Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

3 Khutbah Jumat 20 Desember 2024, Gapai Rida Allah!

ilustrasi berdoa (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi berdoa (pexels.com/Alena Darmel)
Intinya sih...
  • Menjauhi larangan Allah untuk mendapat keberkahan
  • Takwa kepada Allah sebagai pondasi utama
  • Berkata benar, sederhana, dan takwa dalam segala kondisi

Saat hari Jumat, para laki-laki biasanya melaksanakan ibadah salat jumat di masjid-masjid terdekat. Di hari Jumat ini pula, ada baiknya kamu mendengarkan khutbah atau ceramah yang membangun dan membuka rasa syukur yang kita miliki.

Kali ini, IDN Times akan membagikan tiga contoh khutbah jumat yang bisa kamu renungkan. Yuk, simak bersama judulnya di bawah ini!

1. Meneladani sifat optimisme Nabi

ilustrasi berdoa (pexels.com/RDNE Stock Project)
ilustrasi berdoa (pexels.com/RDNE Stock Project)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah SWT,

Islam cepat berkembang dengan landasan perasaan optimisme. Misalnya Perang Badar, kurang lebih 300 kaum Muslimin berperang dengan ribuan kaum musyrikin Makkah. Tetapi, Rasulullah mampu membakar semangat kaum Muslimin. Rasa optimis akan kemenangan menjadi salah satu kunci kemenangan kaum Muslimin kala itu.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 123, yang artinya:

"Sesungguhnya Allah telah menolongmu dalam peperangan Badar. Padahal, kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah agar kamu mensyukuri-Nya."

Mari kita bayangkan bagaimana perjuangan Rasulullah dalam perang Khandak, padahal Kaum Makkah saat itu membawa pasukan yang sangat besar. Lagi-lagi perasaan optimis telah membakar semangat kaum muslimin kala itu untuk meraih kemenangan.

Dalam setiap keputusan atau setiap peperangan besar yang diikuti, tetap saja rasa optimisme bersarang dalam hati para sahabat mulia dengan tekad hidup mulia atau mati syahid. Kita lihat lagi bagaimana dahsyatnya optimisme yang dimiliki para generasi pasca-sahabat. Warisan ini telah dipraktikkan dengan elegan oleh Bani Umayah dan Abbasiyah, walaupun di kemudian hari, optimisme kaum muslimin mulai surut akibat lebih mementingkan ego dan materi yang telah mampu mengalahkan sifat optimisme. Dunia pun kemudian memuji bagaimana optimismenya Shalahuddin Al Ayyubi dan sultan Muhammad Al Fatih membela dan menguatkan Islam. Bahwa Islam sejatinya adalah agama yang mengajarkan nilai optimisme dalam menyongsong setiap sendi kehidupan.

Kita pun bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah menarik dan inspiratif dalam Al-Qur'an tentang kedahsyatan optimisme. Diantaranya adalah kisah Nabi Yunus yang ditelan hiu, kisah Nabi Zakaria yang berdoa kepada Allah diusianya yang senja agar dikaruniai seorang anak, Kisah Nabi Ibrahim yang selalu optimis menghadapi rintangan, dan juga bagaimana optimisnya Nabi Nuh dalam berdakwah walaupun hanya segelintir orang yang beriman.Sebagai penutup, mari kita tetap berjuang untuk melakukan kebaikan-kebaikan sebagai bentuk ibadah paling mulia, jangan pernah berputus asa.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

2. Iri dengki pembunuh rasa syukur

ilustrasi berdoa (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi berdoa (pexels.com/Alena Darmel)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah SWT,

Untuk perjalanan menuju ketakwaan yang lebih baik, kita perlu senantiasa memperbaiki diri. Takwa adalah pondasi utama yang menjaga kita dari godaan dunia yang sementara dan membimbing kita pada kebahagiaan abadi di akhirat. Kita harus senantiasa mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, sehingga setiap tindakan dan niat kita menjadi bahan pertimbangan di hadapan-Nya. Mari perkuat komitmen ketakwaan dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Di antara larangan dari Allah yang harus kita jauhi adalah sifat iri dan dengki yang merupakan sifat perusak batin dan jiwa kita. Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa' ayat 32, yang artinya:

"Janganlah kamu iri hati terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain."

Sifat iri dan dengki merupakan penyakit hati yang dapat merusak hubungan sosial, memicu konflik, serta menghambat perkembangan diri dan lingkungan. Iri hati timbul akibat merasa tidak puas dengan pemberian Allah kepada orang lain, sedangkan dengki adalah rasa benci terhadap kebahagiaan atau nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain. Kedua sifat ini sangatlah berbahaya, karena selain merugikan diri sendiri, juga merusak harmoni dalam masyarakat.

Dalam rangka menghindari sifat iri dan dengki, kita perlu memahami bahwa setiap individu telah mendapatkan takdir dan pemberian dari Allah yang berbeda-beda sesuai kadarnya masing-masing. Dengan memahami ini, kita dapat merasa lebih tenang dan puas dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Jika iri dan dengki tetap bersarang dalam diri kita, maka lambat laun sikap syukur akan hilang karena iri dengki merupakan pembunuh rasa syukur.

Para hadirin salat jumat yang berbahagia,

Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat iri dan dengki yang dapat menjerumuskan kita kepada golongan orang-orang yang tidak bersyukur dan semoga kita terhindar dari orang-orang yang iri dan dengki kepada kita. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

3. Tiga hal yang menyelamatkan dan merusak manusia

ilustrasi wanita sedang berdoa (pexels.com/PNW Production)
ilustrasi wanita sedang berdoa (pexels.com/PNW Production)

Tiga penyakit perilaku yang dapat merusak kemuliaan manusia sebagai hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya, menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.

Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, serta akidah, syari’ah, dan akhlak.

Dalam hadis disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri.

Pernahkah kita merasakan bahwa kita terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu durhaka saat sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata 'sendirian' karena ia berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari pengamatan Allah.

Dalam Surat At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.”

Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, “berlaku adil dalam kondisi ridla maupun marah” (al-‘adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal selalu halal kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A dan si B walaupun salah satunya adalah seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran beda mazhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.

Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap terhadap mereka. Karena itu, berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan lawan dari perilaku merusak i‘jâbul mar’i binafsih atau ujub terhadap diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah SWT.

Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghâyah) melainkan sebatas sarana (wasîlah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.

Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apa pun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain. Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita menjadi sangat kikir (syuhhun muthâ‘), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam hadits di atas. Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan seseorang.

Hal-hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.

Sebagai hamba Allah, tugas kita di dunia adalah menuruti perintah-Nya dan sebisa mungkin menjauhi larangan-Nya agar kehidupan kita mendapat keberkahan dan kebahagiaan seperti yang kita inginkan. Yuk, pelan-pelan mulai lakukan hal-hal yang membuat Allah senang terhadap kita!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Alma Salsabilla
EditorAlma Salsabilla
Follow Us