Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi parenting (pexels.com/Brett Sayles)
ilustrasi parenting (pexels.com/Brett Sayles)

Gentle parenting kerap dipuji sebagai pendekatan pengasuhan yang penuh empati, sabar, dan menghargai emosi anak. Namun, di balik popularitasnya di media sosial, tidak sedikit orangtua yang merasa kesulitan menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Lalu, apa sebenarnya yang membuat pendekatan ini terasa menantang bagi sebagian orangtua? Yuk, Simak penjelasannya lewat artikel berikut!

1. Tekanan sosial media membuat orangtua merasa tidak cukup baik

ilustrasi anak bermain (pexels.com/nicolabarts)

Di era digital, media sosial menjadi ladang subur bagi penyebaran tren parenting, termasuk gentle parenting. Dilansir Parents, Lauren O’Carroll, pelatih parenting spesialis ADHD, menjelaskan bahwa tren gentle parenting ini dipengaruhi oleh perubahan nilai dalam masyarakat.

Namun, alih-alih menjadi sumber inspirasi, konten-konten ini sering menimbulkan tekanan karena menampilkan standar pengasuhan yang nyaris sempurna. Ekspektasi tinggi dari pendekatan ini justru bisa membuat orangtua kehilangan koneksi dengan intuisi dan kondisi nyata yang mereka hadapi.

“Filosofi gentle parenting lebih banyak berkembang di media sosial tanpa dukungan ilmiah. Definisinya yang kabur membuatnya sulit dievaluasi," ujar Emily Oster, ekonom yang beralih menjadi pakar pengasuhan, dilansir NBC News.

2. Budaya dan pola asuh lama menjadi tantangan

ilustrasi anak bermain tablet di samping ayahnya (pexels.com/rdne)

Bagi sebagian orangtua, khususnya yang berasal dari budaya tertentu, gentle parenting bisa terasa bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak kecil. Dalam budaya yang menjunjung tinggi kepatuhan dan hormat mutlak kepada orangtua, memberi anak ruang untuk mengekspresikan diri kerap dianggap kurang disiplin. Tak heran jika perubahan pendekatan ini memicu kebingungan dan konflik batin.

"Menurut saya, banyak orangtua mulai kehilangan pegangan utama dalam mengasuh anak, yaitu intuisi alami bahwa mereka sebenarnya tahu apa yang terbaik dan mampu melakukannya," ujar Annie Pezalla, profesor studi keluarga di Macalester College, dilansir NBC News.

Chioma Fanawopo, pelatih orangtua dan remaja berdarah Nigeria-Inggris, turut merasakan tantangan ini saat membesarkan dua anak remajanya. Mengutip Parents, ia menjelaskan bahwa di banyak budaya Afrika, anak-anak dibesarkan untuk taat dan diam saat bersama orang dewasa. Karena itu, pendekatan yang memberi anak suara sering kali terasa asing dan tidak mudah diterapkan.

3. Faktor emosional dan kepribadian berperan besar

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/kindelmedia)

Mengasuh dengan lembut menuntut regulasi emosi yang tinggi dari orangtua, yang tentu tidak selalu bisa dicapai setiap waktu. Kepribadian, tingkat stres, dan pengalaman masa lalu ikut memengaruhi bagaimana orangtua merespons perilaku anak.

Tentu saja ini tidak mudah untuk dijalani para orangtua yang memiliki latar belakang berbeda dalam pengasuhan. Bahkan, orangtua yang mengidap ADHD atau gangguan kecemasan bisa merasa kesulitan menjaga ketenangan. Menurut O’Carroll, hal ini diperparah jika anak juga menunjukkan kebutuhan khusus atau sifat yang lebih menantang.

“Bagi saya yang punya ADHD dan membesarkan anak neurodivergent dengan gentle parenting membutuhkan usaha ekstra,” ujar O’Carroll.

4. Tantangan saat mengasuh di momen yang melelahkan

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/tatianasyrikova)

Tidak semua momen dalam pengasuhan bisa dijalani dengan idealisme. Menurut Annie Pezalla, pola asuh ini hanya benar-benar efektif jika orangtua sedang tenang secara emosional dan punya cukup waktu, dan dua hal ini yang justru paling sulit dimiliki dalam keseharian orangtua.

Tekanan ini juga disorot oleh para ahli. Mengutip NBC News, Dr. Vivek Murthy, Surgeon General Amerika Serikat, menyebut bahwa orangtua zaman sekarang menghadapi tantangan yang makin kompleks dan butuh dukungan lebih besar dari sebelumnya. Saat anak tantrum dan orangtua sedang lelah atau stres, menerapkan pendekatan lembut bisa terasa mustahil.

“Kita sering merasa khawatir berlebihan, seolah setiap keputusan kecil bisa memengaruhi masa depan anak secara besar-besaran,” jelas Lauren Eaton Spencer, seorang kreator digital sekaligus doktor psikologi pendidikan dari University of North Texas. “Dan itu sangat menguras energi,” tambahnya.

5. Tidak ada role model yang bisa dicontoh

ilustrasi seorang ayah sedang menasehati anak-anaknya (pexels.com/timamiroshnichenko)

Bagi orangtua yang dibesarkan dengan gaya otoriter, gentle parenting terasa asing karena mereka tidak punya panutan dalam hal kehangatan dan komunikasi setara. Bahkan hal sederhana seperti meminta maaf kepada anak bisa menjadi tantangan emosional. Padahal, gentle parenting menuntut kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan memberi ruang anak menyuarakan perasaan.

Tanpa pengalaman masa kecil yang sejalan, orangtua perlu membangun pola baru dari nol, dan ini jelas butuh usaha besar. Meski begitu, menurut Annie Pezalla, manusia sejatinya punya naluri alami dalam membesarkan anak, bahkan sebelum ada buku parenting atau saran dari media sosial. Jadi, kuncinya bukan sempurna, tapi berani belajar dan percaya pada intuisi sendiri.

Pada akhirnya, setiap orangtua punya perjalanan dan tantangannya masing-masing dalam membesarkan anak. Gentle parenting mungkin tidak selalu mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dicoba atau disesuaikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team