5 Novel tentang Palestina yang Wajib Dibaca untuk Memahami Sejarah

- Mornings in Jenin karya Susan Abulhawa: Novel epik mengisahkan keluarga Palestina sejak Nakba 1948 hingga generasi berikutnya, menampilkan cinta, kehilangan, dan usaha bertahan hidup di tengah konflik.
- The Parisian karya Isabella Hammad: Mengikuti perjalanan pemuda Palestina di Prancis dan Nablus saat kolonialisme, memperlihatkan hubungan identitas, cinta, dan aspirasi nasional.
- Wild Thorns karya Sahar Khalifeh: Novel klasik Palestina yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di bawah pendudukan serta konflik internal masyarakat yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial.
Isu tentang Palestina sering hadir dalam bentuk berita, propaganda, dan pernyataan politik, tapi jarang hadir sebagai cerita tentang manusia biasa yang menjalani hidup sehari-hari di tengah situasi luar biasa. Padahal, lewat sastra, pengalaman itu bisa terasa lebih dekat, lebih personal, dan lebih utuh.
Novel-novel tentang Palestina tidak hanya bicara soal konflik, tetapi juga tentang keluarga, cinta, kehilangan, harapan, dan cara orang bertahan dalam kondisi yang terus berubah. Lima novel berikut menghadirkan kisah Palestina dari sudut pandang yang beragam, dengan cara yang lebih manusiawi daripada sekadar headline.
1. Mornings in Jenin karya Susan Abulhawa

Mornings in Jenin adalah novel epik yang mengikuti kisah keluarga Abulheja dari Palestina sejak peristiwa Nakba pada 1948 hingga generasi berikutnya, mengisahkan pengusiran mereka dari desa asal dan hidup sebagai pengungsi. Novel ini menggambarkan cinta, kehilangan, trauma, serta usaha bertahan hidup di tengah konflik yang berlangsung puluhan tahun, dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa karena resonansinya secara global.
Cerita dibuka dengan kehidupan sederhana sebelum konflik dan perlahan berkembang ke pengalaman kompleks karakter yang terhubung dengan sejarah panjang Palestina. Susan Abulhawa menulisnya dengan gaya emosional namun kuat, memberikan wajah manusia pada narasi besar politik dan perang. Ini adalah salah satu fiksi paling dikenal yang memperkenalkan pembaca internasional ke pengalaman hidup keluarga Palestina dalam konteks sejarah mereka.
2. The Parisian karya Isabella Hammad

The Parisian adalah novel sejarah yang mengikuti perjalanan Midhat Kamal, seorang pemuda Palestina yang belajar di Prancis saat Perang Dunia I dan kemudian kembali ke kampung halamannya di Nablus ketika Palestina berada di bawah mandat Inggris. Ceritanya menggabungkan drama personal dengan perubahan politik besar, memperlihatkan bagaimana identitas, cinta, dan aspirasi nasional saling terkait di tengah dinamika kolonialisme dan konflik.
Isabella Hammad menulis novel ini sebagai paduan kisah cinta, pembentukan identitas, dan wawasan sosio-politik yang kaya tentang Palestina pada awal abad ke-20. Novel ini memenangkan berbagai penghargaan dan diapresiasi sebagai karya fiksi besar yang menunjukkan kehidupan Palestina dari era pra-negara modern sampai pergeseran besar dalam sejarahnya. Tema utamanya berkisar pada bagaimana masa lalu memengaruhi masa depan karakter dan komunitas mereka.
3. Wild Thorns karya Sahar Khalifeh

Wild Thorns adalah novel klasik Palestina yang mengambil latar di Nablus pada awal 1970-an, memperlihatkan kehidupan sehari-hari orang Palestina di bawah pendudukan. Ceritanya mengikuti beberapa karakter dengan latar belakang berbeda, termasuk seorang veteran yang menentang sistem, pemuda yang bekerja dengan Israel, dan lainnya yang mencoba mencari cara bertahan hidup.
Sahar Khalifeh menggunakan cerita individu ini untuk mengeksplorasi konflik internal masyarakat yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial dan tekanan sosial. Novel ini dikenal karena penggambaran kuatnya tentang kondisi sosial, ekonomi, dan politik Palestina di masa itu, serta kritik tajam terhadap dampak pendudukan. Dibaca sebagai cerminan realitas sosial dan psikologis masyarakat Palestina, buku ini menonjolkan suara lokal yang jarang terdengar dalam fiksi Barat.
4. The Blue Between Sky and Water karya Susan Abulhawa

Dalam The Blue Between Sky and Water, Susan Abulhawa menelusuri kehidupan tiga generasi perempuan Palestina yang hidup melalui peristiwa besar seperti Nakba dan diaspora berikutnya, dengan fokus pada hubungan keluarga yang kompleks dan perjalanan balik ke tanah asal. Novel ini bukan hanya tentang konflik, tetapi juga cinta, trauma, kehilangan, dan keterikatan pada rumah yang hilang.
Cerita dimulai di sebuah desa Palestine dan melibatkan pengalaman perjuangan di Gaza serta diaspora keluarga yang tersebar ke berbagai negara. Abulhawa dengan detail menggambarkan bagaimana sejarah kolektif membentuk kehidupan pribadi dan identitas generasi berikutnya. Novel ini menggabungkan perspektif sejarah dengan drama keluarga yang mendalam, membuatnya relevan sekaligus emosional.
5. Men in the Sun karya Ghassan Kanafani

Men in the Sun adalah novella yang mengikuti tiga pria Palestina yang berusaha melarikan diri dari kamp pengungsi di Irak untuk mencari pekerjaan di Kuwait melalui rute yang berbahaya. Novel ini menggambarkan bukan hanya kesulitan fisik perjalanan mereka, tetapi juga tekanan psikologis dan absurditas kondisi hidup mereka sebagai pengungsi tanpa tanah.
Ghassan Kanafani menggunakan narasi sederhana namun menohok untuk menunjukkan bagaimana impian migrasi bagi kehidupan yang lebih baik sering berbenturan dengan realitas brutal. Ending ceritanya terkenal karena kesunyian dan tragedinya, sebuah kritik tajam terhadap kondisi yang memaksa karakter bertindak di luar kewajaran demi harapan yang tipis. Walau novelnya singkat, pesan dan dampaknya sangat kuat, membuatnya jadi karya penting dalam sastra Palestina.
Membaca novel tentang Palestina bukan sekadar soal memahami konflik, tetapi tentang memahami kehidupan yang terus berjalan di tengah konflik itu sendiri. Lewat cerita-cerita ini, pembaca diajak melihat bagaimana sejarah besar memengaruhi hidup kecil, dan bagaimana orang-orang tetap membangun makna di tengah keterbatasan.
Sastra memberi ruang untuk empati yang lebih dalam, bukan dengan memaksa kita berpihak, tapi dengan mengajak kita memahami. Dan dari pemahaman itulah, sering kali lahir cara pandang yang lebih jujur dan utuh tentang dunia.


















