Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Tips Co-Parenting yang Damai demi Anak Setelah Bercerai

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Josh Willink)
Intinya sih...
  • Fokus pada kebutuhan anak, bukan perasaan pribadiKunci utama co-parenting adalah menjadikan anak sebagai prioritas. Pisahkan perasaan pribadi dari urusan pengasuhan untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak.
  • Bangun komunikasi yang jelasKomunikasi sering tentang kebutuhan dan perkembangan anak, gunakan jalur komunikasi yang nyaman dan netral untuk menghindari konflik berdampak pada anak.
  • Buat kesepakatan bersama soal aturan dan rutinitas anakAturan rumah harus konsisten di dua tempat tinggal, buat kesepakatan soal rutinitas seperti jam tidur, screen time, pola makan, belajar, atau kegiatan akhir pekan.

Perceraian memang menjadi akhir dari hubungan suami dan istri, tapi bukan berarti tanggung jawab sebagai orang tua juga ikut berakhir. Anak tetap membutuhkan kedua orangtuanya meski dalam situasi yang berbeda.

Co-parenting atau berbagai peran mengasuh anak pascaperceraian memang tidak mudah, tapi bukan hal yang mustahil apabila kedua belah pihak punya niat yang sama, yaitu memberikan yang terbaik untuk anak. Berikut ini beberapa tips co-parenting yang damai dan sehat demi anak. Simak, ya!

1. Fokus pada kebutuhan anak, bukan perasaan pribadi

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Tatiana Syrikova)

Kunci utama co-parenting yang berhasil adalah menjadikan anak sebagai prioritas. Meskipun kamu dan mantan pasangan punya perasaan yang belum selesai, cobalah untuk memisahkannya dari urusan pengasuhan. Anak bukan pihak yang harus menanggung beban dari perceraian orang tuanya.

Dengan menempatkan kebutuhan anak di atas ego pribadi, kamu dan mantan pasangan bisa lebih mudah berkomunikasi secara objektif. Tujuannya bukan untuk memperbaiki hubungan mantan suami-istri, tapi untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak.

2. Bangun komunikasi yang jelas

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Komunikasi adalah fondasi utama dalam co-parenting. Meski kamu dan mantan pasangan sudah tidak tinggal bersama, kalian tetap harus sering berkomunikasi soal kebutuhan dan perkembangan anak. Pilih jalur komunikasi yang nyaman, bisa lewat chat, email, atau aplikasi parenting yang netral dan fungsional.

Jaga nada bicara dan hindari menyindir atau mengungkit masa lalu. Gunakan komunikasi yang to the point, fokus pada urusan anak, dan hindari emosi berlebihan. Semakin lancar dan profesional komunikasi kalian, semakin minim pula potensi konflik yang bisa berdampak ke anak.

3. Buat kesepakatan bersama soal aturan dan rutinitas anak

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/William Fortunato)

Anak butuh kestabilan untuk tumbuh dengan sehat. Kalau aturan di rumah Ayah dan Ibu terlalu berbeda, ia bisa bingung dan cenderung mencari celah. Misalnya, Ayah melarang gadget berlebihan, tapi Ibu membebaskan. Hal ini bisa memicu konflik dan membuat anak merasa tidak punya batas yang jelas.

Itulah kenapa penting membuat kesepakatan bersama soal rutinitas anak, seperti jam tidur, screen time, pola makan, belajar, atau kegiatan akhir pekan. Dengan adanya kesepakatan ini, anak tidak merasa seperti hidup di dua dunia yang bertolak belakang. Ia tetap bisa menjalani keseharian secara konsisten meski tinggal di dua rumah berbeda.

4. Jangan libatkan anak dalam konflik orangtua

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Tatiana Syrikova)

Salah satu kesalahan umum dalam co-parenting adalah membebani anak dengan konflik orang dewasa. Jangan pernah meminta anak menyampaikan pesan negatif, mengadu, atau memata-matai mantan pasangan. Ini bisa membuat anak merasa bingung, bersalah, dan kehilangan rasa aman.

Anak tidak seharusnya menjadi "perantara" atau "alat komunikasi" antara kedua orang tua. Ia butuh ruang untuk tetap menjadi anak-anak, bukan penengah atau saksi masalah orangtuanya. Semakin kamu melindungi anak dari drama dan konflik, semakin sehat pula kondisi mental dan emosionalnya.

5. Hormati waktu dan peran masing-masing

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Setelah bercerai, kamu dan mantan pasangan tetap memiliki tanggung jawab dan hak yang setara terhadap anak. Penting untuk menghormati jadwal dan waktu kebersamaan masing-masing dengan anak, tanpa gangguan atau rasa curiga berlebihan. Biarkan anak menikmati waktu dengan orangtuanya secara utuh.

Menginterupsi atau meremehkan peran mantan hanya akan merusak kepercayaan. Jika tidak ada alasan yang benar-benar serius, jangan campur tangan terlalu dalam saat anak sedang diasuh pihak lain. Dengan menunjukkan rasa hormat ini, kamu juga memberi contoh yang baik soal menghargai batas dan kerja sama.

6. Bersikap positif saat anak membicarakan mantan pasangan

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Elina Fairytale)

Jangan biarkan anak merasa bersalah hanya karena ia bahagia bersama mantan pasanganmu. Anak berhak mencintai dan menikmati waktu dengan kedua orang tuanya, meskipun kalian sudah tidak bersama. Dengarkan ceritanya tanpa ekspresi negatif atau komentar menyindir.

Sikap positifmu bisa menciptakan rasa aman dan bebas dalam diri anak. Ia akan merasa diterima dan tidak harus berpihak pada siapa pun. Ini sangat penting untuk kesehatan emosionalnya. Anak tidak seharusnya merasa terjebak di tengah konflik atau persaingan antara Ayah dan Ibu.

7. Evaluasi dan perbaiki co-parenting secara berkala

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Tidak semua sistem langsung berjalan mulus. Co-parenting membutuhkan adaptasi dan komunikasi yang berkelanjutan. Luangkan waktu untuk mengevaluasi apa yang sudah berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki, baik secara teknis maupun emosional.

Jika anak terlihat stres, menarik diri, atau kebingungan, jadikan itu sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu ditinjau ulang. Ajak mantan pasangan berdiskusi tanpa menyalahkan, dan cari solusi bersama. Evaluasi rutin bisa menjaga stabilitas pola asuh dan memastikan anak selalu dalam lingkungan yang aman dan suportif.

Co-parenting bukan perkara yang mudah, tapi bisa jadi lebih damai dan sehat kalau kamu dan mantan pasangan sama-sama menaruh kepentingan anak di atas ego pribadi. Tugas sebagai orangtua tidak berakhir saat hubungan suami-istri berakhir.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us