Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sebab Seseorang Haus Kekuasaan, Gak Tahu Esensi Kehidupan!

ilustrasi haus kekuasaan (pexels.com/Dzmitry Held)

Kekuasaan memang menyilaukan mata. Dengan iming-iming prestise dan kehormatan, seseorang rela merebutnya dengan segala cara. Meskipun dengan menjadikan orang lain sebagai umpan persaingan. Tentu menjadi pertanyaan tersendiri.

Mengapa ada orang yang haus kekuasaan sampai sedemikian rupa? Bahkan cenderung bertindak di luar pemikiran logis. Hal ini juga tidak terlepas dari beberapa sebab. Ada enam di antaranya, semoga bisa menjadi tambahan informasi agar kamu lebih berhati-hati.

1. Keinginan untuk memperoleh pengakuan

ilustrasi bersalaman (pexels.com/Cytonn Photography)

Tidak dapat dimungkiri jika beberapa orang mengharapkan pengakuan dari lingkungan sekitar. Ia paling suka jika disanjung dengan sejumlah pujian. Hal itu menjadi kebanggaan tersendiri yang terpatri di dalam hati.

Keinginan untuk memperoleh pengakuan menuntut seseorang haus kekuasaan. Ia rela menjatuhkan orang lain asal bisa meraih yang diinginkan. Pengakuan yang didapat dari orang-orang sekitar membuatnya besar kepala. Ia merasa bangga sudah menempati posisi tertinggi dan menjadi sosok paling unggul.

2. Belum mampu memaknai esensi hidup

ilustrasi haus kekuasaan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Seseorang yang mampu memaknai esensi hidup bisa mengartikan hal-hal kecil dengan bijaksana. Inti kehidupan belajar menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sekaligus memperbaiki sisi kekurangan tanpa pernah merasa lelah.

Meskipun begitu, Tidak semua orang bisa memaknai esensi hidup dengan tepat. Ia menganggap jabatan dan kehormatan adalah inti yang harus diraih. Keinginan tersebut mendorongnya menjadi orang yang haus kekuasaan. Manusia seperti mereka rela menebus segala cara walaupun bertentangan dengan kebenaran.

3. Tidak mampu mensyukuri keberuntungan yang sudah dijalani

ilustrasi kelelahan (pexels.com/Ron Lach)

Pada kenyataannya banyak manusia buta keberuntungan. Sejatinya sudah dianugerahi rezeki berlimpah. Hanya saja mata hati tertutup sehingga tidak mampu mensyukuri secara tepat. Sudut pandang seperti ini sudah menjadi prinsip utama sehingga selalu merasa kurang.

Menjadi orang yang tidak mampu mensyukuri keberuntungan, timbul sikap menginginkan lebih dan lebih. Saat satu keinginan sudah terpenuhi, tidak ada perasaan puas. Sebaliknya, ia menjadi manusia yang haus kekuasaan. Bahkan menempatkan ambisi sebagai bagian terpenting dari hidup.

4. Ketidakmampuan mengendalikan ambisi

ilustrasi kelelahan (pexels.com/Anna Shvets)

Jika kita membicarakan ambisi, pasti banyak sekali yang muncul. Tidak hanya ambisi yang bersifat baik dan mendorong ke arah positif. Tapi juga ambisi toksik yang bersifat menjerumuskan. Dalam rangka membentengi kehidupan agar tetap seimbang, diperlukan kemampuan mengendalikan ambisi.

Lantas, bagaimana jika seseorang tidak mampu melakukannya? Dalam hatinya timbul keinginan merebut pencapaian yang bukan miliknya. Bisa dikatakan, ia haus kekuasaan. Segala cara rela ditempuh asal ambisi pribadi tercapai. Tidak peduli harus mengorbankan orang-orang sekitar.

5. Hanya mengukur kehidupan dari segi materi

ilustrasi serakah uang (pexels.com/Cottonbro studio)

Materi memang berperan penting dalam kehidupan. Saat kondisi finansial tidak stabil, beberapa aspek penting dalam hidup mengalami penurunan. Tapi bukan berarti menempatkan materi di atas segalanya. Sampai-sampai kamu mengorbankan kebenaran demi tuntutan.

Hanya mengukur kehidupan dari segi materi merupakan kesalahan besar. Kamu terbentuk menjadi manusia yang haus kekuasaan. Tanpa sadar sudah melangkah terlalu jauh dan bertindak nekat. Kamu tidak mempertimbangkan faktor lain yang jauh lebih penting.

Haus kekuasaan sejatinya sikap yang buruk. Orang-orang seperti ini bertindak nekat dan cenderung merugikan lingkungan sekitar. Seseorang haus kekuasaan pasti ada sebab yang mendasari. Mulai dari sikap kecanduan validasi, sampai mengukur kehidupan hanya berdasarkan segi materi. Dikelilingi oleh  sebab di atas, segera introspeksi diri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mutiatuz Zahro
EditorMutiatuz Zahro
Follow Us