Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tips Menerapkan Stoicism Paling Sederhana Dalam Keseharian

ilustrasi menerapkan stoicism (pexels.com/Chinmay Singh)

Stoicism sering kali disalahartikan sebagai sikap dingin atau menahan emosi sepenuhnya. Padahal, filosofi kuno ini justru mengajarkan bagaimana seseorang bisa tetap tenang dan berpikir jernih di tengah situasi sulit. Inti dari stoicism bukan tentang mematikan perasaan kamu, tetapi tentang mengenali apa yang bisa dikendalikan dan menerima apa saja  yang tidak bisa diubah. Banyak orang mulai melirik prinsip ini untuk menghadapi tekanan hidup modern, termasuk konflik pribadi, beban pekerjaan, hingga overthinking dalam keseharian.

Dengan pendekatan yang praktis, stoicism bisa diterapkan tanpa harus membaca buku filsafat tebal atau mengikuti kelas khusus. Beberapa prinsip dasarnya sangat relevan untuk menjaga kestabilan emosi, mengurangi reaksi impulsif, dan meningkatkan kesadaran diri. Jika kamu ingin mencoba menjalani hidup yang lebih tenang dan terarah, berikut lima tips sederhana untuk menerapkan stoicism dalam rutinitas harianmu.

1. Mengendalikan responsmu terhadap kejadian

ilustrasi mengendalikan respon (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Hal yang terjadi di luar diri sering kali tak bisa diprediksi, tapi kamu selalu bisa memilih bagaimana cara meresponsnya. Dalam stoicism, kontrol diri bukan soal menahan emosi sekeras mungkin, tetapi tentang memberi jeda sebelum bereaksi. Misalnya, ketika seseorang berbicara kasar, kamu bisa memilih untuk tidak membalas dengan cara yang sama.

Tindakan seperti ini melatih kesabaran dan membantu kamu tidak larut dalam siklus negatif. Kamu tidak membiarkan emosi orang lain mengambil alih kendali atas keputusanmu. Prinsip ini sangat berguna di tempat kerja atau dalam hubungan dekat, ketika tekanan bisa memicu ledakan emosi. Belajar memilah reaksi akan membuat hidup terasa lebih ringan dan minim konflik yang tidak perlu.

2. Menyadari bahwa tidak semua hal bisa kamu kendalikan

ilustrasi respon (pexels.com/Timur Weber)

Stoicism mengajarkan pentingnya membedakan mana yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak. Ketika kamu terlalu fokus pada hal-hal di luar kendali, seperti opini orang lain atau hasil akhir dari sebuah usaha, rasa frustrasi akan mudah muncul. Sebaliknya, jika perhatianmu dialihkan ke tindakan yang bisa kamu lakukan, kamu akan merasa lebih berdaya.

Misalnya, kamu tidak bisa memastikan semua orang menyukai kinerjamu, tapi kamu bisa memastikan bahwa kamu bekerja dengan etika dan komitmen. Kesadaran ini membuat kamu tidak mudah kecewa dan lebih fokus pada proses, bukan hasil. Prinsip ini juga membantu kamu berhenti menyalahkan keadaan dan mulai mengambil tanggung jawab atas diri sendiri.

3. Melatih diri untuk menerima ketidaknyamanan

ilustrasi ketidaknyamanan (pexels.com/Yan Krukau)

Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana kamu dan stoicism mengajarkan untuk tidak menghindari ketidaknyamanan tersebut. Alih-alih mengeluh atau berusaha menghindar, kamu dilatih untuk menghadapi realitas apa adanya. Menerima kenyataan yang pahit bukan berarti menyerah, tapi menyesuaikan sikap agar tidak dikuasai oleh kekecewaan.

Contohnya saat menghadapi kegagalan, kamu bisa belajar menerima bahwa proses belajar memang melibatkan kesalahan. Dengan begitu, kamu tidak terjebak dalam penyesalan yang berkepanjangan. Sikap ini akan membentuk mental kamu yang lebih kuat dan fleksibel dalam menghadapi berbagai perubahan hidup.

4. Menempatkan value hidup di atas pengakuan sosial

ilustrasi tidak mengejar validasi (pexels.com/Yan Krukau)

Di era media sosial, banyak orang mengejar validasi dari luar dan merasa cemas ketika tidak mendapat pengakuan. Stoicism justru mengarahkan fokus ke dalam, pada nilai dan prinsip hidup yang kamu pegang. Ketika kamu tahu apa yang penting bagimu, kamu tidak mudah goyah oleh penilaian orang lain.

Kamu jadi tidak merasa perlu membuktikan diri dengan pencapaian yang sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan hidupmu. Prinsip ini membuat kamu bisa hidup lebih otentik dan tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Dengan begitu, rasa damai dan kepuasan batin lebih mudah tercapai tanpa harus bergantung pada pujian orang lain.

5. Membangun rutinitas yang membantu menjaga pikiran agar tetap jernih

ilustrasi menulis jurnal (pexels.com/Polina)

Stoicism bukan sekadar memberikan reaksi terhadap hal besar yang terjadi, tapi juga bagaimana kamu menjalani hari-hari kecilmu. Rutinitas seperti menulis jurnal, melakukan refleksi harian, atau meluangkan waktu untuk hening bisa memperkuat kesadaran diri. Dengan pikiran yang lebih terarah, kamu akan lebih mudah menilai sesuatu secara objektif.

Kebiasaan ini juga membuat kamu tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dalam hidup. Saat pikiran jernih, kamu bisa menimbang situasi dengan lebih bijak dan menghindari penyesalan di kemudian hari. Ini bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang membiasakan diri untuk hidup dengan kesadaran penuh.

Stoicism bukan filosofi rumit yang hanya cocok untuk pemikir atau orang tertutup emosi. Justru, prinsip-prinsip dasarnya sangat bisa diterapkan siapa saja yang ingin menjalani hidup lebih tenang dan terarah. Dengan belajar untuk melatih cara berpikir, merespons, dan menata hidup secara sadar, kamu bisa menghadapi dunia yang tidak pasti dengan kepala dingin dan hati yang stabil.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ken Ameera
EditorKen Ameera
Follow Us