Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Orangtua yang Membentuk Superiority Complex pada Anak

Seorang ibu dan anak berdebat.
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Karola G)
Intinya sih...
  • Terlalu sering memuji tanpa arahan yang tepat, membuat anak merasa selalu lebih baik dari orang lain.
  • Selalu membandingkan anak dengan anak lain mengajarkan standar yang tidak sehat dan membuat anak sulit menghargai kelebihan orang lain.
  • Membenarkan semua perilaku anak, bahkan ketika ia salah, membuat mereka sulit menerima kritik dan tumbuh menjadi pribadi yang sulit menerima masukan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh percaya diri, pintar, dan mampu bersaing. Tapi kadang, tanpa disadari, beberapa kebiasaan justru membuat anak merasa lebih unggul dari orang lain. Perasaan "paling hebat" atau "paling benar" ini bisa berkembang menjadi superiority complex jika tidak diarahkan dengan tepat. Anak memang butuh dukungan, tapi mereka juga perlu belajar bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.

Superiority complex tidak terbatas pada anak yang suka pamer atau merasa paling pintar. Lebih dalam dari itu, ada pola pikir bahwa mereka tidak perlu mendengarkan orang lain, sulit menerima kritik, atau menganggap dirinya selalu benar. Kebiasaan-kebiasaan kecil dari orangtua sering jadi pemicunya, dan memahami hal ini bisa membantu mencegah masalah yang lebih besar di masa depan. Berikut ini lima kebiasaan orangtua yang tanpa sadar membentuk superiority complex pada anak. Yuk, simak!

1. Terlalu sering memuji tanpa arahan yang tepat

Seorang ibu dan anak sedang mengobrol.
ilustrasi ibu dan anak berdebat (pexels.com/Karola G)

Pujian memang baik, tapi ketika diberikan tanpa konteks atau terlalu berlebihan, anak bisa merasa bahwa dirinya selalu lebih baik dari orang lain. Misalnya, memuji anak dengan "Kamu paling pintar!" atau "Kamu paling hebat!" setiap kali ia berhasil melakukan sesuatu. Lama-lama anak akan mengasosiasikan keberhasilannya dengan superioritas, bukan usaha atau proses belajar.

Lebih baik fokus pada usaha, strategi, atau ketekunan anak. Misalnya, "Kamu latihan keras makanya bisa," atau "Kamu ingat langkah-langkahnya, makanya berhasil." Dengan cara ini, anak tumbuh percaya diri tapi tetap rendah hati, karena dia tahu kesuksesan bukan tentang menjadi yang paling hebat, melainkan tentang proses yang ia jalani.

2. Selalu membandingkan anak dengan anak lain

ilustrasi ayah dan anak
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Banyak orangtua tanpa sadar memuji anak dengan membandingkannya dengan teman atau saudara. Kalimat seperti "Lihat, kamu lebih rapi dari dia," atau "Temanmu aja kalah sama kamu," terdengar seperti pujian, tapi mengajarkan standar yang tidak sehat. Anak belajar bahwa menghargai diri sendiri berarti lebih unggul dari orang lain, bukan tentang berkembang dari dirinya yang kemarin.

Kebiasaan ini bisa membuat anak sulit menghargai kelebihan orang lain karena mereka terbiasa melihat hubungan sosial sebagai kompetisi. Mereka merasa harus selalu berada di atas agar dianggap berharga. Alih-alih membandingkan, ajak anak fokus pada kemajuan dirinya sendiri. Ini membantu anak mengembangkan kepercayaan diri tanpa menciptakan pola pikir superior.

3. Membenarkan semua perilaku anak, bahkan ketika ia salah

Seorang ibu menenangkan anak yang sedang mengalami stres.
ilustrasi ibu dan anak sedang stres (pexels.com/Kindel Media)

Orangtua sering ingin melindungi anaknya dari kesedihan, konflik, atau rasa bersalah. Namun, selalu membenarkan perilaku anak—bahkan ketika mereka jelas-jelas salah—justru membuat mereka sulit menerima kritik. Mereka belajar bahwa apa pun yang mereka lakukan pasti benar dan tidak perlu bertanggung jawab atas kesalahannya.

Perlahan, anak akan terbiasa menyalahkan orang lain atau menganggap dirinya tidak mungkin salah. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang sulit menerima masukan, defensif, atau merasa superior ketika ada perbedaan pendapat. Mengajarkan anak mengakui kesalahan dan memperbaikinya adalah investasi penting untuk membangun karakter yang sehat dan seimbang.

4. Terlalu sering mengambil alih masalah anak

ilustrasi ibu dan anak bertengkar
ilustrasi ibu dan anak bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)

Saat anak menghadapi masalah, banyak orang tua langsung turun tangan menyelesaikannya. Tujuannya baik: ingin membantu. Tapi ketika anak tidak diberi kesempatan menghadapi tantangan kecil, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka terlalu istimewa untuk menghadapi masalah biasa. Mereka merasa bahwa semua hal harus berjalan sesuai keinginan mereka, dan orang lain harus menyesuaikan.

Anak yang tidak terbiasa menyelesaikan masalah sendiri juga sulit memahami bahwa semua orang menghadapi kesulitan. Mereka hanya melihat hasil akhir tanpa menghargai proses yang dialami orang lain. Memberi ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan mencari solusi sendiri akan membantu mereka memahami bahwa setiap orang berjuang dengan caranya masing-masing.

5. Menanamkan ide bahwa anak "lebih spesial" dari orang lain

ilustrasi ibu dan anak curhat
ilustrasi ibu dan anak curhat (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Pernyataan seperti "Kamu itu beda dari yang lain," "Kamu lebih spesial dari teman-temanmu," atau "Kamu memang anak istimewa," terdengar positif, tapi kalimat itu malah bisa memberi tekanan sekaligus membentuk pola pikir superiority. Anak merasa dirinya harus selalu unggul, tidak boleh kalah, dan tidak boleh gagal karena status "spesial" yang diberikan orang tua.

Lebih baik tekankan bahwa setiap orang punya kelebihan unik. Ajarkan bahwa menjadi baik bukan berarti lebih unggul, tetapi menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dengan cara ini, anak tetap bisa merasa istimewa, tanpa menjadikan itu alasan untuk meremehkan orang lain.

Itulah 5 kebiasaan orang tua yang tanpa sadar bisa membentuk superiority complex pada anak. Dengan lebih sadar dalam memilih kata, sikap, dan kebiasaan sehari-hari, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri sekaligus rendah hati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

7 Ide Memanfaatkan Pakaian Gak Layak Pakai, Jangan Langsung Dibuang!

11 Des 2025, 22:15 WIBLife