Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Perubahan yang Umum Terjadi setelah Anak Bersekolah, Lebih Kritis!

ilustrasi mendampingi anak belajar (pexels.com/Mikhail Nilov)

Memasuki usia sekolah dasar bisa dibilang menjadi babak baru dalam kehidupan anak. Sekalipun anak sudah melalui PAUD dan TK, perubahan dalam perilaku dan cara berpikirnya biasanya lebih terlihat setelah SD. Ini dapat disebabkan oleh pertambahan usia dan jam belajarnya di sekolah yang lebih panjang.

Sehingga semua hal yang terjadi di lingkungan sekolah lebih memengaruhinya dan terbawa ke rumah. Selepas anak bersekolah, umumnya kesulitan orangtua dalam mengasuhnya mulai berkurang. Gak seperti sebelumnya saat anak masih sukar diatur dan memerlukan pengawasan penuh sepanjang waktu.

Setiap pendidikan sebetulnya berdampak terhadap anak. Namun begitu ia menjadi murid kelas 1 SD, jangan kaget dengan enam perubahan ini. Ada perubahan yang membuatmu lega sebagai orangtua. Akan tetapi, ada pula perbedaan yang menuntutmu agar lebih bersabar sekaligus bijaksana dalam menghadapi anak. Tandai mana saja perubahan yang mulai tampak pada buah hatimu.

1. Jam tidurnya lebih teratur, termasuk anak mau tidur siang

ilustrasi anak tidur (pexels.com/Artem Podrez)

Hampir semua orangtua dibuat kewalahan dalam mengatur pola tidur anak. Sebelum anak bersekolah, energinya seperti gak ada habisnya. Tidur siang umumnya tidak disukai anak-anak sekalipun mereka membutuhkan lebih banyak istirahat. Bagi orang dewasa, tidur siang menjadi kenikmatan besar.

Tapi untuk anak, tidur siang terasa sebagai belenggu atas keinginannya terus bermain. Masalah yang dihadapi orangtua selanjutnya pun sama. Kalau anak tak tidur siang, malamnya ia rewel sekali karena kelelahan. Namun seiring dengan masa sekolah, kamu akan melihat perubahan drastis pada anak.

Di minggu pertama anak bersekolah, orangtua memang masih harus berjuang membiasakan anak dengan jam tidur. Jangan sampai ia tidur terlalu malam dan keesokannya sulit dibangunkan. Tapi setelah masuk minggu kedua biasanya anak otomatis tidur siang serta malamnya paling lambat jam 22.00 sudah pulas. Ini lantaran bersekolah lumayan menyedot energinya.

2. Agak stres oleh pelajaran, khususnya matematika

ilustrasi belajar perkalian (pexels.com/Keira Burton)

Banyak pelajaran di sekolah dasar asing bagi anak. Pelajaran yang cukup dikenal anak barangkali hanya seni karena diajarkan di taman kanak-kanak dan PAUD, seperti seni lukis dan bernyanyi. Tapi pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam apalagi matematika umumnya terasa sulit. Anak gak kunjung memahami perhitungan yang paling sederhana sekalipun.

Belajar di sekolah saja belum cukup untuknya bisa mengerti penjumlahan dan pengurangan. Kamu perlu mengajarinya dengan tekun di rumah. Namun, saking susahnya untuk anak tak jarang ia malah menangis ketika belajar. Orangtua perlu latihan mengajari anak dengan lebih rileks.

Seperti dengan teknik permainan. Jika kamu dan pasangan juga gak menguasai cara mengajar matematika yang mudah dipahami anak, lebih baik mengundang guru les yang sesuai dengan usianya. Daripada anak sudah stres kesulitan belajar matematika di sekolah, masih pula di rumah baik ia maupun orangtua sama kesalnya.

3. Sering bercerita atau berpendapat diawali, "Kata Bu Guru ..."

ilustrasi ibu dan putrinya (pexels.com/Gustavo Fring)

Bu Guru atau Pak Guru mendadak sering mewarnai obrolan anak denganmu. Di segala topik, anak sering secara otomatis mengingat hal-hal yang disampaikan oleh pengajarnya di sekolah. Kadang ia hanya menceritakan ulang apa-apa yang tadi dikisahkan gurunya.

Namun, jangan kaget apabila anak juga sering menegur orangtua dengan senjata nasihat gurunya. Misalnya, gurunya selalu menasihati supaya murid membuang sampah pada tempatnya lengkap dengan alasan-alasannya. Begitu anak melihatmu atau pasangan membuang sampah sembarangan, langsung deh kalian diceramahi oleh anak. 

Menghadapi nama guru selalu disebut-sebut baik dalam cerita maupun pendapat anak tentang segala hal, lihatlah sisi positifnya. Yaitu, anak memperhatikan betul setiap perkataan gurunya. Inilah pentingnya menyelaraskan pendidikan yang diterima anak di sekolah dengan di rumah. Usahakan gak ada perbedaan besar biar anak tidak bingung tentang siapa yang benar serta patut diikuti.

4. Lebih serius dan ketertarikannya pada permainan berkurang

ilustrasi serius belajar (pexels.com/Gustavo Fring)

Ketika anak masih TK apalagi lebih kecil, dia terlihat sangat ceria bahkan boleh jadi usil pada siapa saja. Akan tetapi, masa sekolah membuatnya lebih serius. Dia menjadi lebih pendiam dan raut wajahnya tampak berpikir. Orangtua tidak perlu terlalu khawatir dengan perubahan ini.

Pendidikan di sekolah dasar memang menuntutnya untuk lebih memperhatikan pelajaran dan menjaga sikap di depan guru. Ini memengaruhi sikapnya dalam keseharian. Anak mulai belajar menjadi pengamat, memikirkan segalanya perlahan-lahan, dan tidak merespons apa pun dengan tergesa-gesa.

Bila sebelum ia bersekolah begitu banyak waktunya diisi dengan bermain, kini juga jarang. Anak paling cuma berminat pada permainan di hari libur. Tapi hal ini dipengaruhi pula oleh sikap orangtua. Kalau kamu tak menerapkan jam belajar di rumah, anak bakal tetap lebih suka bermain dan gak memedulikan PR apalagi buku pelajaran yang mestinya dibaca sedikit demi sedikit.

5. Protes tentang uang jajan dan siapa yang mengantar jemput

ilustrasi ibu dan putranya (pexels.com/Kampus Production)

Anak mulai bersekolah berarti orangtua kudu siap menghadapi sikap kritisnya. Pertambahan pengetahuan otomatis membuatnya ingin bertanya ini itu. Bukan sekadar untuk mencari tahu suatu informasi melainkan memprotes hal-hal yang menurut anak gak tepat. Terlebih dengan adanya pembanding yaitu teman-temannya.

Anak umumnya ingin mendapatkan segala hal seperti yang diperoleh kawan-kawannya. Temannya dikasih uang saku yang lebih besar, anak pun protes kenapa uang jajannya sedikit? Lalu ia mulai menyebutkan jumlah uang saku si A, B, C, dan seterusnya. Begitu pula terkait siapa yang mengantar dan menjemputnya.

Apabila kebanyakan kawan diantar oleh ayah, anak pun gak mau lagi diantar oleh ibu. Persoalan ini bisa gak simpel apabila ayah harus bekerja di luar kota, sudah meninggal dunia, atau kalian bercerai dan mantan punya keluarga baru atau tempat tinggalnya jauh. Kamu harus sabar memberi pengertian pada anak tentang perbedaan kondisi antara keluarga kalian dengan keluarga kawan-kawannya.

6. Penasaran dengan keluarga teman-temannya

ilustrasi anak bertanya (pexels.com/Artem Podrez)

Meski rasa penasaran ini baru terlihat jelas sekarang, bukan artinya sebelum anak SD gak punya teman. Dari dulu pun ia berkawan dengan anak-anak tetangga. Namun, dekatnya rumah kalian membuat anak tak penasaran lagi dengan keluarga teman. Ia bisa setiap hari melihat kedua orangtua serta saudara-saudara mereka.

Pun di usia yang lebih kecil, perhatian anak lebih tertuju ke diri sendiri. Makin dia besar, perhatiannya mulai terbagi ke lingkungannya. Ia memedulikan teman-temannya sehingga penting baginya mengetahui pekerjaan orangtua mereka, jumlah saudara, dan sebagainya. 

Contohnya, anak ingin tahu kenapa ayah salah satu temannya jarang sekali pulang ke rumah. Katanya, karena ayahnya bekerja di kapal. Apa hubungannya bekerja di kapal dengan jarang pulang? Jangan sembarangan menjawab, misalnya itu karena ayah temannya kurang sayang pada anak. Dirimu harus tahu seperti apa pengaturan pekerja di kapal, perjalanan mereka, dan kapan mereka bisa libur serta pulang.

Enam perubahan di atas sebetulnya bagus sebab menandakan perkembangan dalam kemampuan berpikir anak. Juga mulai terbentuknya kedisplinan sehingga ia dapat tidur sesuai jamnya. Tapi jika orangtua malah memandangnya secara negatif seperti anak tambah cerewet karena sering bertanya dan memprotes, ia bisa mengalami kemunduran. Anak menjadi takut dan malas berbicara di rumah. Sikapi dengan bijak setiap perubahan ini, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Marliana Kuswanti
EditorMarliana Kuswanti
Follow Us