Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Novel Berlatar Kafe di Eropa, Ada yang Tragis!

novel The Island of Missing Trees dan The Cafe with No Name (penguin.co.uk | canongate.co.uk)
Intinya sih...
  • The Cafe with No Name (Robert Seethaler) berkisah tentang pemuda 31 tahun yang menghidupkan kembali kafe terbengkalai di Austria pasca Perang Dunia II.
  • In the Cafe of Lost Youth (Patrick Modiano) menampilkan kisah tragis Louki, perempuan yang merasakan kesepian akut di sebuah kafe di Paris.
  • The Little Cafe in Copenhagen (Julie Caplin) menceritakan Kate yang mencoba menata hatinya yang hancur berkeping-keping di sebuah kafe di Kopenhagen.

Kafe adalah salah satu latar novel yang mendadak populer, terutama di ranah sastra Jepang. Serial novel Before the Coffee Gets Cold adalah pelopornya. Disusul The Full Moon Coffee Shop, The Curious Kitten at the Chibineko Kitchen, sampai yang terbaru Days at the Torunka Cafe. Dikenal sebagai tempat yang estetik dan menenangkan, gak heran kalau novel-novel di atas kebanyakan mengusung genre healing fiction.

Menariknya, saat kafe diadopsi oleh penulis Eropa sebagai latar, plotnya bisa cukup beragam. Gak terbatas pada drama menghangatkan, beberapa justru cukup tragis. Ini rekomendasi novel berlatar kafe di Eropa yang bisa masuk pertimbanganmu!

1. The Cafe with No Name (Robert Seethaler)

The Cafe with No Name karya Robert Seethaler (canongate.co.uk)

The Cafe with No Name adalah novel kedua Robert Seethaler yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Berlatar Austria beberapa tahun setelah Perang Dunia II, novel ini berkutat pada Robert Simon, pemuda 31 tahun yang setelah menabung bertahun-tahun memutuskan membeli sebuah kafe terbengkalai dan menghidupkannya lagi. Layaknya novel slice of life Jepang, tak banyak yang terjadi di sini, tetapi rutinitas dan drama kehidupan Robert Simon beserta pegawai dan pelanggannya dikemas padat dan menarik.

2. In the Cafe of Lost Youth (Patrick Modiano)

In the Cafe of Lost Youth karya Patrick Modiano (nyrb.com)

Bukan tipe novel yang menghangatkan hati, buku ini justru tragis dan suram. Ceritanya berkutat pada sebuah kafe di Kota Paris dan beberapa pengunjungnya. Salah satu pelanggan kafe itu sekaligus tokoh sentral novel ini adalah perempuan bernama Louki.

Lahir dari ibu tunggal yang tercekik secara finansial, Louki sempat percaya kalau menikahi pria dari kelas atas bisa jadi kunci kebahagiaannya. Namun, yang ternyata kebahagiaan itu tak kunjung ia dapat. Louki justru merasakan kesepian akut yang mendorongnya menghabiskan malam di luar rumah.

3. The Little Cafe in Copenhagen (Julie Caplin)

The Little Cafe in Copenhagen karya Julie Caplin (harpercollins.com.au)

Novel ini cocok buat kamu yang mendambakan cerita hangat dan manis layaknya menyeruput es kopi susu favorit. Ceritanya berorbit pada Kate, perempuan yang setelah dikhianati pacarnya memutuskan meninggalkan hidupnya yang tampak sempurna untuk pindah sejenak ke Kopenhagen. Di sana, ia menghabiskan waktu di sebuah kafe, berkenalan dengan gaya hidup hygge ala Denmark dan mencoba untuk menata kembali hatinya yang hancur berkeping-keping.

4. The Island of Missing Trees (Elif Shafak)

The Island of Missing Trees karya Elif Shafak (penguin.co.uk)

Kafe memang bukan satu-satunya latar di novel epik ini. Namun, ia jadi saksi bisu kisah cinta dua remaja dari dua etnik yang berkonflik di Siprus. Kafe itu pula yang jadi rumah pohon fig yang berperan sebagai salah satu narator dalam novel ini. The Island of Missing Trees menawarkan petualangan coming-of-age yang mengawinkan sejarah dengan magical-realism, cocok buat kamu yang kebetulan suka dua genre itu.

5. Bolla (Pajtim Statovci)

novel Bolla karya Pajtim Stavovci (penguinrandomhouse.com)

Kafe juga bukan latar utama novel tragis asal Kosovo ini. Namun, ia adalah tempat dua protagonis utama buku ini bertemu beberapa kali. Mereka adalah Arsim dan Milos, dua pria dari dua etnik yang berkonflik di negeri itu. Tak hanya terhalang konflik etnik dan pergolakan politik yang memanas, kisah cinta keduanya juga terhalang norma.

Di tengah masyarakat yang menolak homoseksualitas, Arsim dan Milos berjibaku menutupi jati diri mereka. Tragis dan mengganggu, berbagai adegan dalam novel ini adalah bukti kalau pria sebenarnya juga korban sistem patriarki.

Saat butuh latar untuk bercerita, kafe adalah salah satu tempat favorit. Ia bisa dijadikan tempat rehat, berteduh, sampai pertemuan beberapa manusia dengan beragam karakter dan latar belakang. Gak heran cerita yang bisa tercipta dari sebuah kafe bisa sevariatif ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us