Infografis parenting gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)
Ketika ditanya terkait preferensi atau cara mereka membesarkan anak, lebih dari setengah responden (101 responden) memilih untuk mengombinasikan pola asuh lama yang diwariskan orangtua dengan pendekatan baru yang mereka kembangkan sendiri (78,9 persen). Sedangkan sisanya memilih untuk mengubah pola asuh dengan versi sendiri (14,8 persen) dan sepenuhnya mewarisi pola parenting dari orangtua yang dianggap ideal (5,5 persen).
Dari 128 responden, 101 di antaranya menilai pola asuh tradisional masih menyimpan nilai penting, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan modern. Sebanyak 63,4 persen menekankan bahwa perubahan zaman menuntut pola pengasuhan yang lebih relevan, sementara 31,7 persen ingin menciptakan hubungan yang lebih setara dengan anak. Hanya sebagian kecil yang tetap berpegang sepenuhnya pada pola lama tanpa modifikasi.
"Menurutku, orangtuaku dulu menanamkan nilai kebaikan yang bisa aku terapkan kepada anak-anakku. Namun, ada beberapa pola asuh zaman dulu yang kurang cocok (dan harus dikembangkan)," ucap salah satu responden berinisial WS (31).
Dalam praktiknya, mayoritas orangtua yang mengadopsi pola kombinasi lebih memilih membuka ruang diskusi dengan anak saat terjadi perbedaan pendapat (82,2 persen). Sisanya memilih kompromi (14,9 persen), tetap berpegang pada aturan (2 persen), atau tegas tanpa negosiasi (1 persen). Temuan ini menunjukkan bahwa komunikasi dua arah kini menjadi fondasi utama dalam pola asuh modern sekaligus mencerminkan pergeseran dari pendekatan otoriter menuju pola yang lebih demokratis.
Canina juga mengatakan bahwa pola parenting kombinasi ini muncul karena generasi muda pernah merasakan menjadi anak. Jadi, mereka bisa mengetahui mana yang nyaman/berdampak positif untuk diteruskan kepada anak jika dilihat dari sudut pandang anak.
Lebih lanjut, Canina juga menjelaskan, "Lalu, ketika dua generasi itu menjadi orangtua, mereka menerapkan juga pendekatan baru supaya lebih disempurnakan. Jadi, dari pola pengasuhan orangtua diambil positifnya aja. Terlebih, sekarang juga pola pengasuhan modern jauh lebih mudah didapatkan di media sosial."
Nilai-nilai penting dari pola lama tetap dipertahankan, seperti sopan santun (84,2 persen), kemandirian sejak dini (64,4 persen), disiplin (50,5 persen), hingga tanggung jawab terhadap keluarga (54,5 persen). Namun, aspek yang paling sedikit dipilih adalah rasa hormat terhadap otoritas, yang menandakan generasi orangtua saat ini tidak ingin hubungan dengan anak terjebak dalam hierarki kaku. Sebaliknya, prinsip utama yang mereka bawa ke dalam pola modern adalah komunikasi terbuka dua arah (60,4 persen) serta pemberian kebebasan dengan batasan jelas.
Selaras dengan yang disebutkan responden AHN dari Pulau Jawa, "(Nilai yang ingin dilanjutkan) Disiplin terhadap kewajiban yang kita lakukan. Selain itu, bertutur kata yang baik-baik, itu sangat penting karena ucapan merupakan do’a."
Faktor eksternal juga memainkan peran besar. Teknologi dan media sosial disebut berpengaruh signifikan dalam membentuk pola asuh baru dengan 41,6 persen responden menilai dampaknya sangat besar dan 50,5 persen cukup besar. Kehadiran platform digital tak hanya menyediakan sumber ilmu parenting, tapi juga memperkenalkan perspektif baru yang lebih adaptif terhadap kebutuhan anak zaman sekarang.
Hal ini diperkuat dengan hasil riset Indonesia Millenials and Gen Z Report (IMGR) 2025 by IDN yang melibatkan 1.500 responden. Sebanyak 78 persen ibu yang berasal dari Indonesia, kerap memanfaatkan media sosial untuk tips-tips parenting.
Kombinasi antara nilai lama yang relevan dan inovasi dari pola baru ini, menjadikan pengasuhan lebih fleksibel, humanis, sekaligus kontekstual dengan realitas modern. Meski begitu, sejumlah responden merasa, mungkin akan ada tantangan tersendiri ketika mengombinasikan pola asuh warisan orangtua dengan pendekatan sendiri.
"Tantangannya adalah saat mencoba menggabungkan pola parenting tersebut dengan kondisi zaman sekarang yang sudah banyak berubah dan bergerak begitu cepat. Dalam hal memberi kebebasan, mungkin rasanya akan berbeda. Untuk anak-anakku nanti, aku tetap ingin menerapkan aturan, tapi kebebasan yang aku berikan akan lebih diiringi dengan ruang untuk saling terbuka dan banyak sharing," ucap responden PAR dari Pulau Jawa.