Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orang tua mengusap kepala anaknya (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi orang tua mengusap kepala anaknya (pexels.com/Kindel Media)

Manusia memiliki keyakinan, baik itu keyakinan tentang dirinya sendiri ataupun keyakinan tentang hal-hal di luar dirinya, termasuk tentang orang lain. Di beberapa kasus, keyakinan tersebut dapat menghalangi manusia untuk menanggapi suatu hal secara luas dan positif. Keyakinan-keyakinan semacam itulah yang disebut sebagai limiting belief.

Limiting belief diartikan sebagai keyakinan yang membelenggu pikiran seseorang, sehingga memunculkan ketidakberdayaan. Dari pengertiannya saja, jelas kan bahwa limiting belief itu perlu diubah karena bermakna negatif dan dapat mendatangkan efek negatif pula. Termasuk, perlunya mengubah limiting belief orang tua terhadap anaknya. Sejumlah alasan pentingnya mengubah limiting belief ialah sebagai berikut!

1.Mengubah keyakinan dapat memberikan manfaat

ilustrasi orang tua menasihati anaknya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Limiting belief adalah keyakinan yang membatasi. Individu yang memiliki keyakinan terbatas akan sulit berkembang dan sulit membantu orang lain untuk berkembang. Misalnya, kamu selaku orang tua punya keyakinan bahwa orang-orang senantiasa menilaimu sebagai orang tua yang buruk. Bagaimana respons kamu ketika punya keyakinan semacam itu? Kamu akan terus terikat dengan pernyataan tersebut, kan?

Meskipun sebenarnya kamu tidak selalu menjadi orang tua yang buruk bagi anakmu, tetapi dengan keyakinan seperti itu, kamu benar-benar bisa menjadi orang tua yang buruk sepanjang waktu. Kalau kamu mengubah keyakinan tersebut, segala hal yang tidak bisa kamu lakukan pun menjadi bisa kamu lakukan.

2.Terhindar dari menyalahkan keadaan

ilustrasi orang tua menasehati anaknya (pexels.com/Kindel Media)

Kalau orang tua punya limiting belief, orang tua akan cenderung menyalahkan keadaan. Menyalahkan keadaan bukan suatu hal yang baik, bukan. Misalnya, anak meminta orang tua untuk tidak menjadi seorang pemarah. Sebab, anak tidak ingin orang tuanya memarahinya terlalu keras.

Namun, orang tua yang punya limiting belief dapat merespons keinginan anak dengan mengatakan kalimat semacam “Ayah memang seperti ini, tidak bisa berubah karena memang keturunan pemarah”. Bagaimana reaksi anak saat mendengar respons tersebut? Tentu anak menjadi sedih. Pemahaman bahwa orang yang keturunan pemarah akan selalu menjadi pemarah dan berwatak keras juga akan tertanam dalam hati anak.

3.Limiting belief membuat orang tua terjebak dalam reaksi yang sama

ilustrasi orang tua dan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Limiting belief itu amat merugikan. Limiting belief membuat orang tua terjebak dalam reaksi yang sama. Akibatnya, orang tua merasa tidak mampu berubah atau mencapai sesuatu, seperti halnya kasus yang dicontohkan pada poin 2.

Seorang Ayah yang punya keyakinan bahwa keturunan pemarah tidak bisa berubah akan selalu menjadi seperti itu. Ia sudah merasa putus asa dan tidak berdaya lebih dulu. Ia pasrah saja dengan keadaannya tanpa mau berusaha untuk menjadi lebih baik. Begitu juga ketika orang tua punya keyakinan bahwa anak mereka lemah, maka pernyataan tersebut akan menjadi suatu hal yang terus ada dalam pikiran kedua orang tua dan bahkan anak mereka.

4.Limiting belief bisa menular

ilustrasi orang tua mengobrol dengan anaknya (pexels.com/Julia M Cameron)

Parahnya lagi, limiting belief ternyata bisa menular. Banyak kasus ketika orang tua menularkan limiting belief-nya kepada anak mereka. Misalnya, orang tua yang menganggap bahwa pelajaran matematika itu sulit cenderung mengatakan hal yang sama kepada anaknya. Orang tua akan turut mengatakan pada anak mereka bahwa pelajaran matematika itu susah.

Pernyataan semacam itu jelas membuat anak menanamkan pemikiran bahwa matematika itu memang susah dan akan terus terbawa sampai ia dewasa. Akibatnya? Ia jadi tidak suka matematika. Ia jadi sulit untuk memahami pelajaran matematika.

5. Limiting belief membuat anak punya pola pikir negatif

ilustrasi orang tua dan anak (pexels.com/Kampus Production)

Usia anak merupakan usia yang tepat untuk orang tua membentuk karakter dan cara berpikir mereka. Namun, saat orang tua punya limiting belief pada anak, anak bisa punya pola pikir negatif. Pola pikir negatif menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan sehari-hari.

Dengan pola pikir negatif, bisa saja anak tumbuh menjadi pribadi yang menolak perubahan, pengeluh, punya kepercayaan diri yang rendah, maupun kerap merasa cemas, takut, gelisah, dan frustasi. Bukan pola pikir negatif yang perlu ditanamkan pada anak, tetapi pola pikir positif. Pola pikir positif mampu meningkatkan motivasinya serta daya juangnya dalam menjalani hidup.

Limiting belief benar-benar amat merugikan, bukan. Meski terdengar sederhana, nyatanya limiting belief punya pengaruh yang besar bagi perkembangan anak. Jadi, yuk, ubah limiting belief yang ada dalam diri sendiri menjadi empowering belief!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team