan hidup yang semakin memburuk, bisakah para generasi baru melanjutkan kehidupan bangsa?
Menurut World Resources Institute, emisi gas rumah kaca (GRK) global meningkat sebesar 51 persen dari tahun 1990 hingga 2021. Emisi ini menyebabkan planet memanas pada tingkat yang mengkhawatirkan dan berkontribusi terhadap badai, banjir, kebakaran, dan gelombang panas yang semakin dahsyat, yang kini tengah dihadapi dunia.
Bersumber dari savethechildren.org, perubahan iklim akan sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup anak-anak. Berikut penjabarannya:
90% penyakit yang diakibatkan oleh krisis iklim kemungkinan besar menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun.
Pada tahun 2050, diperkirakan 24 juta anak akan kekurangan gizi akibat krisis iklim.
Pada tahun 2040, diperkirakan satu dari empat anak akan tinggal di daerah dengan kekurangan air ekstrem.
Hampir 160 juta anak terkena dampak kekeringan yang semakin parah dan berkepanjangan.
Pendidikan sekitar 38 juta anak terganggu setiap tahun akibat krisis iklim.
Krisis iklim memaksa banyak keluarga untuk bermigrasi. Pada tahun 2050, diperkirakan akan ada 143 juta migran lagi akibat krisis iklim.
Diketahui pula bahwa setiap anak akan mewarisi planet dengan peristiwa cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi daripada sebelumnya. Berdasarkan pernyataan di atas, pantas bagi kita untuk merasa miris. Di dunia dengan masa depan yang begitu suram, bagaimana cara kita berharap para generasi penerus akan memajukan dunia ini jika, mereka harus bertahan akibat kerusakan yang kita perbuat sekarang?
Oleh karena itu, dengan adanya dukungan dari pendidikan serta edukasi tentang pentingnya lingkungan hidup, para generasi yang akan datang dapat melanjutkan kualitas hidup yang lebih baik serta layak. Pendidikan berperan penting dalam membangun kesadaran lingkungan dengan memberikan pengetahuan, membentuk sikap, dan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan mengenai pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Saat ini, sudah banyak sekolah yang menerapkan gerakan eco green, seperti prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Program pemerintah seperti Gerakan Sekolah Sehat (GSS) sedikit banyak memberikan dampak positif yang membangun kesadaran siswa, di mana sekolah melarang murid menggunakan kemasan makanan dan minuman plastik sekali pakai serta mewajibkan mereka membawa alat makan dari rumah. Beberapa sekolah juga melakukan program membuat pupuk dari sisa sayur atau buah. Ada pula aktivitas membuat kerajinan dari sampah. Bahkan, kegiatan seperti menanam pohon bersama di sekolah, di mana setiap murid diharuskan membawa satu pohon untuk ditanam.
Kegiatan ini bukanlah kegiatan yang sia-sia atau membuang waktu, tetapi justru berguna untuk membangun kesadaran para generasi penerus bangsa akan peluang dari masalah yang sedang kita hadapi dan bagaimana cara mengatasinya.
Tidak hanya peran pendidikan, konsep dari Society 5.0 juga dapat membantu meningkatkan kualitas lingkungan, di mana konsep ini menempatkan manusia sebagai pusat perhatian dan berusaha untuk mengatasi berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dikutip dari undiknas.ac.id, Society 5.0 juga menekankan pada konsep “smart city”. Kota-kota cerdas ini menggunakan teknologi untuk mengelola sumber daya dengan lebih efisien, mengurangi emisi karbon, dan memberikan layanan publik yang lebih baik.
Secara lebih mendalam, Society 5.0 adalah tentang mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan kita dengan cara yang lebih cerdas, manusiawi, dan berkelanjutan.
Peran dari media sosial juga memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat luas. Apapun yang terjadi di media sosial sering kali diikuti oleh banyak orang. Oleh karena itu, memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan serta kebiasaan-kebiasaan yang sehat dan berkelanjutan sangatlah berpotensi.
Namun, potensi ini juga bisa berdampak negatif, di mana gerakan ini dapat memicu greenwashing dan sifat konsumtif. Contohnya, kegiatan membeli tumbler berlebihan di luar kebutuhan, dan klaim-klaim oknum praktik pemasaran yang mempromosikan bisnis ramah lingkungan yang sebenarnya tidak.
Menghijaukan Bumi tidak hanya tentang menanam pohon atau membuang sampah pada tempatnya, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan rasa cinta terhadap Bumi. Edukasi tentang lingkungan bukanlah sesuatu yang membosankan atau hanya membuang waktu. Edukasi adalah upaya untuk mengubah pola pikir, membentuk karakter, dan mengetuk pintu hati. Karena perubahan yang paling besar berasal dari hati. Bumi adalah rumah, dan rumah adalah Bumi. Bahkan ketika kita sudah tidak memiliki apa-apa, kaki kita akan tetap berpijak di atas permukaannya.