Ilustrasi membuka sosial media di gedget (pexels.com/cottonbro studio)
Kadang-kadang, cancel culture justru menutupi masalah yang lebih besar. Misalnya, kita terlalu fokus pada kesalahan atau kontroversi kecil, sementara isu yang lebih serius, seperti ketidakadilan sosial atau masalah sistemik, terabaikan begitu saja. Orang yang dibatalkan bisa jadi hanya menjadi simbol untuk menutupi masalah besar yang sebenarnya perlu dibahas dan ditangani. Alih-alih memberi solusi, kita malah terlalu sibuk dengan masalah individu yang gak selalu mewakili masalah yang lebih luas.
Pada akhirnya, cancel culture jadi alat yang bisa memperburuk keadaan daripada memperbaiki. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus lebih peka terhadap isu yang lebih besar dan belajar untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar membutuhkan perhatian kita, daripada hanya terjebak dalam lingkaran drama sosial yang gak ada habisnya.
Jadi, meskipun cancel culture mungkin terasa seperti cara cepat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan, kita harus berhati-hati dengan dampak dan kompleksitasnya. Menjadi bagian dari sebuah diskusi itu penting, tapi jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk memberi ruang bagi perubahan dan perbaikan. Jangan lupa, kita semua pernah salah, dan memberi kesempatan untuk tumbuh adalah hal yang jauh lebih berharga daripada hanya fokus pada kesalahan orang lain. Jadi, mari kita ciptakan ruang yang lebih inklusif dan penuh pemahaman untuk semua.