7 Strategi Bicara yang Bikin Anak Lebih Terbuka ke Orangtua

- Mulai dari topik yang anak minati, agar mereka merasa dihargai dan nyaman untuk berbicara.
- Jangan langsung menyela atau menghakimi saat anak bercerita, berikan tanggapan setelah cerita selesai.
- Gunakan nada bicara lembut, beri respon dengan rasa ingin tahu, luangkan waktu khusus tanpa gangguan.
Sebagai orangtua, kamu mungkin pernah merasa frustrasi ketika anak lebih banyak diam atau menjawab singkat saat ditanya. Padahal, kamu hanya ingin tahu bagaimana harinya, apa yang sedang dirasakannya, atau sekadar memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, kenyataannya, membangun komunikasi yang terbuka dan sehat dengan anak tidak semudah yang dibayangkan.
Salah satu kuncinya terletak pada cara berbicara yang digunakan. Gaya komunikasi yang tepat bisa membuka pintu kepercayaan dan membuat anak merasa nyaman untuk bercerita. Berikut ini tujuh strategi bicara yang bisa kamu terapkan agar anak lebih terbuka dan merasa didengarkan sepenuhnya.
1. Mulai dari topik yang anak minati

Anak-anak cenderung lebih antusias ketika membicarakan hal-hal yang mereka sukai, seperti game, musik, teman, atau hobi tertentu. Saat kamu memulai obrolan dari topik yang mereka minati, mereka akan merasa lebih dihargai dan tidak merasa sedang diwawancarai. Ini adalah pintu masuk yang efektif untuk membangun percakapan yang alami dan menyenangkan.
Coba bandingkan dua pertanyaan ini: “Gimana sekolah tadi?” dengan “Tadi sempat main game baru nggak?” atau “Lagu yang kamu putar tadi enak juga, siapa penyanyinya?”. Yang pertama terasa seperti rutinitas harian yang bisa dijawab dengan “biasa aja”, sedangkan yang kedua memancing respons lebih panjang. Strategi ini bukan soal menuruti anak, tapi menciptakan suasana ngobrol yang bikin mereka nyaman.
2. Jangan langsung menyela atau menghakimi

Begitu anak mulai bercerita, penting untuk menahan diri dari langsung memberi nasihat, menyela, atau mengoreksi. Meskipun niatmu baik, sikap ini bisa membuat anak merasa dihakimi dan akhirnya memilih untuk menutup diri. Anak perlu merasa aman dan diterima tanpa harus takut disalahkan atas apa yang mereka alami atau pikirkan.
Kamu bisa menunjukkan empati dengan cara mendengarkan sampai selesai, tanpa buru-buru menyela. Tanggapan yang penuh perhatian bisa diberikan setelah cerita selesai, bukan di tengah-tengah. Saat anak merasa benar-benar didengar, mereka akan lebih percaya bahwa kamu adalah tempat yang aman untuk berbagi, bukan hanya pemberi nasihat.
3. Gunakan nada bicara yang lembut, bukan nada komando

Nada suara yang kamu gunakan bisa menentukan arah percakapan. Nada lembut memberi kesan bahwa kamu hadir sebagai teman bicara, bukan sebagai atasan atau hakim. Ini penting karena anak-anak jauh lebih terbuka saat mereka merasa diajak bicara, bukan diperintah untuk bicara.
Misalnya, daripada berkata, “Kamu harus cerita ke Mama!”, lebih baik katakan, “Mama pengin tahu ceritamu karena Mama peduli.” Kalimat yang lembut dan penuh empati seperti ini menunjukkan bahwa kamu tertarik pada dunia mereka, bukan sedang menginterogasi. Anak-anak yang merasa tidak ditekan akan lebih mudah mengekspresikan perasaannya dengan jujur.
4. Beri respon dengan rasa ingin tahu, bukan interogasi

Cara bertanya juga menentukan seberapa nyaman anak untuk menjawab. Pertanyaan yang terlalu tajam atau menuntut bisa membuat mereka merasa sedang diadili. Sebaliknya, pertanyaan terbuka yang dilontarkan dengan rasa ingin tahu murni bisa menumbuhkan kepercayaan dan membuat mereka lebih antusias bercerita.
Alih-alih bertanya, “Siapa yang ngajak kamu ke sana?” yang terasa mengintimidasi, kamu bisa mengatakan, “Ceritain dong, tadi seru nggak kumpulannya?” Dengan begitu, anak akan merasa kamu benar-benar ingin memahami mereka, bukan mencari kesalahan. Tujuan utamanya adalah membangun koneksi, bukan mengorek informasi.
5. Luangkan waktu khusus tanpa gangguan

Anak-anak akan lebih terbuka ketika mereka merasa benar-benar didengarkan. Waktu yang berkualitas tanpa gangguan bisa menjadi ruang aman bagi mereka untuk berbagi pikiran dan perasaan. Mengobrol sambil main HP atau terlihat tergesa-gesa justru memberi sinyal bahwa perhatianmu terbagi.
Coba sediakan waktu rutin, misalnya saat makan malam atau sebelum tidur, sebagai momen santai untuk ngobrol. Rutinitas sederhana ini bisa menjadi “jendela kepercayaan” yang membuka ruang dialog antara kamu dan anak. Saat anak tahu ada waktu khusus di mana mereka bisa didengar tanpa distraksi, mereka akan lebih mudah membangun kebiasaan berbicara dari hati ke hati.
6. Ceritakan sedikit tentang diri sendiri

Hubungan yang sehat antara orangtua dan anak tidak selalu satu arah. Saat kamu juga berbagi cerita tentang dirimu, anak akan merasa bahwa kamu pun manusia biasa—yang pernah gagal, takut, atau bingung. Ini membantu membentuk relasi yang lebih setara dan saling memahami.
Contohnya, kamu bisa berkata, “Mama dulu juga pernah nervous pas ujian. Rasanya kayak nggak bisa napas.” Cerita seperti ini membuat anak lebih percaya bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan. Dengan begitu, mereka pun terdorong untuk menceritakan pengalaman mereka sendiri tanpa takut dinilai.
7. Hargai privasi dan jangan dibesar-besarkan

Saat anak mulai terbuka, penting untuk menjaga kepercayaan mereka. Jangan sebarkan cerita pribadi anak ke keluarga besar, tetangga, atau bahkan media sosial—meskipun maksudmu untuk membanggakan mereka. Hal ini bisa membuat anak merasa malu atau bahkan dikhianati.
Kepercayaan anak adalah hal yang rapuh. Jika mereka merasa cerita pribadinya tidak dihargai, kemungkinan besar mereka akan menutup diri di masa depan. Jagalah cerita mereka sebaik kamu ingin cerita pribadimu dijaga. Dengan begitu, anak tahu bahwa berbagi cerita denganmu adalah sesuatu yang aman dan bermakna.
Membangun komunikasi yang hangat dan terbuka dengan anak memang butuh waktu dan kesabaran. Tapi dengan strategi bicara yang tepat, kamu bisa menciptakan ruang yang nyaman bagi anak untuk berbagi pikiran dan perasaan mereka. Ingat, kepercayaan anak tidak datang dari pertanyaan yang keras, melainkan dari kehadiran yang tulus.