#MahakaryaAyahIbu: Teruntuk Malaikat Pelindungku yang Kusebut Ayah

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik.
Tiga tahun sudah sejak kegagalanku menjadi kebanggaan kalian. Aku yang seharusnya menjadi anak perempuan yang kalian banggakan karena mampu menembus ujian perguruan tinggi negeri dan mengenakan almamater kebanggaan kampus tersohor di neger ini pupus karena ketidak mampuanku dan keegoisanku. Maafkan aku ayah, Ibu. Aku telah membuat kalian harus tersenyum masam ketika setiap kolega atau bahkan sanak saudara lain menanyakan, "Pak.. Bu.. Anaknya kuliah di mana?" atau "Gimana Mas/ Mbak, putrinya jadi kuliah di mana?".
Mengingat semua hal itu membuatku marah. Marah pada diri sendiri. Marah pada kegagalanku. Marah pada Ambisiku yang tak mampu mendobrak pintu yang harusnya dengan mudah dapat dibuka jika aku mau untuk berusaha lebih keras mendapatkan kunci itu. Aku berusaha dengan keras mencoba sekali lagi untuk mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk menjadi anak yang dapat kalian banggakan di depan mereka. Namun, untuk kedua kalinya aku harus jatuh dan entah apa aku dapat kembali bangkit.
Bukan, bukan kakiku yang tak mampu menopang ambisiku lagi. Namun, hati ini yang tak sanggup harus melihat dua malaikat yang dikirim Tuhan untuk melindungiku di dunia ini dengan senyum merelakan aku merobek sayap mereka. Dengan senyum menutupkan tangannya di telingaku agar aku tak mendengar cibiran manusia-manusia itu. Dan sampai pada usaha terakhirku yaitu mencoba di perguruan tinggi swasta yang jauh dari kampung halamanku, pun aku harus terjatuh berulang kali sampai akhirnya mendapatkan tempatku di sana.
Setidak mampukah aku mewujudkan ambisiku? Sebodoh itukah aku yang bahkan tak mampu menembus ujian masuk perguruan tinggi swasta yang katanya hanya formalitas? Yah, aku memang adalah sebuah kegagalan yang terbenam dalam keegoisan mimpi. Dengan gelontoran rupiah itu yang harus ditebus Ayah untuk membuat tangga pijakan agar aku dapat meraih mimpi menjadi seorang arsitek membuatku malu.
Malu karena sampai detik ini aku hanya bisa terus meminta tanpa memberi. Malu karena nyatanya aku tak secemerlang apa yang beliau idamkan. Malu karena aku bahkan tak tahu malu untuk terus membuatnya menantikan cerita hebat anaknya setiap kali libur semester tiba karena memang nyatanya tak ada hal indah yang dapat aku ceritakan.
Sampai suatu titik aku bahkan melupakan bagaimana setiap lembar rupiah yang beliau berikan dari kucuran keringat dan darah itu membuatku semakin jumawa. Semakin tak tahu malu saja aku dan keegoisanku ini. Keegoisan yang NOL BESAR. Masih pantaskah aku mendapat senyum hangatmu, Ayah? Masih pantaskah aku mendapat untaian nasihatmu, Ayah? Masih pantaskah aku kau sebut "putriku yang aku banggakan."
Aku malu, Ayah. Aku bahkan belum mampu berdiri dengan kakiku sendiri. Aku bahkan belum mampu memberi dengan tanganku sendiri. Masihkah engkau akan tersenyum padaku, Ayah? Masihkan engkau akan menatapku bangga dan berkata "Ini putriku.", Ayah? Masihkah aku pantas?\
Aku ingin sekali saja membuatmu tersenyum bangga padaku.Aku ingin sekali saja bersandar dipundakmu dan menangis meminta maafku karena kegagalanku. Aku ingin sekali saja memelukmu dan menangis mengatakan "Aku Mencintaimu, Ayah." Karena impian terbesarku saat ini bukan lagi menjadi besar di dunia tapi menjadi Putimu yang selalu membuatmu tersenyum bahagia dengan keberhasilanku berdiri di kakiku sendiri, keberhasilanku mengalahkan keegoisanku, dan keberhasilanku menjadi permata yang selama ini engkau poles dengan penuh kesabaran.
Masihkan aku pantas untuk melakukan itu semua, Ayah? Meski engkau tak pernah meminta sesuatupun dariku, tapi inilah mahakaryaku kelak untukmu, Ayah. Rumah yang tidak terlalu mewah, cukup sederhana saja dengan pekarangan yang luas di mana engkau dapat melakukan hobi bercocok tanammu dikeilingi dengan pemandangan alam yang indah dan dihiasi tawa canda anak-cucu mu kelak, seperti apa yang pernah engkau ungkapkan padaku saat aku masih tak mengerti mengapa aku mengejar dan mewujudkan mimpi. Darimulah aku tahu kini mimpi itu ada disekitarmu dan di dalam dirimu sendiri. Terima kasih, Ayah.