Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Kecil yang Bisa Membentuk Sikap Skeptis

ilustrasi pria (pexels.com/Rahul Shah)

Skeptisisme dalam batas yang wajar sebenarnya bisa menjadi hal positif, terutama untuk menghindari kecerobohan dalam menilai sesuatu. Namun, jika terlalu sering mempertanyakan niat orang lain, selalu merasa ada maksud tersembunyi di balik sebuah tindakan, atau sulit percaya pada informasi yang diberikan, sikap skeptis bisa berubah menjadi sesuatu yang merugikan. Tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan sehari-hari bisa membentuk pola pikir skeptis yang berlebihan.

Sikap ini perlahan-lahan bisa membuat seseorang sulit merasa tenang dan percaya pada hubungan sosialnya. Alih-alih membuka ruang untuk kepercayaan dan kolaborasi, pikiran terus dipenuhi kecurigaan dan kehati-hatian yang berlebihan.

Hubungan dengan orang lain pun jadi terasa canggung, bahkan bisa rusak karena selalu menganggap ada motif tersembunyi. Berikut lima kebiasaan yang bisa membuat seseorang menjadi terlalu skeptis.

1. Terlalu sering menganalisis perkataan orang

ilustrasi pria (pexels.com/Irina Demyanovskikh)

Seseorang yang sering menganalisis secara berlebihan setiap perkataan orang lain cenderung sulit menerima sesuatu apa adanya. Setiap kalimat yang diucapkan oleh orang lain selalu dianggap memiliki makna tersembunyi atau maksud tertentu yang perlu dicari tahu lebih dalam.

Misalnya, ketika seseorang memberikan pujian, bukannya menerima dengan lapang dada, justru muncul pertanyaan seperti "Apa maksudnya memuji seperti itu?" atau "Apakah dia sedang menyindir?"

Kebiasaan ini bisa menimbulkan rasa curiga yang tidak perlu dan membuat seseorang semakin sulit mempercayai niat baik orang lain. Jika terus dilakukan, akhirnya semua interaksi terasa penuh kecurigaan, padahal bisa jadi tidak ada niat buruk sama sekali di balik perkataan tersebut.

2. Terlalu banyak mengonsumsi berita negatif

ilustrasi pria (pexels.com/Pixabay)

Informasi yang dikonsumsi setiap hari sangat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia. Terlalu sering membaca berita tentang penipuan, manipulasi, atau pengkhianatan bisa membuat seseorang semakin sulit percaya pada orang lain.

Misalnya, setelah membaca banyak kasus tentang orang yang ditipu oleh orang terdekatnya, seseorang bisa mulai berpikir bahwa semua orang memiliki potensi untuk mengkhianati.

Akibatnya, setiap ada orang yang berbuat baik, pikiran pertama yang muncul adalah kecurigaan: "Apakah dia punya maksud tertentu?" atau "Jangan-jangan ini hanya trik untuk mendapatkan sesuatu dariku." Jika tidak diimbangi dengan informasi positif, kebiasaan ini bisa membuat seseorang hidup dalam kewaspadaan berlebihan dan sulit merasa tenang dalam hubungan sosialnya.

3. Selalu fokus pada pengalaman buruk di masa lalu

ilustrasi pria (pexels.com/Burst)

Pengalaman buruk yang pernah terjadi bisa meninggalkan trauma yang membuat seseorang lebih berhati-hati. Namun, jika terlalu terjebak dalam pengalaman masa lalu dan selalu mengaitkannya dengan situasi saat ini, seseorang bisa menjadi terlalu skeptis.

Misalnya, jika pernah dikhianati oleh teman dekat, seseorang mungkin mulai berpikir bahwa semua orang pada dasarnya tidak bisa dipercaya. Akibatnya, setiap ada orang baru yang mencoba mendekat, selalu muncul pikiran "Dia pasti akan berkhianat juga suatu saat nanti."

Padahal, tidak semua orang akan melakukan kesalahan yang sama. Terlalu berpegang pada pengalaman buruk bisa membuat seseorang sulit melihat niat baik dari orang lain yang benar-benar tulus.

4. Menganggap kebaikan selalu ada tujuan tersembunyi

ilustrasi pria (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ada sebagian orang yang terbiasa berpikir bahwa tidak ada kebaikan yang diberikan tanpa maksud tertentu. Setiap kali seseorang menawarkan bantuan atau bersikap baik, muncul pertanyaan seperti "Apa untungnya bagi dia?" atau "Dia pasti mengharapkan sesuatu dariku."

Kebiasaan ini membuat seseorang sulit menerima kebaikan secara tulus. Alih-alih merasa bersyukur, justru muncul rasa waspada setiap kali ada orang yang menawarkan bantuan. Padahal, di dunia ini masih banyak orang yang berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Jika terus berpikir seperti ini, lama-lama seseorang bisa kehilangan kesempatan untuk menjalin hubungan yang sehat karena selalu merasa ada agenda tersembunyi di balik setiap kebaikan yang diterima.

5. Terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain

ilustrasi pria (pexels.com/Royal Anwar)

Membandingkan diri dengan orang lain bisa menjadi pemicu utama munculnya rasa tidak percaya. Seseorang yang terlalu sering merasa iri atau cemburu bisa mulai berpikir bahwa semua orang selalu punya niat untuk menjatuhkan atau mengungguli dirinya.

Misalnya, ketika melihat seseorang berbagi cerita suksesnya, pikiran yang muncul bukanlah inspirasi, tetapi malah kecurigaan seperti "Dia pasti ingin pamer." atau "Dia sengaja membagikan ini agar orang lain merasa kecil."

Akibatnya, seseorang bisa terus hidup dalam perasaan negatif, merasa bahwa semua orang hanya ingin membuatnya merasa kalah, dan semakin sulit mempercayai ketulusan orang lain.

Sikap skeptis bisa terbentuk dari kebiasaan kecil yang tanpa disadari dilakukan setiap hari. Terlalu sering menganalisis perkataan orang, mengonsumsi berita negatif, terjebak dalam pengalaman buruk, menganggap kebaikan sebagai strategi tersembunyi, serta membandingkan diri dengan orang lain bisa membuat seseorang semakin sulit percaya terhadap niat baik orang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us