Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi keluarga bahagia. (Pexels.com/Pavel Danilyuk)
Ilustrasi keluarga bahagia. (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Intinya sih...

  • Demografi responden IDN Times berhasil menghimpun 128 responden selama Mei-Agustus yang didominasi oleh perempuan (60,9 persen) dan laki-laki menduduki posisi kedua (39,1 persen).

  • Mayoritas responden dalam survei ini menilai bahwa pola asuh orangtua mereka berpengaruh cukup besar terhadap cara mereka ingin membesarkan anak.

  • Lebih dari setengah responden survei ini merupakan lulusan S1 (71,9 persen), lalu ada lulusan SMA/Sederajat (12,5 persen), S2 (11,7 persen), dan Diploma (3,9 persen).

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Generasi milenial dan Z mulai memasuki fase baru, yaitu menjadi orangtua. Berbeda dari era sebelumnya, mereka yang disebut generasi digital ini, sudah terpapar akses informasi yang luas dan pengaruh media sosial yang kuat. Apa yang mereka dapatkan selama ini, akhirnya membentuk cara pandang baru bagi generasi Z dan milenial dalam membesarkan anak.

Tumbuh dengan pola parenting yang berbeda, menciptakan tantangan baru tentang bagaimana cara mendidik anak di era yang serba dinamis ini. Terlebih, masih banyak kasus tentang kekerasan pada anak yang menyisakan luka traumatis. Padahal, pengalaman masa kecil bisa memengaruhi pilihan seseorang ketika dewasa.

"Pengalaman itu meninggalkan luka dan saya tidak ingin mewariskan pola yang sama. Saya ingin rumah menjadi tempat aman. Saya ingin anak saya tumbuh dengan percaya diri, tahu bahwa suaranya berharga, dan merasa tetap dicintai bahkan saat dia berbuat salah," kata RR, milenial asal Pulau Jawa tentang pengalamannya mendapatkan pola asuh otoriter.

Ada yang percaya pola asuh lama tetap layak diwariskan. Namun, ada pula yang tidak ingin mengulang pola yang sama sehingga memilih menghadirkan parenting baru yang lebih humanis pada anak.

Lantas, bagaimana dengan gen Z dan milenial, apakah mereka tetap mengikuti pola parenting orangtuanya atau justru menciptakan cara baru dalam mendidik anak? IDN Times berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan survei selama Mei-Agustus 2025. Beragam pandangan dari 128 responden diutarakan dalam artikel ini.

1. Demografi responden

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

IDN Times berhasil menghimpun 128 responden selama Mei-Agustus yang didominasi oleh perempuan (60,9 persen) dan laki-laki menduduki posisi kedua (39,1 persen). Mayoritas responden yang berpartisipasi dalam survei IDN Times berdomisili di Pulau Jawa (88,3 persen), disusul oleh Pulau Sumatera (5,9 persen), dan posisi ketiga dari Kalimantan 2,5 persen).

Survei ini mayoritas diisi oleh milenial kelahiran 1981-1996 sebanyak 85,2 persen, sedangkan generasi Z kelahiran 1997-2012 sebanyak 14,8 persen. Lalu, mayoritas responden (96,9 persen) sudah menikah dan punya anak, sedangkan 3,1 persen sisanya sudah memiliki anak namun cerai hidup. Kebanyakan responden memiliki anak yang masih berusia 0-5 tahun (58,6 persen), lalu 6-12 tahun (38,3 persen), dan 13-18 tahun (2,3 persen). 

Lebih dari setengah responden survei ini merupakan lulusan S1 (71,9 persen), lalu ada lulusan SMA/Sederajat (12,5 persen), S2 (11,7 persen), dan Diploma (3,9 persen). Mayoritas responden juga setuju bahwa latar pendidikan orangtua berpengaruh terhadap pola parenting (84,4 persen).

2. Preferensi dan pandangan gen Z serta milenial terkait penerapan pola parenting pada anak

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Mayoritas responden dalam survei ini menilai bahwa pola asuh orangtua mereka berpengaruh cukup besar terhadap cara mereka ingin membesarkan anak. Sebanyak 50 persen menyatakan pengaruhnya sangat besar, disusul 36,7 persen yang merasa cukup berpengaruh. Hanya sebagian kecil responden yang menganggap pengaruh tersebut sedikit saja (10 persen) atau bahkan tidak ada sama sekali (2,3 persen). Artinya, pengalaman masa kecil masih menjadi faktor penting yang membentuk preferensi gen Z dan milenial dalam pola pengasuhan.

Hasil survei tersebut selaras juga dengan yang disebutkan oleh psikolog klinis Canina Yustisia Dwi Lestari, M.Psi, Psikolog, "Sepengalaman saya menangani pasien atau menampung cerita klien, tentu pola asuh yang mereka (gen Z maupun milenial) alami tentu akan berpengaruh ketika mereka menjadi orangtua. Walaupun gak 100 persen diterapkan, mereka pasti akan mempelajari pengalaman mereka sebagai anak."

Tokoh psikologi Diana Baumrind dalam buku Life Span Development edisi ke-13 karya John Santrock, memandang prinsip pola asuh adalah parenting control yang akhirnya terbagi menjadi beberapa jenis parenting

Ketika diminta menggambarkan pola asuh tradisional, lebih dari separuh responden (57,8 persen) menyebutnya identik dengan gaya authoritarian parenting, yaitu pola yang menekankan ketaatan, hukuman, dan pembatasan pada anak. Menurut Diana, gaya pengasuhan ini restriktif dan menghukum. Orangtua cenderung mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan hal ini berkaitan dengan inkompetensi sosial anak.

Sebagian lain melihatnya lebih dekat ke authoritative parenting (22,7 persen), yakni pola yang memberi kebebasan namun tetap dengan batasan. Hal ini menunjukkan bahwa generasi sekarang umumnya menilai pola lama lebih keras dan menuntut kepatuhan, meski masih ada yang mengakui sisi positifnya dalam membentuk karakter anak.

"Kamu harus tahu seharusnya kamu tidak melakukan itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu dapat menangani situasi ini dengan lebih baik lain kali," kalimat ini dicontoh Diana Baumrind untuk menunjukkan authoritative parenting

Anak-anak yang orangtuanya otoritatif sering kali ceria, memiliki pengendalian diri dan percaya diri, serta berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung menjaga hubungan baik dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik.

Berbeda dengan pandangan tentang pola lama, preferensi terhadap pola pengasuhan modern cenderung bergeser ke arah yang lebih hangat dan suportif. Hampir separuh responden (43,8 persen) memilih attachment parenting, yaitu fokus membangun bonding emosional dengan anak. Selain itu, 27,3 persen lebih condong pada authoritative parenting, sementara 26,6 persen mendukung free-range parenting yang memberi anak kebebasan eksplorasi dengan tetap ada tanggung jawab.

Sangat sedikit yang masih menganggap authoritarian parenting relevan di era sekarang (1,6 persen). Pergeseran ini menegaskan bahwa Gen Z dan milenial lebih mengedepankan komunikasi, kepercayaan, dan kesejahteraan emosional anak dibanding sekadar ketaatan.

Meski begitu, pengaruh lingkungan terdekat tetap besar dalam membentuk pola asuh mereka. Orangtua atau mertua menjadi faktor utama (39,1 persen), diikuti oleh buku atau pendidikan formal (27,3 persen), serta media sosial (18 persen). Jika ditarik lebih jauh, pengalaman pribadi juga membentuk pola pikir baru: mayoritas responden merasa dibesarkan dengan gaya authoritative (39,8 persen), namun ada pula yang mengalami pola authoritarian (22,7 persen). Kini, hampir semua responden (99,2 persen) sepakat lebih memilih berdialog ketika anak membantah daripada langsung menghukum dan 100 persen menilai regulasi emosi serta kesempatan anak untuk berpendapat adalah hal yang sangat penting.

3. Mayoritas responden memilih mengombinasikan pola asuh dari orangtua dengan pola baru yang mereka kembangkan sendiri

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketika ditanya terkait preferensi atau cara mereka membesarkan anak, lebih dari setengah responden (101 responden) memilih untuk mengombinasikan pola asuh lama yang diwariskan orangtua dengan pendekatan baru yang mereka kembangkan sendiri (78,9 persen). Sedangkan sisanya memilih untuk mengubah pola asuh dengan versi sendiri (14,8 persen) dan sepenuhnya mewarisi pola parenting dari orangtua yang dianggap ideal (5,5 persen).

Dari 128 responden, 101 di antaranya menilai pola asuh tradisional masih menyimpan nilai penting, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan modern. Sebanyak 63,4 persen menekankan bahwa perubahan zaman menuntut pola pengasuhan yang lebih relevan, sementara 31,7 persen ingin menciptakan hubungan yang lebih setara dengan anak. Hanya sebagian kecil yang tetap berpegang sepenuhnya pada pola lama tanpa modifikasi.

"Menurutku, orangtuaku dulu menanamkan nilai kebaikan yang bisa aku terapkan kepada anak-anakku. Namun, ada beberapa pola asuh zaman dulu yang kurang cocok (dan harus dikembangkan)," ucap salah satu responden berinisial WS (31).

Dalam praktiknya, mayoritas orangtua yang mengadopsi pola kombinasi lebih memilih membuka ruang diskusi dengan anak saat terjadi perbedaan pendapat (82,2 persen). Sisanya memilih kompromi (14,9 persen), tetap berpegang pada aturan (2 persen), atau tegas tanpa negosiasi (1 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa komunikasi dua arah kini menjadi fondasi utama dalam pola asuh modern sekaligus mencerminkan pergeseran dari pendekatan otoriter menuju pola yang lebih demokratis.

Canina juga mengatakan bahwa pola parenting kombinasi ini muncul karena generasi muda pernah merasakan menjadi anak. Jadi, mereka bisa mengetahui mana yang nyaman/berdampak positif untuk diteruskan kepada anak jika dilihat dari sudut pandang anak.

Lebih lanjut, Canina juga menjelaskan, "Lalu, ketika dua generasi itu menjadi orangtua, mereka menerapkan juga pendekatan baru supaya lebih disempurnakan. Jadi, dari pola pengasuhan orangtua diambil positifnya aja. Terlebih, sekarang juga pola pengasuhan modern jauh lebih mudah didapatkan di media sosial."

Nilai-nilai penting dari pola lama tetap dipertahankan, seperti sopan santun (84,2 persen), kemandirian sejak dini (64,4 persen), disiplin (50,5 persen), hingga tanggung jawab terhadap keluarga (54,5 persen). Namun, aspek yang paling sedikit dipilih adalah rasa hormat terhadap otoritas, yang menandakan generasi orangtua saat ini tidak ingin hubungan dengan anak terjebak dalam hierarki kaku. Sebaliknya, prinsip utama yang mereka bawa ke dalam pola modern adalah komunikasi terbuka dua arah (60,4 persen) serta pemberian kebebasan dengan batasan jelas.

Selaras dengan yang disebutkan responden AHN dari Pulau Jawa, "(Nilai yang ingin dilanjutkan) Disiplin terhadap kewajiban yang kita lakukan. Selain itu, bertutur kata yang baik-baik, itu sangat penting karena ucapan merupakan do’a."

Faktor eksternal juga memainkan peran besar. Teknologi dan media sosial disebut berpengaruh signifikan dalam membentuk pola asuh baru dengan 41,6 persen responden menilai dampaknya sangat besar dan 50,5 persen cukup besar. Kehadiran platform digital tak hanya menyediakan sumber ilmu parenting, tapi juga memperkenalkan perspektif baru yang lebih adaptif terhadap kebutuhan anak zaman sekarang.

Hal ini diperkuat dengan hasil riset Indonesia Millenials and Gen Z Report (IMGR) 2025 by IDN yang melibatkan 1.500 responden. Sebanyak 78 persen ibu yang berasal dari Indonesia, kerap memanfaatkan media sosial untuk tips-tips parenting.

Kombinasi antara nilai lama yang relevan dan inovasi dari pola baru ini, menjadikan pengasuhan lebih fleksibel, humanis, sekaligus kontekstual dengan realitas modern. Meski begitu, sejumlah responden merasa, mungkin akan ada tantangan tersendiri ketika mengombinasikan pola asuh warisan orangtua dengan pendekatan sendiri. 

"Tantangannya adalah saat mencoba menggabungkan pola parenting tersebut dengan kondisi zaman sekarang yang sudah banyak berubah dan bergerak begitu cepat. Dalam hal memberi kebebasan, mungkin rasanya akan berbeda. Untuk anak-anakku nanti, aku tetap ingin menerapkan aturan, tapi kebebasan yang aku berikan akan lebih diiringi dengan ruang untuk saling terbuka dan banyak sharing," ucap responden PAR dari Pulau Jawa.

4. Lebih banyak responden memilih membentuk pola asuh baru karena pola lama dinilai perlu diganti dengan pendekatan yang lebih humanis

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Hasil lainnya dari survei ini menunjukkan bahwa semakin banyak orangtua dari generasi muda memilih untuk meninggalkan pola asuh lama dan menggantinya dengan pendekatan baru yang dianggap lebih humanis (sebanyak 19 responden). Sebanyak 73,7 persen responden menilai tantangan pengasuhan di masa kini berbeda dengan era orangtua mereka, sehingga pola lama dirasa kurang relevan. Sementara itu, 68,4 persen lainnya menekankan pentingnya menciptakan hubungan yang lebih setara dengan anak melalui dialog terbuka dan kebebasan berekspresi.

Dalam praktik sehari-hari, mayoritas responden lebih suka membuat aturan rumah tangga lewat diskusi dan kesepakatan bersama anak (63,2 persen). Sisanya memilih memberi kebebasan, namun tetap ada batasan yang jelas (36,8 persen). Hampir tidak ada yang memilih membebaskan anak sepenuhnya, menandakan bahwa meski mengutamakan demokrasi dalam keluarga, tetap ada kerangka nilai yang dijaga oleh para orangtua muda.

Prinsip-prinsip yang diutamakan dalam pola asuh modern ini mencerminkan pergeseran signifikan dari model otoriter ke arah yang lebih empatik. Komunikasi dua arah dipilih 100 persen responden sebagai pilar utama. Setelah itu, memberikan kebebasan berekspresi (68,4 persen), fokus pada kesehatan mental anak (63,2 persen), pendidikan berbasis minat anak (47,4 persen), serta tidak memaksakan standar prestasi tertentu (42,1 persen) menjadi aspek yang mereka prioritaskan. Temuan ini menunjukkan bahwa pola asuh baru bukan sekadar soal kebebasan, tetapi juga pengakuan atas kebutuhan dan suara anak.

Responden inisial ST yang masuk dalam kelompok milenial, mengatakan alasannya mengapa parenting dari warisan orangtua dirasa sudah tidak relevan, "Pola parenting yang dulu saya terima tidak sepenuhnya relevan untuk generasi anak-anak zaman sekarang. Dulu, pola asuh cenderung lebih otoriter, menekankan kepatuhan tanpa banyak ruang untuk berdiskusi atau mengekspresikan pendapat. Pendekatan seperti itu bisa membuat anak patuh, tetapi sering kali menghambat perkembangan emosional dan kemampuan berpikir kritis."

Pendapat serupa disampaikan oleh AE dari kelompok generasi milenial, "Gaya parenting di keluarga saya terlalu keras dan otoriter sehingga sudah tidak relevan dan bisa membuat anak kurang berekspresi serta percaya diri."

Teknologi dan media sosial turut berperan besar dalam membentuk cara pandang ini. Sebanyak 42,1 persen responden mengaku pengaruhnya sangat besar, dan 36,8 persen menilai cukup besar. Hanya sebagian kecil yang menganggap pengaruhnya kecil atau bahkan tidak ada. Kehadiran media digital memberi akses lebih mudah terhadap literasi parenting, forum diskusi, dan kisah pengalaman orangtua lain yang akhirnya menginspirasi lahirnya pola pengasuhan yang lebih relevan, adaptif, dan manusiawi.

5. Sedangkan sebagian kecil responden merasa ingin mewarisi pola asuh orangtua karena dinilai berhasil dan mampu membentuk karakter

ilustrasi keluarga (pexels.com/Seljan Salimova)

Meskipun mayoritas responden cenderung memilih mengombinasikan atau bahkan meninggalkan pola asuh lama, sebagian kecil tetap merasa penting untuk mewarisi gaya parenting dari orangtua mereka. Sebanyak 62,5 persen responden beranggapan bahwa pola asuh lama terbukti berhasil membentuk karakter, sementara 37,5 persen lainnya merasa pola tersebut memberikan rasa aman sekaligus menjaga nilai budaya serta tradisi keluarga. Hanya 12,5 persen yang menilai pola asuh lama masih sepenuhnya relevan diterapkan di era sekarang.

Nilai-nilai yang ingin dipertahankan oleh kelompok ini cukup jelas. Disiplin yang tegas menjadi aspek yang paling dominan dengan persentase 87,5 persen. Selain itu, tanggung jawab terhadap keluarga (75 persen) dan sikap hormat kepada orangtua serta orang yang lebih tua (75 persen) juga dianggap sangat penting untuk diwariskan. Sebagian responden juga tetap menekankan pendidikan berbasis agama (37,5 persen) serta komunikasi terbuka antara orangtua dan anak (50 persen). Meski begitu, hanya sedikit yang ingin mempertahankan peran gender tradisional dalam keluarga (12,5 persen), menandakan adanya seleksi nilai yang masih disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan anak, pola asuh lama tidak selalu identik dengan otoritarian tanpa kompromi. Separuh responden (50 persen) memilih membuka ruang diskusi dengan anak, meskipun 37,5 persen tetap berpegang pada aturan yang sudah ditetapkan. Sebagian kecil lainnya mencoba memberikan sedikit ruang kompromi (12,5 persen). Hal ini menunjukkan bahwa meski ingin melestarikan pola lama, ada usaha untuk menyeimbangkan dengan pendekatan yang lebih adaptif.

Menariknya, dalam hal nilai yang ingin diwariskan, etika dan sopan santun dipilih seratus persen responden sebagai aspek terpenting. Disusul dengan disiplin tinggi (75 persen), kemandirian sejak dini (62,5 persen), dan religiusitas (50 persen). Namun, rasa hormat terhadap otoritas hanya dipilih oleh 12,5 persen responden, memperlihatkan bahwa sekalipun pola lama dinilai berharga, generasi saat ini cenderung menolak hubungan orangtua-anak yang kaku. Bahkan, mayoritas (62,5 persen) mengakui pola parenting lama sudah tidak sepenuhnya relevan diterapkan di era modern, menandakan bahwa pewarisan nilai dilakukan secara selektif.

Salah satu responden berinisial ST dari Pulau Jawa, juga turut mengiyakan bahwa perihal kedisiplinan dan tanggung jawab menjadi poin utama dari parenting orangtua terdahulu yang ingin diteruskan. "Pengalaman yang paling ingin saya teruskan dari pola asuh orangtua saya adalah nilai kedisiplinan dan tanggung jawab. Meskipun dulu penerapannya terkesan tegas, nilai itu membentuk saya menjadi pribadi yang mandiri dan bisa diandalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional."

Responden tersebut melanjutkan, hanya saja, ia berusaha untuk menyampaikannya dengan lebih lembut dan komunikatif. Karena itu, anak bisa memahami maknanya tanpa merasa takut tertekan. Nilai-nilai di atas juga turut divalidasi responden lainnya berinisial SR dari Sumatera, "Nilai kejujuran dan tanggung jawab karena itu bekal hidup yang bikin anak bisa dipercaya orang lain dan mandiri."

6. Ada pergeseran dinamika pada pola parenting gen Z dan milenial, dari ‘anak harus patuh’ ke ‘anak harus aman dan percaya Diri’

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Hasil survei memperlihatkan adanya pergeseran besar dalam pola asuh yang dianut generasi sekarang. Jika dulu banyak orangtua menekankan anak untuk selalu patuh, kini mayoritas orangtua gen Z dan milenial lebih mengutamakan keamanan, kepercayaan diri, dan kesejahteraan emosional anak. Sebanyak 58 persen responden bahkan secara tegas tidak setuju dengan pandangan bahwa anak harus patuh tanpa perlu berdiskusi. Hampir semua responden (99,2 persen) juga lebih memilih mengajak bicara anak saat terjadi perbedaan pendapat ketimbang langsung menghukum. Temuan ini menandakan peran komunikasi terbuka semakin kuat dalam praktik parenting modern.

Menurut Canina, pergeseran dinamika ini juga sedikit banyak memengaruhi ikatan emosional antara orangtua dan anak. Dengan pola ‘anak harus aman dan percaya diri’, komunikasi antara orangtua dan anak bisa lebih terbuka dan tidak satu arah.

"Kalau berputar pada pola asuh ‘anak harus patuh’, biasanya anak menganggap orangtua sebagai sosok yang dominan dan harus disegani sehingga komunikasinya menjadi lebih kaku. Pola asuh yang lebih fokus membuat anak aman dan percaya diri, akan membuat anak menganggap orangtua sebagai sosok yang bisa menjadi support dan pelindung," lanjut Canina.

Dukungan terhadap pola asuh yang lebih humanis juga terlihat dari sikap orangtua terhadap kebutuhan emosional anak. Semua responden (100 persen) menyatakan pentingnya mengajarkan regulasi emosi sejak dini serta menganggap anak perlu diberi ruang untuk berpendapat (100 persen) maupun menentukan pilihan mereka sendiri (99,2 persen). Selain itu, orangtua zaman sekarang tidak lagi memosisikan diri sebagai otoritas mutlak (hanya 3,9 persen), melainkan sebagai pembimbing dan mitra belajar anak (96,1 persen). Pergeseran ini sejalan dengan tren positive parenting yang kian populer dan membuka ruang bagi anak untuk tumbuh dengan rasa aman.

Meski begitu, responden tidak sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai tradisional. Sekitar tiga dari lima responden masih setuju bahwa ada nilai dari pola asuh lama yang relevan diterapkan saat ini, seperti disiplin, etika, dan sopan santun. Hanya saja, nilai-nilai itu kini ditempatkan dalam kerangka yang lebih fleksibel. 

Perubahan pola ini juga dipengaruhi oleh akses informasi dan pengalaman pribadi. Banyak orangtua mempelajari ilmu parenting dari buku (32,8 persen), webinar dan jurnal (26,6 persen), hingga media sosial. Menariknya, pengalaman pribadi sebagai anak turut membentuk pandangan mereka. 72 persen yang dulunya dibesarkan dengan pola otoriter, justru kini berusaha membangun pola asuh baru yang lebih suportif atau mengombinasikannya dengan nilai lama yang masih relevan. Hal ini menunjukkan bahwa baik gen Z maupun milenial berusaha menciptakan pola parenting yang lebih setara, hangat, dan adaptif terhadap tantangan zaman modern.

7. Masih ada perdebatan klasik: tata krama vs. kenyamanan anak

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Survei ini menunjukkan masih adanya tarik ulur antara nilai tata krama tradisional dengan kebutuhan kenyamanan anak zaman sekarang. Sebanyak 56,3 persen responden masih menjunjung tinggi tata krama. Misalnya, anak wajib bersalaman, dicium, atau dipeluk oleh kerabat/orang asing. Sementara 43,8 persen lainnya lebih memilih mengedepankan kenyamanan anak dengan menghormati body boundaries.

Namun, ketika masuk pada pola disiplin, mayoritas orangtua modern tidak lagi mengandalkan hukuman fisik. Sebanyak 72,7 persen responden menilai hukuman fisik tidak penting untuk mendisiplinkan anak, dan hanya 27,3 persen yang masih menganggapnya relevan. Hal ini sejalan dengan data lain yang menunjukkan bahwa jika anak membantah, 99,2 persen orangtua memilih mengajak bicara untuk memahami alasan anak, bukan langsung menghukum.

Menariknya, meskipun orangtua ingin memberi ruang aman dan nyaman bagi anak, nilai-nilai tradisional tetap dipertahankan dalam porsi tertentu. Anak tetap diajarkan sopan santun, etika, dan disiplin. Hanya saja, cara penyampaiannya lebih lembut, dialogis, dan tidak lagi kaku seperti pada pola asuh lama.

Canina membagikan perspektifnya terkait ‘jalan tengah’ yang mungkin bisa diambil orangtua agar bisa menyeimbangkan hal tersebut. "Caranya, ketika menerapkan tata krama, berikan penjelasan yang menyenangkan dengan cara yang menyenangkan, bukan lewat marah-marah atau memaksa. Namun, bisa dengan menggunakan metode belajar yang menyenangkan seperti bermain peran, lewat cerita atau dongeng, dan sebagainya," kata dia.

Canina juga menambahkan, orangtua harus memberikan contoh yang baik kepada anak. Jadi, jangan sampai ketika sudah menyampaikan tata krama, orangtua tetap tidak bisa menjadi teladan yang baik. Lalu, jangan lupa juga bagi orangtua untuk belajar empati sehingga proses memberikan pembelajaran kepada anak tetap nyaman.

Dalam IMGR 2026, ada juga riset yang menunjukkan bahwa 60 persen orangtua millennial dan gen Z mengatakan mereka lebih menekankan pada memberi contoh perilaku daripada sekadar membuat aturan. Mereka percaya anak lebih mudah belajar dari apa yang dilihat dibanding dari instruksi semata.

8. Generasi muda melihat anak sebagai partner dalam pembelajaran, bukan objek untuk diatur sepenuhnya. Komunikasi dua arah menjadi prinsip utama

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Generasi milenial dan gen Z sebagai orangtua, semakin memandang anak sebagai partner dalam proses pembelajaran, bukan sekadar objek yang harus diatur. Data survei menunjukkan pergeseran ini cukup jelas: 96,1 persen responden menilai peran orangtua adalah pembimbing dan mitra belajar anak, bukan otoritas mutlak.

Hal ini tercermin dalam cara mereka menghadapi dinamika sehari-hari. Bahkan, 100 persen responden sepakat anak perlu diajarkan untuk meregulasi emosinya, sebuah tanda bahwa komunikasi dua arah dan pembelajaran emosional kini jadi prioritas.

Mayoritas responden juga percaya bahwa anak perlu diberi ruang untuk berpendapat (100 persen) dan diberikan pilihan (99,2 persen), yang menunjukkan bahwa orangtua ingin menciptakan hubungan yang setara dengan anak. Data tambahan memperkuat hal ini: 68,4 persen responden yang memilih pola asuh baru ingin menekankan dialog terbuka dan kebebasan berekspresi dalam hubungan dengan anak.

Canina menyampaikan pandangannya, "Pola pengasuhan pada anak harus ngobrol dua arah supaya mereka juga memahami dengan baik, bukan dengan rasa takut atau waswas. Karena jika dikasih tahu secara kasar, mereka mungkin muncul rasa penasaran dan malah melakukan hal tersebut (hal yang dilarang)."

Pola asuh modern yang dianggap ideal pun didominasi oleh gaya attachment parenting (43,8 persen) dan authoritative parenting (27,3 persen), dua pendekatan yang sama-sama menekankan kelekatan emosional, kemandirian, serta adanya batasan yang jelas namun tetap fleksibel.

Meskipun begitu, orangtua tetap menjaga nilai-nilai penting dari pola asuh lama. 84,2 persen responden masih menekankan pentingnya etika dan sopan santun, sementara 64,4 persen ingin anak mandiri sejak dini, dan 50,5 persen menekankan disiplin tinggi. Bedanya, nilai-nilai ini kini diturunkan lewat pendekatan yang lebih suportif dan dialogis.

Dengan kata lain, generasi baru membangun pola pengasuhan berbasis kesetaraan, komunikasi terbuka, dan kemitraan dengan anak, sambil tetap membawa nilai moral dari pola asuh lama yang dianggap relevan.

Nilai serupa sejalan juga dengan riset IMGR 2026 by IDN. Ditemukan bahwa milenial kerap berusaha menyeimbangkan antara tuntutan tradisional dan nilai modern dalam pola asuhnya. Sedangkan gen Z menerapkan pola parenting yang lebih menumbuhkan empati dan rasa ingin tahu, bukan sekadar mengontrol. Pola asuh dipandang sebagai kemitraan sekaligus keputusan yang dijalani dengan penuh kesadaran.

9. Meski parenting lebih humanis, nilai moral dan disiplin tetap dijaga. Anak diajarkan bertanggung jawab, tetapi dalam suasana yang lebih suportif

ilustrasi orangtua bermain bersama anak (pexels.com/gustavo-fring)

Meskipun pola parenting modern cenderung lebih humanis, suportif, dan hangat, bukan berarti disiplin dan nilai moral ditinggalkan. Survei menunjukkan bahwa 4 dari 5 responden sangat setuju bahwa fondasi utama dalam membesarkan anak adalah pendidikan agama dan nilai moral, serta kedisiplinan tetap harus dipertahankan dalam parenting.

Pendekatan yang dipilih orangtua saat ini lebih menekankan pada keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Alih-alih menuntut anak untuk patuh tanpa alasan, 58 persen responden menolak ide bahwa anak harus diajarkan patuh tanpa berdiskusi. Sebaliknya, 99,2 persen orangtua lebih memilih mengajak bicara saat anak membantah, bukan memberi hukuman langsung.

Respons yang diberikan orangtua ketika anak temperamental itu, memengaruhi dirinya saat dewasa. Dalam buku Life Span Development edisi ke-13 (2010), dikatakan bahwa orangtua yang peka, menerima, tidak memberikan hukuman, dan membiarkan anak menentukan langkahnya sendiri akan menjadikan anak itu tumbuh menjadi individu yang lebih stabil secara emosional.

Meski begitu, 27,3 persen responden masih melihat hukuman fisik sebagai hal penting dalam mendisiplinkan anak, walaupun mayoritas besar (72,7 persen) menilai hal itu sudah tidak relevan. Angka ini menunjukkan adanya transisi: disiplin tetap dijaga, tetapi lewat pendekatan yang lebih rasional, komunikatif, dan mendidik.

Dalam pola pengasuhan modern yang dianggap ideal, gaya authoritative parenting (27,3 persen) mendapat posisi penting karena menekankan kemandirian anak tetapi tetap memberi batasan. Nilai-nilai lama seperti etika dan sopan santun (84,2 persen), kemandirian sejak dini (64,4 persen), serta disiplin tinggi (50,5 persen) tetap dianggap penting untuk diwariskan, meskipun dalam atmosfer yang lebih suportif dan penuh dialog.

Bahkan saat membayangkan pola parenting ideal, 78,9 persen responden memilih untuk mengombinasikan pola pengasuhan lama dengan pola baru, bukan membuang sepenuhnya. Ini menandakan bahwa generasi sekarang tetap menghargai nilai tradisi, tetapi menerjemahkannya dengan cara yang lebih adaptif sesuai tantangan zaman.

Dengan kata lain, parenting modern bukan berarti 'bebas tanpa aturan.' Justru, orangtua kini lebih sadar bahwa aturan dan disiplin harus hadir bersama rasa aman, komunikasi terbuka, dan dukungan emosional agar anak tumbuh bukan hanya patuh, tetapi juga bertanggung jawab, percaya diri, dan mandiri.

Seperti yang disebutkan salah satu responden berinisial DA (31), "Komunikasi dua arah penting banget bagiku. Pertama, biar anak ngerasa nyaman buat terbuka sama orangtuanya. Kedua, aku gak suka sama kesan orangtua yang superpower dan nganggep anak kayak gak tahu apa-apa, jadi harus selalu dengar dan nurut apa kata ortu."

Hasil serupa juga didapatkan dalam survei IMGR ketika gen Z dan milenial yang sudah jadi orangtua, ditanya perihal parenting value yang ingin mereka terapkan. Sebanyak 48 persen responden mengatakan ingin membesarkan anak-anak yang respectful dan 47 persen ingin mengajarkan nilai-nilai keagamaan. Lalu, di angka 37 persen, responden mengaku juga ingin membesarkan anak dengan empati serta emotional awareness.

10. 4 dari 5 orang setuju bahwa pola parenting perlu diubah sesuai perkembangan zaman

Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Survei yang dihimpun oleh IDN Times menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa perlu cara didik anak yang tidak harus selalu sama dengan orangtua. Kalau memang diperlukan, pola parenting bisa berubah sesuai zaman tanpa harus mengabaikan nilai-nilai moral yang masih relevan di era sekarang.

Data menyatakan bahwa 4 dari 5 orang setuju anak lebih butuh banyak diskusi daripada perintah. Sebanyak 78 dari 128 responden (58 persen) gak setuju kalau anak-anak harus diajarkan patuh tanpa perlu berdiskusi. Artinya, pendekatan orangtua ke anak seharusnya bisa lebih humanis, bukan otoriter sehingga anak bisa punya gaya pelekatan yang baik.

Mario Mikulincer and Phillip Shaver dalam buku Attachment in Adulthood: Structure, Dynamics, and Change (2007) mengatakan anak dengan secure attachment atau pelekatan yang baik, akan punya rasa penerimaan diri, harga diri, dan efikasi diri yang tinggi. Semakin dewasa, mereka punya kemampuan untuk mengendalikan emosi, optimis, dan tangguh. Individu dengan secure attachment juga lebih peka terhadap sekitar dan punya strategi koping yang efektif.

Gen Z dan milenial juga setuju bahwa kebebasan anak lebih penting dari standar keluarga. Hal ini juga berkaitan dengan pola parenting modern yang lebih aware terhadap kesehatan mental anak. Bukan tanpa alasan, sebanyak 80 persen generasi milenial dan 68 persen gen Z sama-sama yakin bahwa ada nilai dari pola pengasuhan lama yang masih relevan, tetapi dikombinasikan dengan aturan baru yang mereka buat.

Pada akhirnya, tidak ada pola parenting yang benar-benar sempurna. Generasi milenial dan Z memilih jalan tengah dengan memegang nilai lama yang relevan, tapi tetap membuka ruang bagi pendekatan baru yang lebih humanis.

Bagi mereka, menjadi orangtua bukan lagi tentang memerintah, melainkan membimbing dan mendampingi anak agar tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, serta kesehatan mental yang terjaga. Inilah wajah baru parenting di era modern lebih hangat, lebih suportif, tapi tetap berakar pada nilai moral yang kuat.

Penulis: 

Adyaning Raras Anggita Kumara

Nisa Meisa Zarawaki

Editor:

Pinka Wima

Febriyanti Revitasari

Muhammad Tarmizi Murdianto

Infografis: 

Aditya Pratama

Editorial Team