Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang anak sedang becermin (pexels.com/Anna Bondarenko)
ilustrasi seorang anak sedang becermin (pexels.com/Anna Bondarenko)

Selama masa pertumbuhan, anak-anak mengembangkan kepribadiannya dengan cara mengamati, mendengar, dan merasakan hal-hal di sekitar mereka. Ketika anak tumbuh menjadi seorang narsistik, bisa jadi penyebabnya adalah pola asuh yang terjadi antara orangtua dan anak.

Dikutip Cleveland Clinic, narsistik adalah kondisi kesehatan mental yang memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain. Kondisi ini ditandai dengan individu yang merasa memiliki hak istimewa, memandang dirinya lebih unggul dari orang lain, kurang empati, sering merasa iri, serta haus akan pujian.

Dikutip USA Today, pakar kesehatan mental mengungkapkan, kepribadian narsistik dapat tumbuh sejak masa kanak-kanak. Bahkan, orangtua yang sebenarnya tidak ingin anaknya menjadi narsistik pun secara tidak sengaja dapat mengubah anak mereka menjadi narsis apabila menerapkan gaya pengasuhan yang tidak tepat.

Lantas, pola asuh seperti apa yang bisa membuat anak menjadi seorang narsistik? Yuk, simak penjelasan lebih lengkap melalui artikel ini!

1.Memanjakan anak secara berlebihan

ilustrasi memberi hadiah untuk anak (pexels.com/Yan Krukau)

Bukan rahasia lagi bahwa anak-anak yang dimanja secara berlebihan oleh orangtuanya akan tumbuh menjadi pribadi yang cenderung mementingkan diri sendiri. Dilansir CNBC, Dr. Ramani Durvasula, selaku psikolog klinis, menyebut bila banyak orangtua yang memberitahu anak-anak mereka bahwa mereka adalah anak paling istimewa dan pantas mendapatkan segalanya. Padahal, tindakan tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan.

Anak-anak yang dimanja atau diberi tahu bahwa semua yang mereka lakukan dan rasakan adalah sah, akan mengembangkan sifat narsisme dalam dirinya. Di samping itu, ketika kamu membiarkan anak melampiaskan kemarahan tanpa memberi konsekuensi yang sehat dan tidak pernah mengajari mereka cara mengendalikan emosi, juga dapat membuka jalan menuju sifat narsisme.

2.Menganggap anak kamu lebih istimewa dibandingkan anak-anak yang lain

ilustrasi memeluk anak (pexels.com/Gustavo Fring)

Masih berkaitan dengan poin sebelumnya. Menganggap anak kamu lebih istimewa dibandingkan anak-anak lain juga termasuk ke dalam pola asuh memanjakan anak secara berlebihan dan ini bisa memicu sifat narsistik berkembang.

“Anak-anak percaya ketika orangtua mereka mengatakan bahwa mereka lebih istimewa dibandingkan anak lainnya, itu mungkin akan berdampak buruk bagi mereka dan masyarakat sekitar,” ujar Brad Bushman, profesor komunikasi dan psikologi di Ohio State University, dikutip Asia One.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan harga diri yang tinggi. Di mana, seorang anak dengan harga diri tinggi tidak menganggap dirinya istimewa dari orang lain.

Dikutip laman yang sama, seorang peneliti pascadoktoral di Universitas Amsterdam di Belanda, Eddie Brummelman, menambahkan, orangtua mungkin bermaksud baik dengan memberitahu anak kalau mereka sangat istimewa di mata orangtuanya. Akan tetapi, perlu dicatat bila menerapkan pola asuh seperti ini juga bisa menumbuhkan narsisme, alih-alih harga diri yang tinggi.

3.Tidak memberi perhatian yang tulus kepada anak

ilustrasi seorang anak diabaikan oleh orangtuanya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Di samping memanjakan anak secara berlebihan, tidak memberi perhatian yang tulus kepada anak juga dapat memicu seorang anak memiliki kepribadian narsistik. Anak yang tumbuh dalam keluarga dan gaya pengasuhan ini tidak akan memebuat mereka merasa aman dan cenderung memiliki harga diri rendah.

“Orangtua yang tidak meluangkan waktu untuk anak-anaknya, tidak hadir di saat-saat penting anak-anaknya, dapat membuat anak menjadi kurang kasih sayang dan mendambakan kebutuhan akan superioritas. Untuk itu, penting bagi kita sebagai orangtua mencoba terlibat dan hadir semaksimal mungkin bersama anak-anak kita,” terang Catherine Del Toro, konselor kesehatan mental, dilansir USA Today.

4.Tidak memperkenalkan emosi kepada anak

ilustrasi anak remaja bersedih (pexels.com/cottonbro studio)

Seperti yang kita ketahui, anak-anak merupakan sosok peniru yang ulung. Artinya, mereka selalu memperhatikan dan mempelajari berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.

Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan keluarga, di mana perasaannya tidak pernah diakui, maka anak akan belajar bahwa mengakui atau menghargai perasaan dan kebutuhan orang lain tidaklah diperlukan. Keluarga merupakan ruang lingkup terkecil dalam masyarakat dan tempat paling dekat bagi anak-anak untuk belajar banyak hal.

Jika dari orangtua sendiri tidak mampu membimbing anak ke arah yang benar, seperti memperkenalkan kecerdasan emosional, maka bukan tidak mungkin anak akan berkembang menjadi pribadi narsistik. Menurut Isabel, mengajarkan anak tentang kecerdasan emosional (EQ), khususnya empati merupakan hal yang sangat penting.

Langkah tersebut juga dapat dimulai dengan cara membantu mengenali apa yang mereka rasakan, seperti marah, sedih, cemas, takut, dan bahagia. Sebab, belajar kecerdasan emosional akan memudahkan anak mengekspresikan perasaannya serta mamahami perasaan orang lain.

5.Enggan memvalidasi perasaan anak

ilustrasi anak dimarahi orangtuanya (pexels.com/Monstera Production)

Menurut Isabel, orangtua yang enggan memvalidasi emosi anak sama saja dengan mengajari mereka bahwa apa yang mereka rasakan tidaklah benar. Pola asuh seperti ini menyebabkan anak sulit mengatur perilakunya, sehingga masalah emosional dapat muncul saat mereka dewasa.

Dikutip CNBC, sebuah studi mengungkapkan bahwa rasa malu, rasa tidak aman, dan ketakutan adalah akar dari sifat seorang narsistik. Sudah semestinya sebagai orangtua, kamu harus membantu anak kamu mengakui perasaannya. Jangan mempermalukan anak karena perilaku buruknya, tetapi berusahalah untuk menenangkan, mengakui perasaan, dan memberi pengertian kepada anak.

“Memvalidasi emosi berarti memberitahu anak-anak bahwa apa yang mereka rasakan adalah wajar,” kata Isabel.

“Ini bukan berarti kamu setuju atau tidak setuju dengan respons emosional mereka, melainkan kamu hanya memberitahu bahwa perasaan mereka dapat diterima,” imbuhnya.

6.Cenderung mengabaikan perilaku narsistik anak

ilustrasi dua anak berteriak (pexels.com/RDNE Stock project)

Terakhir, mengabaikan perilaku narsistik anak juga termasuk salah satu gaya pengasuhan yang menyebabkan anak memiliki kepribadian narsis. Jika suatu hari kamu mendapati anak kamu tantrum di tempat umum lantaran tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, jangan biarkan hal itu terjadi.

Sebaiknya, bantu anak mengatasi emosi yang sulit tersebut dengan bertanya, ‘Apa yang telah terjadi?’, ‘Bagaimana perasaanmu?’, dan ‘Menurutmu bagaimana reaksi orang-orang saat melihatmu seperti ini?’. Alih-alih menerima disfungsi emosional, Isabel menyarankan agar orangtua membantu anak mempraktikkan pengendalian emosi demi membangun EQ mereka.

Sebagai orangtua sudah menjadi tugas dan tanggung jawab untuk membesarkan sekaligus mendidik anak agar menjadi pribadi yang baik, rendah hati, dan mempunyai harga diri yang tinggi. Meskipun tidak mudah, namun penting untuk tetap berusaha agar anak tidak tumbuh menjadi seorang narsistik.

Jika kamu merasa telah menerapkan gaya pengasuhan seperti di atas, mulai sekarang hentikan dan ubah gaya pengasuhanmu menjadi lebih positif. Catat dan praktikkan!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team