5 Hal yang Membentuk Karakter People Pleaser, Harus Dihentikan!

People pleaser adalah orang yang merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain dan sulit menolak permintaan, bahkan jika itu merugikan dirinya sendiri. Mereka cenderung mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kebutuhan pribadi karena takut mengecewakan atau kehilangan penerimaan sosial. Sifat ini mungkin terlihat positif karena menunjukkan sikap peduli dan ramah, tetapi dalam jangka panjang, people pleaser bisa kehilangan jati diri dan mengalami kelelahan emosional akibat terus-menerus mengorbankan dirinya sendiri.
Karakter ini tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari berbagai faktor yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Bisa berasal dari pola asuh yang menekankan kepatuhan, pengalaman emosional yang sulit, atau bahkan perasaan rendah diri yang membuat mereka mengandalkan validasi eksternal untuk merasa berharga. Tanpa disadari, kebiasaan menyenangkan orang lain ini menjadi cara bertahan hidup yang terus berulang. Berikut lima hal utama yang membentuk karakter people pleaser.
1. Pola asuh yang menuntut kepatuhan dan persetujuan

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang otoriter atau terlalu menuntut sering kali belajar bahwa cinta dan penerimaan hanya diberikan jika mereka bersikap patuh dan menyenangkan. Jika setiap tindakan baik selalu dihargai, tetapi setiap bentuk perlawanan atau ketidaksepakatan dianggap sebagai sikap buruk, anak cenderung mengembangkan kebiasaan untuk selalu menyenangkan orang lain agar tetap diterima.
Dalam pola asuh seperti ini, anak bisa saja dibesarkan dengan keyakinan bahwa menuruti keinginan orang lain lebih penting daripada mengungkapkan kebutuhan diri sendiri. Kebiasaan ini terus terbawa hingga dewasa, membuat mereka sulit berkata tidak karena takut kehilangan kasih sayang atau merasa bersalah jika menolak permintaan orang lain.
2. Takut akan penolakan dan konflik

People pleaser sering kali memiliki ketakutan mendalam terhadap penolakan dan konflik. Mereka lebih memilih menghindari konfrontasi daripada berisiko kehilangan hubungan dengan seseorang. Ini bisa terjadi karena pengalaman di masa lalu, seperti pernah diabaikan, dikritik berlebihan, atau mengalami konflik yang membuat mereka merasa tidak aman.
Ketakutan ini membuat mereka cenderung mengikuti arus, mengorbankan pendapat dan perasaan sendiri demi menjaga keharmonisan. Bahkan dalam situasi di mana mereka merasa tidak nyaman atau dirugikan, mereka lebih memilih diam atau berpura-pura setuju daripada harus menghadapi ketegangan yang mungkin muncul.
3. Pernah mengalami pengabaian atau kurangnya penghargaan

Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan di mana dirinya sering diabaikan atau merasa tidak cukup dihargai bisa mengembangkan kebiasaan people pleasing sebagai cara untuk mendapatkan perhatian. Mereka belajar bahwa cara terbaik agar diperhatikan dan dihargai adalah dengan memenuhi ekspektasi orang lain, meskipun itu berarti mengorbankan kebutuhannya sendiri.
Misalnya, seorang anak yang hanya mendapatkan pujian ketika bersikap baik dan menolong orang lain bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai dirinya bergantung pada seberapa bermanfaat ia bagi orang lain. Jika pola ini terus berulang, mereka akan terus mencari validasi dari luar dengan cara menyenangkan orang lain, karena itulah satu-satunya cara mereka merasa berharga.
4. Kecenderungan rendah diri dan kurangnya batasan pribadi

People pleaser sering kali memiliki self-esteem yang rendah, yang membuat mereka merasa tidak cukup berharga jika tidak mendapatkan penerimaan dari orang lain. Mereka takut jika menolak permintaan atau tidak memenuhi harapan, maka mereka akan dianggap buruk atau tidak disukai.
Akibatnya, mereka sulit menetapkan batasan pribadi yang sehat. Mereka terus mengatakan "ya" meskipun sudah lelah atau merasa tidak sanggup, karena mengutamakan kepuasan orang lain lebih dari kesejahteraan diri sendiri. Ketika batasan diri lemah, orang lain pun bisa dengan mudah memanfaatkan kebaikan mereka tanpa memberikan timbal balik yang sepadan.
5. Terbiasa menghubungkan nilai diri dengan penerimaan orang lain

People pleaser sering kali percaya bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh seberapa banyak orang yang menyukai atau menerima mereka. Mereka merasa harus terus berbuat baik, menghindari konflik, dan selalu menjadi sosok yang bisa diandalkan agar tetap dihargai oleh orang lain.
Karena mereka mengaitkan harga diri dengan validasi eksternal, mereka merasa cemas jika ada orang yang tidak menyukai mereka atau kecewa dengan mereka. Ini membuat mereka terus menerus mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan jika itu mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka sendiri.
Karakter people pleaser tidak terbentuk begitu saja, tetapi berasal dari pola asuh, pengalaman hidup, dan pola pikir yang berkembang sejak kecil. Meskipun menyenangkan orang lain bisa menjadi tanda kebaikan hati, jika dilakukan secara berlebihan, itu bisa menyebabkan kelelahan emosional dan kehilangan jati diri. Belajar menetapkan batasan, mengenali kebutuhan pribadi, dan memahami bahwa nilai diri tidak bergantung pada validasi orang lain adalah langkah penting untuk melepaskan kebiasaan people pleasing dan mulai menjalani hidup dengan lebih seimbang.