Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi seorang anak perempuan (Pexels.com/cottonbro studio)

Adaptasi itu skill hidup yang esensial, tapi sering kali di usia anak-anak justru terasa berat. Pindah sekolah, punya adik baru, atau masuk lingkungan baru bisa memicu stres kecil yang dampaknya panjang kalau gak ditangani dengan tepat. Sayangnya, banyak orang dewasa merespons dengan "ah, biasa aja" tanpa sadar bahwa anak juga punya dunia emosinya sendiri meski belum bisa selalu mengungkapkan dengan kata-kata.

Kalau kamu seorang kakak, pengasuh, guru muda, atau bahkan calon orang tua, memahami cara bantu anak beradaptasi dengan lebih simpel dan suportif adalah bentuk empati dan strategi jangka panjang. Ini bukan soal memanjakan, tapi tentang menciptakan ruang aman yang tetap membangun mental tahan banting. Berikut lima cara yang bisa kamu coba.

1. Mulai dari rutinitas yang konsisten

Ilustrasi seorang dua orang anak (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Rutinitas itu bukan sekadar jadwal, tapi jangkar emosional buat anak. Ketika dunia di sekitarnya berubah, rutinitas harian yang stabil—seperti waktu makan, tidur, atau belajar—jadi hal yang bisa dia pegang. Ini bantu anak merasa punya kontrol di tengah ketidakpastian.

Kamu gak perlu jadwal super ketat. Cukup tentukan beberapa momen penting yang dilakukan secara konsisten. Dengan begitu, anak akan merasa lebih tenang dan terbiasa menghadapi situasi baru tanpa kehilangan rasa aman.

2. Validasi emosi mereka, jangan dulu dikasih solusi

Ilustrasi seorang wanita dan seorang anak laki-laki (Pexels.com/Ivan Samkov)

Anak yang rewel atau terlihat 'drama' belum tentu manja. Bisa jadi dia sedang overwhelmed dan gak tahu cara mengungkapkannya. Daripada buru-buru nyuruh diam atau ngasih nasihat, dengarkan dulu dan validasi rasa yang dia rasakan.

Cukup dengan kalimat seperti, “Kamu kelihatan sedih ya,” atau “Pasti rasanya aneh pindah ke tempat baru,” bisa bikin anak merasa dimengerti. Dari situ, dia jadi lebih terbuka dan perlahan belajar mengenali emosinya sendiri.

3. Libatkan mereka dalam keputusan kecil

Ilustrasi seorang anak laki-laki (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Anak juga ingin merasa punya suara, apalagi di tengah perubahan. Libatkan dia dalam keputusan-keputusan sederhana seperti memilih baju untuk hari pertama sekolah, memilih menu makan, atau menata ulang kamarnya.

Hal kecil ini bisa memberi sense of control yang penting buat anak. Ketika dia merasa diajak berproses, bukan hanya ‘diikutkan’, proses adaptasi jadi lebih alami dan minim perlawanan emosional.

4. Jangan terlalu cepat membandingkan

Ilustrasi seorang ibu dan anak perempuan (Pexels.com/Ron Lach)

Salah satu kesalahan yang sering terjadi: membandingkan si kecil dengan anak lain. “Lihat tuh, kakakmu dulu biasa aja pas pindah sekolah.” Padahal, tiap anak punya sensitivitas dan tempo adaptasi yang beda-beda.

Membandingkan justru bisa membuat anak merasa gak cukup baik atau terpaksa menekan emosinya agar dianggap 'kuat'. Dampaknya? Adaptasi yang terlihat cepat tapi gak sehat secara emosional. Biarkan anak tumbuh dengan gayanya sendiri, yang penting adalah progres, bukan perbandingan.

5. Berikan contoh lewat sikap, bukan ceramah

Ilustrasi keluarga (Pexels.com/Anna Shvets)

Anak lebih peka terhadap gesture dibanding kata-kata. Jadi, kalau kamu ingin anak belajar beradaptasi, tunjukkan bahwa kamu juga bisa fleksibel, tenang, dan sabar dalam menghadapi hal baru. Jangan harap anak tenang kalau kamu sendiri panik duluan.

Perubahan bisa terasa netral atau menakutkan tergantung cara kamu menyikapinya. Sikapmu sebagai figur dewasa akan direkam oleh anak sebagai referensi cara menghadapi dunia. Jadi, jadikan dirimu contoh nyata, bukan cuma penceramah yang gak konsisten.

Bantu anak beradaptasi bukan soal mempermudah hidup mereka, tapi memampukan mereka menghadapi dunia dengan rasa aman dan percaya diri. Anak gak butuh lingkungan yang selalu sempurna, mereka butuh kehadiran orang dewasa yang bisa diandalkan saat dunianya berubah. Kadang, satu sikap tenang dan suportif dari kamu jauh lebih berdampak dibanding sejuta kata penyemangat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team