Apa Itu Overstimulasi pada Anak? Kenali 5 Fakta Pentingnya!

- Anak mengalami overstimulasi akibat terlalu banyak rangsangan dari lingkungan sekitarnya, seperti suara, cahaya, dan interaksi sosial.
- Tanda-tanda overstimulasi pada anak meliputi menangis, tantrum, perilaku moody, sulit fokus, atau menarik diri dari lingkungan sosial.
- Orangtua perlu mengenali pemicu overstimulasi, memberikan waktu istirahat yang cukup, menciptakan lingkungan tenang, dan menggunakan teknik menenangkan untuk membantu anak mengelola responsnya.
Setiap orangtua pasti pernah mengalami momen ketika anaknya tiba-tiba menangis, berteriak, atau menjadi rewel tanpa alasan yang jelas. Sering kali, hal ini bukan karena mereka sedang nakal atau mencari perhatian, melainkan karena mengalami overstimulasi atau stimulasi berlebihan.
Di era modern seperti sekarang, anak-anak terus-menerus terpapar berbagai rangsangan yang bisa menyebabkan mereka mengalami overstimulasi. Sebagai orangtua, memahami overstimulasi sangat penting agar kita dapat membantu anak mengelola emosinya dengan lebih baik. Untuk itu, mari kita kenali fakta penting tentang overstimulasi pada anak, lengkap dengan pendapat para ahli.
1. Overstimulasi terjadi ketika anak menerima terlalu banyak rangsangan

Anak-anak secara alami senang mengeksplorasi lingkungan di sekitar mereka. Namun, ketika mereka menerima terlalu banyak rangsangan, baik dari suara, cahaya, tekstur, aroma menyengat, atau bahkan interaksi sosial, sistem saraf mereka bisa kewalahan. Overstimulasi ini terjadi ketika otak anak menerima terlalu banyak informasi secara bersamaan sehingga sulit untuk diproses.
Menurut Dr. Kerri Milyko, PhD, BCBA-D, LBA, seorang analis perilaku bersertifikat, “Setiap anak memiliki batas sensoriknya masing-masing, dan batas ini dapat berubah tergantung pada kondisi fisik serta emosional mereka.” Artinya, anak yang biasanya dapat menikmati acara keluarga besar mungkin akan merasa tidak nyaman jika mereka sedang lelah atau lapar.
2. Tanda-tanda overstimulasi berbeda-beda di setiap usia

Setiap anak memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan bahwa mereka mengalami overstimulasi. Namun, beberapa tanda umum yang sering muncul meliputi:
- Bayi mungkin akan menangis, menggerakkan tangan dan kaki dengan gelisah, atau memalingkan kepala untuk menghindari rangsangan.
- Balita dan anak prasekolah bisa menunjukkan perilaku tantrum, menangis, atau bahkan menutup telinga dan mata sebagai bentuk perlindungan diri.
- Anak yang lebih besar mungkin tampak lebih moody, mudah marah, gelisah, atau mengatakan bahwa mereka merasa pusing atau lelah.
Dr. Pierrette Mimi Poinsett, seorang dokter anak, menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, overstimulasi juga bisa menyebabkan anak menarik diri dari lingkungan sosial atau tampak tidak fokus. “Beberapa anak mungkin tampak melamun atau sulit diajak berbicara ketika mereka merasa kewalahan oleh rangsangan di sekitar mereka,” katanya.
3. Overstimulasi bisa terjadi di mana saja

Banyak orangtua mengira bahwa overstimulasi hanya terjadi di tempat-tempat ramai seperti mal atau taman bermain. Padahal, overstimulasi bisa terjadi bahkan di rumah. Televisi yang menyala sepanjang hari, mainan yang berbunyi, atau bahkan jadwal harian yang terlalu padat bisa menjadi pemicu overstimulasi pada anak.
Anak yang terlalu banyak terlibat dalam aktivitas tanpa jeda untuk beristirahat cenderung lebih cepat mengalami stres. Itulah mengapa penting untuk memberikan anak waktu istirahat setelah melakukan aktivitas yang melelahkan. Membiarkan anak bermain sendiri di tempat yang tenang bisa menjadi cara yang tepat untuk membantu mereka menenangkan diri.
4. Cara mengatasi dan mencegah overstimulasi pada anak

Sebagai orangtua, kita dapat melakukan beberapa cara untuk membantu anak mengatasi overstimulasi dan mencegahnya terjadi di masa mendatang:
- Kenali pemicu overstimulasi: Perhatikan situasi apa saja yang membuat anak tampak tidak nyaman dan cari cara untuk mengurangi paparan terhadap rangsangan tersebut.
- Berikan waktu istirahat yang cukup: Pastikan anak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat di antara aktivitas. Jangan jadwalkan terlalu banyak kegiatan dalam satu hari.
- Ciptakan lingkungan yang tenang: Sediakan ruang khusus di rumah sebagai tempat tenang bagi anak ketika mereka merasa kewalahan.
- Gunakan teknik menenangkan: Mengajarkan anak teknik pernapasan sederhana atau membiarkan mereka memeluk mainan favorit bisa membantu mereka merasa lebih nyaman.
- Batasi paparan layar: Terlalu banyak waktu di depan layar dapat memperburuk overstimulasi. Pastikan ada jeda waktu tanpa gadget dalam rutinitas harian anak.
Jika anak sering mengalami overstimulasi dan sulit mengatasinya, ada baiknya untuk berkonsultasi dengan dokter anak atau terapis perkembangan agar mendapatkan panduan lebih lanjut.
5. Anak dengan kondisi tertentu lebih rentan terhadap overstimulasi

Beberapa anak memiliki ambang batas sensorik yang lebih rendah dibandingkan anak lainnya. Anak dengan autisme, gangguan kecemasan, atau ADHD cenderung lebih sensitif terhadap rangsangan lingkungan dan lebih mudah mengalami overstimulasi.
Menurut Dr. Milyko, “Anak-anak dengan kebutuhan sensorik khusus mungkin akan merasa terganggu oleh hal-hal kecil yang tidak dirasakan oleh orang lain, seperti suara dengungan, cahaya lampu neon, atau tekstur pakaian yang tidak nyaman.” Karena itu, orangtua perlu lebih peka dalam mengenali pemicu overstimulasi pada anak mereka dan menghindari lingkungan yang bisa memicunya.
Sebagai orangtua, kita tidak bisa menghindari semua rangsangan di sekitar anak, tetapi bisa membantu mereka belajar mengelola respons. Yuk, lebih peka terhadap tanda-tanda overstimulasi pada anak dan berikan dukungan terbaik bagi mereka!