5 Strategi Bappenas di Peta Jalan Pendidikan 2025-2045, Wajib 13 Tahun

Intinya sih...
- Bappenas dan Tanoto Foundation meluncurkan Peta Jalan Pendidikan 2025-2045 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pendidikan berkualitas.
- Program wajib belajar 13 tahun menjadi solusi untuk peningkatan kualitas pendidikan, partisipasi pendidikan tinggi, dan produktivitas tenaga kerja.
- Peningkatan kompetensi guru, pengembangan bidang ilmu STEAM, dan peran perguruan tinggi dalam pembangunan ekonomi menjadi fokus strategi pendidikan.
Jakarta, IDN Times - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan Tanoto Foundation, baru saja meluncurkan Peta Jalan Pendidikan 2025-2045. Laporan ini bertujuan untuk menjelaskan sejauh mana hasil pendidikan di perguruan tinggi telah selaras dengan kebutuhan industri saat ini.
Sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, kesesuaian tersebut menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan ekonomi melalui pendidikan yang terencana dengan baik.
“Kita bisa belajar dari beberapa negara di Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, atau Cina. Meskipun merdeka dalam waktu yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, mereka berhasil menguasai pasar ekonomi global berkat pendidikan yang kuat sebagai fondasi utamanya,” jelas Amich Alhumami, Ph. D, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, saat menjelaskan mengenai strategi pendidikan, di peluncuran Peta Jalan Pendidikan 2025-2045 di Artotel Mangkuluhur, Selasa (10/12/2024).
Ia menambahkan, Korea Selatan, misalnya, memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi yang mencapai 93-95 persen. Hal ini mendorong percepatan ekonomi melalui berbagai inovasi dan pemanfaatan teknologi. Berikut adalah strategi yang dirancang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui pendidikan yang berkualitas.
1. Mewajibkan kebijakan belajar 13 tahun
Isu peningkatan kualitas pendidikan menjadi krusial karena data menunjukkan, bahwa 58 persen penduduk Indonesia masih didominasi oleh lulusan pendidikan menengah pertama. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah bercita-cita menerapkan program wajib belajar 13 tahun, dengan harapan dapat meningkatkan proporsi penduduk yang minimal menyelesaikan pendidikan menengah atas.
“Penerapan wajib belajar 13 tahun akan meningkatkan partisipasi pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi. Targetnya, sekitar 20 persen penduduk dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Dengan pendidikan yang lebih baik dan berkualitas hingga perguruan tinggi, kita bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja di bidang keahlian menengah dan tinggi,” ujar Amich.
Ia juga menambahkan bahwa pendidikan berkualitas tidak hanya meningkatkan ketersediaan tenaga kerja, tetapi juga produktivitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia saat ini berada di angka 2,8 persen, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam yang mencapai 6,8 persen. Dengan kebijakan wajib belajar 13 tahun, tidak hanya kebutuhan pasar kerja yang dapat terpenuhi, tetapi juga produktivitas penduduk secara keseluruhan akan terdongkrak.
2. Wajib belajar 13 tahun dimullai dari pre-school juga berdampak pada tumbuh kembang anak
Program wajib belajar 13 tahun juga dimulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Langkah ini bukan tanpa alasan, sebab pendidikan bagi anak usia dini dianggap penting untuk mempersiapkan mereka menghadapi pendidikan formal di jenjang berikutnya.
“Pendidikan di tingkat pre-school juga berkontribusi pada peningkatan skor PISA (Programme for International Student Assessment), khususnya dalam kemampuan literasi dan numerasi anak-anak Indonesia. Anak-anak yang mulai belajar sejak dini lebih siap bertahan dan berkembang dalam sistem persekolahan,” ujarnya.
Selain itu, mengikuti pendidikan usia dini dapat memberikan dampak positif pada kesejahteraan emosional (emotional well-being) anak. Menurut Amich, pendidikan di tingkat PAUD melatih anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan psikososial. Anak-anak juga akan terbiasa berinteraksi dalam keragaman, menerima perbedaan, dan mengembangkan sikap toleransi yang tinggi.
3. Meningkatkan kualitas guru untuk melawan isu equity dan quality of education
Tidak dipungkiri, pendidikan dan kualitas guru menjadi isu penting yang terus diperbincangkan. Keduanya saling berkaitan untuk mewujudkan siswa berkualitas dengan kemampuan yang mumpuni.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan adalah skor PISA (Programme for International Student Assessment), yang menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains. Namun, skor PISA Indonesia saat ini masih berada di angka 383, jauh di bawah negara-negara dengan skor tertinggi.
“Kita menghadapi dua tantangan utama, yaitu kesenjangan akses pendidikan dan kualitas pendidikan di semua jenjang, dari pendidikan dasar hingga menengah. Saat ini, skor PISA kita masih tergolong rendah, terutama jika dibandingkan dengan standar global,” jelas Amich.
Untuk mengatasi hal ini, salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kompetensi dan kapasitas guru. Guru yang lebih terampil dapat mendorong kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya tercermin pada hasil belajar siswa.
Amich juga menekankan, bahwa strategi peningkatan ini perlu dilakukan secara berkelanjutan, sehingga pada tahun 2025, skor PISA Indonesia diharapkan dapat mendekati rata-rata negara-negara OECD.
4. Memperkuat pembelajaran dan program studi STEAM
STEAM merupakan bidang yang mencakup lima disiplin utama: Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics. Kelima bidang ini harus seimbang karena memainkan peran penting dalam pengembangan infrastruktur, terutama dalam riset inovasi dan kemajuan IPTEK.
“Ke depan, kami ingin memperkuat bidang STEM di luar program studi sosial-humaniora. Kalau kita lihat perkembangannya dalam lima hingga tujuh tahun terakhir, proporsi bidang ilmu STEM sudah mulai meningkat. Bahkan, ada tren kenaikan dalam jumlah program studi terkait STEM,” jelas Amich.
Meski begitu, menurutnya, kelompok studi STEAM di Indonesia masih kurang berkembang. Hanya 35-40 persen dari keseluruhan bidang studi yang terfokus pada STEAM, sehingga diperlukan investasi untuk mendukung pengembangannya. Bidang ini juga menjadi kunci dalam merancang economic planning, industrial planning, dan manpower planning sesuai kebutuhan masa depan.
“Jepang, Korea Selatan, dan Cina mampu melompat secara ekonomi karena mereka didukung oleh jumlah ilmuwan dan peneliti yang sangat besar,” tambah Amich.
Namun, kondisi di Indonesia masih jauh tertinggal. Berdasarkan data UNESCO, jumlah ilmuwan, peneliti, dan perekayasa di Indonesia hanya mencapai 1.600 per 1 juta penduduk.
Sebagai perbandingan, di Singapura, jumlah ilmuwan STEM mencapai 7.200 untuk populasi sekitar 5 juta jiwa. Artinya, Indonesia menghadapi kesenjangan besar dalam jumlah tenaga ahli STEAM, yang layaknya "jurang dalam" jika dibandingkan dengan negara tetangga.
5. Mewujudkan peneliti dan ilmuwan STEM yang bisa menyelaraskan potensi wilayah dengan institusi pendidikan
Amich menekankan, bahwa perkembangan ekonomi berawal dari upaya memperkuat institusi perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan (scientific development), produksi pengetahuan (knowledge production), dan inovasi teknologi (technology innovation). Ketiga hal ini, menurutnya, memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Tiga aspek tersebut sangat dibutuhkan untuk berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan ekonomi. Karena itu, perguruan tinggi harus mampu memetakan strategi kebijakan yang relevan di setiap wilayah,” ungkap Amich dalam wawancaranya bersama media.
Ia menjelaskan, bahwa strategi kebijakan yang disusun pemerintah untuk pengembangan wilayah didasarkan pada potensi masing-masing daerah, seperti pariwisata, manufaktur, atau sumber daya alam. Potensi ini nantinya akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan jumlah institusi perguruan tinggi di wilayah tersebut.
“Pengembangan bidang keilmuan dan keahlian yang relevan harus diselaraskan dengan penelitian ilmiah (scientific research). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperkuat perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan periset yang mumpuni,” pungkasnya.