#MahakaryaAyahIbu: Dua Berkas Cahaya

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik.
Cerita yang selalu disuguhkan oleh mama setiap pagi. Berbarengan dengan tiga gelas teh hangat. Untuk aku, ayah dan mama, juga aroma khas singkong goreng yang selalu tercium lebih dulu mengawali hari. Hal ini yang sangat aku rindukan saat berada dalam kejauhan.
Sekarang aku mengerti mengapa mama sering mengulang-ngulang cerita tentang masa kecilku. Bahkan mama menceritakannya dari mulai aku berada dalam kandungan. Pikirku, mungkin mama sengaja bercerita tanpa bosan, agar aku faham betapa sulitnya mama melahirkan dan membesarkanku. Iba sekali aku mendengarnya, jika waktu boleh diputar aku lebih memilih untuk tidak terlahir ke dunia. Miris!
Waktu itu, sejak aku masih sembilan bulan berada dalam kandungan. Mama masih beraktifitas seperti biasa, tidak seperti kebanyakan perempuan lain yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat menunggu hari kelahiran buah hatinya.
Siang hari, saat matahari tepat berada di atas kepala. Mama harus keliling kampung menjajakan dagangannya yang berupa sayuran masak dalam bungkusan plastic. Lalu, berteriak di tengah peluh yang semakin deras berseluncuran di dahi. Sesekali wajah mama memerah menahan malu, ketika menawari orang-orang untuk membeli dagangannya. Terkadang mama meminta kakak sulungku yang saat itu masih duduk di bangku SD. Untuk bergantian meneriakan dagangan. Namun, mama mengalah ketika kakak menolaknya. Atau mama lebih memilih jalanan yang sepi untuk menghindari pembeli dan menyembunyikan malunya.
Kandungan mama semakin buncit dan menua. Aku kira penderitaan mama akan selesai setelah aku lahir. Rupanya tidak, beban yang ditanggung semakin berat. Aku yang terus sakit-sakitan sejak mulai umur tujuh hari. Tubuhku terkulai lemas dihuni penyakit diare berkepanjangan. Mama dan ayah cemas, mungkin mereka hampir menyerah melihat keadaan yang memprihatinkan. Di tengah keadaan yang serba ketercukupan. Namun dugaanku salah, ayah tetap sabar dan tekun dalam bekerja. Rasanya, beliau adalah sosok lelaki yang telah berhasil membangun keluarga kokoh yang tak tertandingi. Jam kerjanya ia tambah, hujan dan kemarau adalah sahabat akrabnya. Kelapa yang ia pesan untuk dijual dari juragan, terasa masih kurang untuk didagangkan.
Dengan mengandalkan sepeda ontel tua, ia nekad untuk menempuh perjalanan tiga kilometer . Demi mendapatkan kelapa yang lebih murah untuk dijual. Walaupun rintangannya lebih berat. Coba bayangkan ketika ayah telah lelah mendayuh sepeda, ia harus memanjat pohon kelapa dan memetiknya langsung. Lalu subuh, ayah sudah harus menjualnya di emper tokoh beralaskan terpal lusuh.
Betapa mereka telah banyak mengajari dan menginsfirasi tentang kesuksesan yang sesungguhnya. Dan itu menjadi salah satu pecut untuk meraih mimpi yang aku dambakan saat ini. Berkat jerih payah, usaha, kesungguhan dan do’a. Kini mereka mulai menuai hasil yang setimpal. Ayah selalu berpesan:
“Proses yang kita lakukan akan berbanding lurus, dengan hasil yang kita dapatkan.”
Bersyukur, kata itu yang sekarang aku ucapkan. Saat melihat ayah tak lagi menggunakan sepeda untuk berjualan, dan sudah mempunyai beberapa pegawai untuk mengurangi lelahnya. Begitupun dengan mama sekarang sudah tidak berjualan, hanya mengurusi adik-adikku yang masih kecil. Juga kakakku yang lebih dulu dan lebih lama membersamai ayah dan mama dalam ketercukupan. Kini ia telah menyandang gelar sarjananya dalam bidang Bahasa Inggris.
Hari ini giliranku untuk menyemai benih di ladang, yang hasilnya akan ku panen untuk dua berkas cahaya dihidupku. Walaupun sebenarnya, kemarin aku sempat terjatuh karena PTN yang aku masuki gagal untuk di tempati. Dompet yang aku bawa raib ketika melakukan registrasi, dan ayah tidak punya lagi banyak tabungan. Terpaksa aku menunda satu tahun bangku pekuliahanku.
Kini aku bersiap di lain tempat, berbekal pupuk pengalaman dari kedua orangtua aku siap melangkah. Menimba ilmu menuju Negeri Kinanah. Akan aku persipkan masa depanku seindah mungkin. Agar jika kelak mereka menempuh senja, aku mampu menjadi sunset yang indah. Dan jika pekat mulai menyapa, aku tak akan membiarkan mereka dalam kegelapan. Aku, akan menjadi bintang yang selalu menerangi meraka.